1.1 KEBERADAAN ALLAH
“Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus
percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang
sungguh-sungguh mencari dia. (Ibr. 11:6). Tujuan dari pelajaran ini adalah
untuk membantu bagi yang ingin mendekat kepada Allah, dengan terlebih dahulu
harus mempercayai bahwa Allah ada. Oleh karena itu kita tidak akan membahas
tentang fakta-fakta yang mendukung keberadaan Allah. Memeriksa struktur tubuh
yang rumit (Mzm. 139:14), pertumbuhan suatu bunga yang dapat kita lihat dengan
jelas sekali, kita dapat melihat langit yang luas dan tak berujung pada malam
yang cerah, hal-hal ini dan hal-hal lain di dalam kehidupan yang dirancang
dengan begitu cermat, tentu akan mengherankan bagi golongan atheis. Untuk percaya
bahwa Allah tidak ada, dibutuhkan suatu keyakinan yang teguh daripada
mempercayai bahwa Allah ada. Tanpa Allah, tidak akan ada perintah, tujuan, atau
penjelasan tentang akhir dari alam semesta ini. Dan yang terjadi adalah seperti
yang dicerminkan di dalam kehidupan seorang atheis. Menyikapi masalah ini
tidaklah mengejutkan jika banyak orang mengakui dengan sungguh tentang
keberadaan Allah. Bahkan di dalam lingkungan sosial, dimana materialisme telah
menjadi ”Allah” bagi banyak orang. Tetapi, ada perbedaan yang luas antara
percaya bahwa ada kekuasaan tertinggi dengan percaya bahwa Allah akan
memberikan upah bagi yang mencarinya. Ibr. 11:6 menjelaskan; kita harus percaya bahwa Allah ada dan bahwa Allah memberi upah kepda orang yang
sungguh-sungguh mencari Dia.
Banyak keterangan di dalam Alkitab yang
menceritakan sejarah Allah orang Israel; berulang kali dijelaskan bahwa
kepercayaan mereka akan keberadaan Allah tidak sesuai dengan kepercayaan mereka
akan janji-janji Allah. Mereka telah diperingati oleh Musa, pemimpin mereka
”Sebab itu ketahuilah pada hari ini dan camkanlah, bahwa Tuhanlah Allah yang di
langit di atas dan di bumi di bawah, tidak ada yang lain. Berpeganglah pada
ketetapan dan perintahNya yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, supaya baik
keadaanmu dan keadaan anak-anakmu yang kemudian, dan supaya lanjut umurmu di
tanah yang diberikan Tuhan, Alahmu, kepadamu untuk selamanya.” (Ul. 4:39,40)
Demikian juga yang terjadi pada saat ini, kita mengakui keberadaan Allah tapi,
bukan berarti kita menerima Allah. Jika kita sungguh-sungguh setuju bahwa kita
mempunyai pencipta, kita harus ”berpegang pada ketetapan dan perintahNya”.
Inilah tujuan pelajaran ini, untuk menjelaskan apa saja perintah Allah adn
bagaimana untuk melaksanakannya. Seiring dengan penyelidikan kita di dalam
tulisan kudus tentang bagaimana cara melaksanakannya, maka iman kita akan
semakin kuat sehubungan dengan keberadaan Allah.
”Iman timbul karena mendengarkan firman Allah” (Rm.
10:17)
Yesaya 43:9-12 menjelaskan tentang nubuat-nubuat
Allah mengenai masa depan yang akan membuat kita mengakui bahwa ”Akulah Dia”
(Yes. 43:13). Nama Allah adalah ”Aku adalah Aku” (Kel. 3:14). Ketika Rasul
Paulus datang ke Berea, sekarang terletak di sebelah utara Yunani. Seperti
biasanya dia memberitakan Injil (kabar baik) Allah; tetapi orang-orang disana
tidak menerimanya begitu saja apa yang telah Paulus ajarkan. Mereka menerima
firman (dari Allah, bukan Paulus) dengan rendah hati dan menyelidiki
tulisan-tulisan kudus setiap hari, untuk mengetahui apakah benar demikian,
banyak dari antara mereka yang menjadi percaya (Kis. 17:11,12). Mereka percaya
karena pikiran mereka yang terbuka, dengan rutin (setiap hari) dan menurut
urutannya (hal-hal yang diajarkan) diselidiki di dalam tulisan-tulisan kudus.
Allah tidak memberikan iman yang benar secara tiba-tiba kepada seseorang,
seperti suatu pencangkokan hati secara rohani. Hal demikian tidak selaras
dengan firman Allah. Jadi, bagaimana dengan orang-orang yang mengikuti jalan
perang salib Billy Graham atau kebangkitan Pantekosta yang berkumpul kembali
sebagai ”orang-orang yang percaya?” Seberapa seringkah mereka menyelidiki
Alkitab? Mengapa banyak yang mengundurkan diri dari gerakan penginjilan?
Kurangnya pemahaman terhadap Alkitab mengakibatkan seseorang berpindah-pindah
dari suatu ajaran ke ajaran yang lain.
Pelajaran ini menyediakan suatu pola yang
sistematis dalam mempelajari Alkitab. Hubungan antara mendengarkan injil yang
benar dengan mempunyai iman yang benar sering dijelaskan di dalam ajaran injil:
§ ”Banyak orang-orang di Korintus
yang mendengarkan, menjadi percaya dan dibaptis” (Kis. 18:8)
§ Bangsa-bangsa ”mendengarkan injil dan
menjadi percaya” (Kis. 15:7)
§ ”Demikianlah kami mengajar dan
demikianlah kamu menjadi percaya” (I Kor. 15:11)
§ Inilah arti perumpamaan itu ”Benih” itu
ialah firman Allah (Luk. 8:11); sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sawi
saja (Luk. 17:6), menjelaskan bahwa iman tumbuh karena ”firman iman” (Rm.
10:8), ”iman dan ajaran yang sehat” (1 Tim. 4:6), hati yang menerima Allah dan firmanNya
(Gal. 2:2, Ibr. 4:4)
§ Rasul Yohanes dalam catatannya tentang Tuan
kita, menjelaskan ”Dia berkata yang benar (kebenaran) supaya kamu percaya”
(Yoh. 19:35). FirmanMu adalah Kebenaran (Yoh. 17:17) supaya kita percaya.
1.2 KEPRIBADIAN ALLAH
Sangat mengagumkan, suatu tema yang agung dari
Alkitab adalah Allah dinyatakan benar-benar ada, suatu pribadi yang nyata,
dengan bentuk fisik yang nyata. Telah menjadi ajaran
pokok Kristen bahwa Yesus adlah Anak Allah. Jika Allah bukan suatu
pribadi fisik yang nyata, mustahil Dia mempunyai anak yang menjadi gambaran
dari diriNya (Ibr. 1:3). Selanjutnya, akan menjadi sulit untuk membentuk suatu
kepribadian yang berhubungan dengan Allah. Jika “Allah” hanyalah suatu konsep
di dalam pikiran, suatu roh yang berada di suatu tempat di ruang angkasa.
Tragis sekali, kebanyakan agama mengajarkan Allah bukanlah suatu yang nyata
secara fisik, konsep Allah yang tidak nyata.
Allah tentu saja lebih besar dari kita, sangat
tidak dimengerti kepercayaan banyak orang yang menolak keras janji yang sungguh
benar bahwa kita pada akhirnya akan melihat Allah. Kurangnya iman membuat orang
Israel tidak dapat melihat Allah. (Yoh. 5:37), dengan jelas menunjukkan bahwa
Dia mempunyai bentuk fisik yang nyata. Iman tumbuh dari pengetahuan tentang
Allah dan percaya kepada firmanNya.
“Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena
mereka akan melihat Allah” (Mat. 5:8)
“Hamba-hambaNya akan beribadah kepadaNya, dan
mereka akan melihat wajahNya, dan namaNya akan tertulis di dahi mereka (Why.
22:3,4)
Suatu janji yang indah, jika kita sungguh
mempercayainya, akan sangat berpengaruh pada kehidupan kita;
“Berusahalah hidup dengan damai semua orang dan
kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorangpun akan melihat Tuhan”
(Ibr. 12:14)
Kita tidak boleh bersumpah karena, “Dan barang
siapa bersumpah demi surga, ia bersumpah demi takhta Allah, dan juga demi Dia
yang bersemayam di dalamnya” (Mat. 23:22), ini omong kosong jika Allah bukan
suatu yang mempunyai bentuk fisik.
“kita akan melihat Dia dalam keadaanNya yang
sebenarnya. Setiap orang yang menaruh pengharapan itu kepadaNya, menyucikan
diri sama seperti Dia yang adalah suci. (I Yoh. 3:2,3)
Dalam kehidupan ini, pengetahuan kita
tentang Bapa Surgawi sangatlah tidak lengkap, tapi pada akhirnya
kita akan bertemu dengan Dia. Apa yang kita lihat secara fisik sama dengan apa
yang kita pahami secara rohani tentang Dia. Dalam keadaan menderita Ayub bangga
dengan hubungannya yang dekat dengan Allah, karena pada akhirnya dia paham akan
pengetahuan tentang Allah.
“Juga sesudah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa
dagingku pun aku akan melihat Allah, yang aku sendiri akan melihat memihak
kepadaku; mataku sendiri menyaksikanNya dan bukan orang lain. Hati sanubariku
merana karena rindu” (Ayb. 19:26,27)
Dan Rasul Paulus menjerit di tengah
kehidupan yang penuh penderitaan dan kekacauan ini:
“Karena sekarang kita melihat dalam cermin suatu
gambaran yang samar-samar, tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka” (I
Kor. 13:12)
Fakta-fakta yang mendukung dari Perjanjian Lama
Janji-janji di dalam perjanjian baru adalah
berdaasrkan perjanjian lama yang juga menjelaskan tentang suatu pribadi, Allah
yang nyata. Tidak bisa dipaksakan bahwa adalah suatu ajaran pokok untuk
menghargai keilahian Allah jika kita mempunyai suatu pengertian yang baru
tentang apa yang menjadi suatu dasar kepercayaan berdasarkan Alkitab.
Perjanjian lama dengan konsisten menjelaskan tentang Allah sebagai suatu
pribadi; hubungan antar pribadi dengan Allah sebagaimana dijelaskan di dalam
perjanjian lama dan perjanjian baru adalah suatu hubungan yang unik, yang
diharapkan oleh semua orang kristen. Berikut ini adalah argumen-argumen yang
kuat bahwa Allah itu suatu pribadi yang nyata:
§ ”Allah berfirman, marilah kita menjadikan
manusia sesuai dengan gambar dan rupa kita” (Kej. 1:26) demikianlah manusia
diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, seperti yang dimanifestasikan juga
kepada Malaikat. Yakobus 3:9 berbicara tentang ”...manusia yang diciptakan
menurut rupa Allah”. Ayat-ayt ini tidak dapat diartikan secara rohani, karena
secara alami pikiran kita jauh berbeda dengan Allah dan bertentangan dengan
kemulianNya; ”rancanganKu bukan rancanganmu, jalanKu bukan jalanMu” (Yes.
55:8,9). Oleh karena itu gambar dan rupa menurut Allah pastilah diartikan
secara fisik. Ketika para malaikat menampakkan diri mereka di permukaan bumi,
mereka dijelaskan menyerupai seorang manusia (dengan tidak diduga Abraham
melayani mereka, karena dia mengira mereka adalah manusia biasa). Penciptaan
kita menurut rupa Allah dapat disimpulkan sebagai suatu penciptaan yang
berdasarkan dari suatu bentuk/rupa. Jadi, Allah , yang serupa dengan kita
bukanlah suatu roh yang tidak dapat kita bayangkan bentuknya.
§ Para malaikatpun merupakan gambaran dari
Allah. Demikian Allah berfirman kepada Musa, ”berhadap-hadapan Aku berbicara
dengan dia, terus terang, bukan dengan teka-teki, dan ia memandang rupa Tuhan”
(Bil. 12:8). Musa mendapat perintah dari seorang malaikat yang mewakili nama
Allah (Kel. 23:20,21). Jika rupa malaikat disamakan dengan Allah, berarti Allah
mempunyai bentuk yang sama dengan Malaikat (walaupun tubuhnya lebih dari
sekedar darah dan daging, tapi serupa dengan bentuk luar tubuh manusia). ”Allah
berbicara kepada Musa berhadap-hadapan, seperti berbicara dengan seorang
ashabat” ( Kel. 33:11; Ul. 34:10). Allah memanifestasikan rupaNya secara fisik
pada malaikat-malaikatnya.
§ ”Dia mengenal kita” (Mzm. 103:14), Dia
ingin kita mengetahui bahwa Dia adalah pribadi yang nyata, Bapa dari segalanya.
Ini akan menjelaskan dari berbagai referensi ayat-ayat yang menyatakan tangan
Allah, lengan, mata, dll. Jika kita menolak Allah sebgai suatu pribadi yang
nyata, maka referensi ayat-ayat ini menyesatkan dan tidak berguna untuk
diajarkan.
§ Keterangan-keterangan yang menjelaskan
tentang adanya takhta Allah dengan jelas mengindikasikan bahwa ”Allah”
mempunyai tempat kediaman: ”Allah ada di surga” (Pkh. 5:1), ”Ia memandang dari
ketinggianNya yang kudus, Tuhan memandang dari sorga ke bumi” (Mzm. 102:19,20);
”Maka engkau kiranya mendengarkannya di sorga, tempat kediamanMu yang tetap” (I
Raj. 8:39). Lebih spesifik lagi kita baca bahwa Allah mempunyai takhta (II Taw.
9:8, Mzm. 11:4, Yes. 6:1, 66:1) sangat sulit untuk mengartikan sesuatu yang
tidak terdefinisikan berada entah dimana di dalam surga. Allah berfirman, akan
”turun ke bawah” sewaktu Dia akan memanifestasikan diriNya, ”turun ke bawah”
diartikan sebagai tempat Allah berasal, yaitu surga. Sulit sekali untuk
memahami manifestasi Allah tanpa mengetahui rupaNya.
§ Yesaya 45 menjelaskan beanyak hal tentang
keterlibatan Allah dengan umatNya; ”Akulah Allah, dan tidak ada yang
lain...,Akulah Allah yang melakukan semua ini..., Akulah Allah yang telah
menciptakanNya. Celakalah orang yang berbantah dengan pembentuknya..., Aku,
tanganKulah yang membentangkan langit..., Berpalinglah kepadaKu dan biarkanlah
dirimu diselamatkan hai ujung-ujung bumi”. Kalimat terakhir, menunjukkan
keberadaan Allah sebagai suatu pribadi. Dia menginginkan seluruh manusia untuk
berpaling kepadaNya, mengetahui keberadaanNya secara fisik dengan mata iman.
§ Telah dinyatakan kepada kita bahwa Allah
adalah Allah maha pengampun yang berbicara kepada manusia. Pengampunan hanya
bisa dilakukan oleh suatu pribadi, dan dilakukan secara rohaniah. Daud adalah
orang yang berkenan di hati Allah (I Sam. 13:14), menjelaskan bahwa Allah
mempunyai hati, yang bisa dipahami dengan terbatas oleh manusia, walaupun
manusia secara alami tidak mempunyai hati seperti yang dimiliki Allah. Firman
yang berbunyi, ”Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hatiNya
(Kej. 6:6) menunjukkan bahwa Allah mempunyai perasaan, sesuatu yang nyata,
daripada suatu roh yang yang berada di udara. Hal ini membantu kita untuk
mengetahui bagaimana kita dapat menyenangkan dan tidak menyenangkan Dia,
seperti yang dilakukan seorang anak kecil kepada ayahnya.
Jika Allah bukanlah suatu pribadi
Jika Allah tidak nyata, sebagai suatu pribadi, maka
konsep kerohanian akan sulit untuk dijelaskan. Jika Allah sungguh mulia tapi
tidak berbentuk, maka sulit bagi kita untuk mengerti manifestasinya dalam
kehidupan manusia. Kekeliruan susunan kristen dan yudaism dalam memahami bahwa
Allah masuk ke dalam hidup kita melalui roh kudus, yang pada suatu waktu akan
membuat kita memiliki kerohanian seperti Allah. Sebaliknya, sekali kita percaya
bahwa ada suatu pribadi yang nyata yang disebut Allah, maka kita dapat
menirunya dengan cara melaksanakan firmanNya sebagai gambaran dari
sifat-sifatNya dalam kehidupan kita.
Adalah menjadi tujuan Allah untuk menyatakan
diriNya kepada banyak orang demi kemulianNya. NamaNya, Yahweh Elohim, mempunyai
arti (Dia akan menjadi perkasa, mungkin diterjemahkan seperti itu). Jika
keberadaan Allah tidak nyata, maka upah dari kebenaran adalah kehidupan
sebagai suatu roh seperti Allah. Tapi dijelaskan bahwa mereka yang mendapat
upah dari kebenaran yaitu hidup di dalam kerajaan Allah, merka mempunyai
keberadaan secara fisik, meskipun tidak lagi mempunyai kelemahan-kelemahan
manusia seperti sebelumnya. Ayub menunggu ”hari itu” dimana tubuhnya akan
dibangkitkan (Ayb. 19:25-27); Abraham juga termasuk diantara mereka yang tidur
di dalam debu tanah yang akan dibangkitkan untuk hidup sampai selamanya. (Dan.
12:2) sehingga dia dapat menerima janji warisan tanah kanaan, secara fisik
lokasinya berada di bumi (Kej. 17:8). Orang-orang yang saleh akan
bersorak-sorai dengan girang...biarlah mereka bersorak-sorai diatas tempat
tidur mereka...dan melakukan pembalasan terhadap bangsa-bangsa (Mzm. 132:16,
149:7). Orang yahudi dan bangsa-bangsa yang lain, gagal dalam memahami kalimat
ini. Seperti yang dilakukan juga oleh orang-orang yang bukan yahudi yang
mendapat bagian dari perjanjian Abraham, telah mengajarkan suatu jiwa yang
tidak berkematian sebagai bagian dari kehidupan manusia. Suatu pemikiran yang
sama sekali tidak didukung oleh Alkitab. Allah abadi, mulia, dan dia bertujuan
untuk menarik semua orang masuk ke dalam kerajaanNya di masa depan yang akan
didirikan di bumi.
Orang-orang yang benar akan mewarisi kodrat ilahi
(II Ptr. 1:4), jika Allah bukan suatu pribadi, ini berarti kita akan hidup
sebagai roh yang tidak berbentuk, tapi ini bukan ajaran dari Alkitab. Kita akan
diberikan tubuh seperti yang dimiliki Yesus (Flp. 3:2,1) dan kita tahu bahwa
kita akan memiliki tubuh secara fisik di dalam kerajaan Allah yang mana
memiliki tangan, mata, dan telinga (Zak. 13:6, Yes. 11:3). Oleh karena itu,
doktrin kepribadian Allah sesuai dengan Injil Kerajaan.
Seharusnya sudah jelas bahwa suatu konsep
pelayanan, agama, atau hubungan pribadi dengan Allah, tidak akan mungkin
terjadi jika tidak mengakui keberadaan Allah sebagai suatu pribadi yang nyata.
Karena kita adalah gambaranNya secara fisik, walaupun tidak sempurna kita harus
melaksanakan apa yang telah diajarkan firmanNya yang merupakan gambaranNya
secara rohani supaya kita betul-betul mencerminkan gambar dan rupa Allah di
dalam Kerajaan Allah. Banyak sekali ayat yang menjelaskan bahwa Allah yang
penuh kasih menghukum kita seperti yang dilakukan seorang ayah kepada anaknya
(Ul. 8:5). Dalam konteks penderitaan Kristus, dijelaskan bahwa ”adalah kehendak
Tuhan untuk meremukkannya” (Yes. 53:10), meskipun dia berteriak kepada Allah;
Ia mendengar suaraku...teriakku minta tolong kepadaNya sampai ke telingaNya
(Mzm. 18:7). Allah berjanji kepada Daud bahwa keturunannya akan menjadi anakNya
melalui suatu kelahiran yang menakjubkan. Jika Allah bukanlah suatu pribadi,
maka Dia tidak akan memperanakkan seorang anak. Pengertian yang benar tentang
Allah adalah kunci untuk memahami hal-hal penting lainnya dari doktrin Alkitab.
Tapi, karena dusta demi dusta, maka jadilah konsep Allah yang bertentangan
dengan tulisan-tulisan kudus. Jika anda merasa topik ini sudah jelas, maka
pertanyaan berikutnya adalah ”Apakah anda sungguh mengenal Allah?” Sekarang
kita akan lebih jauh lagi menyelidiki Alkitab untuk mengetahui apa yang diajarkan
Alkitab tentang Allah.
1.3 NAMA DAN KARAKTER ALLAH
Jika ada Allah, sangatlah beralasan kalau dia
menyatakan diriNya kepada kita. Kita percaya bahwa Alkitab adalah wahyuNya
kepada manusia, dan di dalamnya terdapat penjelasan tentang karakter dari Allah.
Jika kita menerapkan firman Allah dalm hidup kita, maka suatu ciptaan baru yang
menggambarkan karakteristik dari Allah akan lahir (Yak. 1:18; II Kor. 5:17).
Inilah sebabnya mengapa firman Allah disebut sebagai “BenihNya” (I Ptr. 1:23).
Oleh karena itu semakin banyak firman Allah yang kita terapkan, maka kita akan
semakin layak untuk menjadi anakNya (Rm. 8:29) yang mana adalah gambar yang
sempurna dari Allah (Kol. 1:15). Disinilah gunanya mempelajari Alkitab, banyak
studi kasus yang menerangkan tentang cara Allah sewaktu berurusan dengan
manusia. Dia selalu menjelaskan karakteristikNya yang sama. Dalam bahasa Ibrani
nama seseorang kadangkala mencerminkan karakteristik orang tersebut, contoh;
Yesus = Penyelamat
karena dia yang menyelamatkan umatnya dari dosa-dosa
mereka (Mat. 1:21)
Abraham = Bapa kumpulan besar
”bapa segala bangsa” (Kej. 17:5)
Hawa = Kehidupan
”karena dia adalah ibu dari semua yang hidup” (Kej.
3:20)
Simeon = Mendengar
”karena Allah telah mendengar, bahwa aku tidak
dicintai, lalu diberikanNya pula anak ini kepadaku” (Kej. 29:33)
Yeremia 48:17, mengenal orang-orang moab ada
hubungannya dengan mengetahui arti dari kata moab. Mazmur seringkali
menghubungkan Allah dengan namaNya, firmanNya dan tindakanNya (Mzm. 103:1;
105:1; 106:1,2,12,13)
Berdasarkan keterangan itulah nama dan gelar Allah
dapat memberikan informasi yang cukup tentang Dia. Karena begitu banyak aspek
tentang karakteristik Allah dan tujuanNya, maka Allah mempunyai lebih dari satu
nama. Untuk pembahasan tentang nama Allah lebih detail, sebaiknya dilakukan
setelah pembaptisan. Menerapkan karakter Allah seperti yang dinyatakan dalam
namaNya adalah yang harus kita lakukan terus menerus selama kita hidup. Berikut
adalah pengenalan lebih lanjut tentang hal ini.
Ketilka Musa ingin mengenal lebih jauh tentang
Allah demi menguatkan imannya selama masa yang mengguncangkan jiwanya di dalam
hidupnya. Seseorang malaikat datang ”menyatakan nama Allah; Tuhan, Tuhan Allah
penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasihNya dan setiaNya, yang meneguhkan
kasih setiaNya kepada beribu-ribu orang, yang mengampuni kesalahan, pelanggaran
dan dosa; tetapi tidaklah sekali-kali membebaskan orang yang bersalah dari
hukuman” (Kel. 34:5-7).
Ini adalah bukti yang jelas bahwa nama Allah
menggambarkan karakteristiknya dan juga sebagai bukti bahwa Dia adalah pribadi
yang nyata, adalah tidak masuk akal bahwa suatu roh dapat memiliki
karakteristik seperti ini tapi tidak nyata, karena karakter inidapat juga
diterapkan pada diri manusia walaupun tidak sempurna seperti Allah. Allah telah
memilih nama yang khusus baginya supaya dapat dikenal umatNya, yang mana nama
itu merupakan ringkasan dari tujuanNya.
Bangsa Israel diperbudak di mesir, dan harus
diperingati bahwa mereka adalah bagian dari tujuan Allah. Musa diperintahkan
untuk memberitahu nama Allah kepada mereka, sehingga dapat membantu memotivasi
mereka untuk meninggalkan mesir dan memulai perjalanan mereka menuju tanah
perjanjian (I Kor. 10:1). Kita harus mengetahui prinsip dasar Alkitab supaya
mengerti sehubungan dengan arti nama Allah sebelum kita dibaptis dan memulai
perjalanan menuju kerajaan Allah.
Allah telah memberitahu bangsa Israel bahwa namaNya
adala Yahweh, artinya ”Aku adalah Aku”, atau lebih tepat lagi ”Aku akan menjadi
apa yang Aku inginkan” (Kel. 3:13-15). Nama ini kemudian dipersingkat menjadi;
”Allah lebih jauh berfirman kepada Musa, beginilah kau katakan kepada orang
Israel, Tuhan (Yahweh), Allah nenek moyangmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan
Yakub..., itulah namaKu untuk selamanya dan sebutanKu untuk turun temurun (Kel.
3:15)
Jadi, nama Allah adalah Tuhan Allah.
Perjanjian lama ditulis dalam bahasa Ibrani, pada
waktu diterjemahkan ke dalam bahasa inggris, terjemahannya kurang akurat,
sehingga kata ”Allah” tidak dapat diterjemahkan sebagaimana mestinya. Salah
satunya adalah kata Ibrani ”Elohim” yang diterjemahkan sebagai ”Allah”, yang
berarti ”yang perkasa”. Nama Allah yang dia ingin kita untuk mengingatnya
adalah;
YAHWEH ELOHIM
artinya,
DIA AKAN DINYATAKAN DI DALAM SUATU KELOMPOK YANG
PERKASA
Oleh karena itu Allah bertujuan untuk menyatakan
karakterNya dan sifat-sifatNya kepada sejumlah besar manusia. Dengan ketaatan
pada firmanNya, kita dapat menerapkan beberapa dari karakteristik Allah
sekarang ini, sehingga Allah dapat menyatakan diriNya di dalam kita, walaupun
kita tidak sempurna. Nama Allah juga merupakan suatu nubuat mengenai masa yang
akan datang dimana bumi akan dipenuhi engan orang-orang yang seperti Dia baik
secara karakter maupun secara fisik. (II Ptr. 1:4) Jika kita ingin turut serta dalam
rencana Allah ini dan menjadi seperti Dia yang abadi, maka kita harus bersatu
di dalam namaNya. Yaitu dengan cara dibaptis dalam nama Yahweh Elohim
(Mat.28:19), hal ini juga akan menjadikan kita sebagai keturunan Abraham (Gal.
3:27-29) yang akan mewarisi bumi (Kej. 17:8, Rm. 4:13) Suatu kelompok dari yang
perkasa (ELOHIM) sebagaimana telah dinubuatkan di dalam Nama Allah akan
digenapi, Lebih detail lagi akan dibahas pada pelajaran 3.4.
1.4 Malaikat
Dalam pelajaran ini kita akan membehas tentang
malaikat, yang didefinisikan sebagai;
Mempunyai bentuk secara fisik, pribadi yang nyata
Mewakili nama Allah
Sebagai perantara Allah untuk melaksanakan
tujuanNya
Serupa dengan karakter Allah dan tujuanNya sehingga
merupakan manifestasi dari Allah
Pada pelajaran sebelumnya dijelaskan tentang kata
Ibrani yang diterjemahkan sebagai “Allah” adalah “Elohim”, yang mempunyai arti
“Yang Perkasa”. “Yang perkasa” inilah yang mewakili nama Allah, dan juga
disebut sebagai “Allah”. Karena persekutuan mereka yang erat dengan Dia. Mereka
inilah yang disebut Malaikat.
Catatan mengenai penciptaan dunia di Kejadian 1,
mengatakan bahwa Allah menyebutkan beberapa perintah sehubungan dengan
penciptaan, “dan jadilah demikian”. Malaikatlah yang mengatakannya.
“Pahlawan-pahlawan perkasa yang melaksanakan
firmanNya dengan mendengarkan suara firmanNya” (Mzm. 103:20)
Oleh karena itu sangat beralasan untuk menyimpulkan
bahwa ketika kita membaca kata “Allah” dalam penciptaan dunia, mengacu kepada
malaikat. Ayub 38:4-7 menjelaskan hal yang sama. Jadi, kita dpat menyimpulkan
kisah tentang penciptaan dunia sebagaimana dicatat dalam Kejadian 1, sebagai
berikut;
Hari 1 “Allah berfirman, jadilah
terang; dan jadilah demikian (ayat 3)
Hari 2 “ Allah berfirman, jadilah
cakrawala di tengah segala air untuk memisahkan air dari air…dan jadilah
demikian (ayat 6,7)
Hari 3 “Allah berfirman, hendaklah
segala air yang dibawah langit berkumpul pada satu tempat sehingga kelihatan
yang kering, dan jadilah demikian (ayat 9)
Hari 4 “Allah berfirman, jadilah benda-benda
penerang pada cakrawala…, dan jadilah demikian (ayat 14,15)
Hari 5 “Allah berfirman, hendaklah di
dalam air berkeriapan makhluk yang hidup dan hendaklah burung beterbangan di
atas bumi melintasi cakrawala. Maka Allah menciptakannya…, dan jadilah demikian
(ayat 20, 21)
Hari 6 “Allah berfirman, hendaklah bumi
mengeluarkan segala jenis makhluk yang hidup…, dan jadilah demikian (ayat 24)
Manusia diciptakan pada hari keenam, “Allah
berfirman, baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa kita” (Kej.
1:26). Kami mengomentari ayat ini pada pelajaran 1.2 Untuk kedepan, sebagai
catatan bahwa kata “Allah” di ayat ini bukan hanya tertuju pada Allah saja.
“Baiklah kita menjadikan manusia” menunjukkan bahwa kata “Allah” tertuju pada
lebih dari satu pribadi. Kata Ibrani yang diterjemahkan sebagai “Allah” disini
adalah “Elohim”, yang artinya “Yang perkasa”, yang tertuju kepada Malaikat.
Adalah fakta bahwa malaikat menciptakan kita berdasarkan rupa mereka, hal ini
mengartikan bahwa kita mempunyai bentuk tubuh yang sama dengan mereka. Mereka
adalah pribadi yang nyata yang hidup di alam yang sama dengan Allah.
Pengertian kata “alam” mengacu pada apa yang secara
fundamentalis telah dipahami sebagai suatu tempat yang didiami berdasarkan
struktur tubuh secara fisik. Alkitab menjelaskan bahwa ada 2 alam, dan tidak
mungkin untuk berada di dalam 2 alam secara bersamaan.
Alam Allah (alam keilahian)
Tidak berdosa (sempurna) (Rm. 9:14; 6:23, Mzm.
90:2, Mat. 5:48, Yak. 1:13)
Tidak bisa mati, abadi (I Tim. 6:16)
Sangat kuat (Yes. 40:28)
Inilah alam Allah dan malaikat, yang mana juga
diberikan kepada Yesus setelah kebangkitannya (Kis. 13:34, Why. 1:8, Ibr. 1:3)
Inilah alam yang dijanjikan kepada kita (Luk. 20:35,36, II Ptr. 1:4, Yes.
40:28,31)
Alam Manusia
Dicobai supaya jatuh kedalam dosa (Yak. 1:13-15)
oleh hati yang secara alamiah memang rusak (Yer. 17:9, Mrk. 7:21-23)
Mati, tidak abadi (Rm. 5:12,17, I Kor. 15:22)
Kekuatannya terbatas baik secara fisik (Yes. 40:30)
dan mental (Yer. 10:23)
Inilah alam dimana semua orang baik maupun jahat
berada. Akhir dari alam ini adalah kematian. (Rm. 6:23) Alam dimana Yesus
berada selama ia hidup (Ibr. 2:14-18, Rm. 8:3, Yoh. 2:25, Mrk. 10:18)
Penampakkan Malaikat
Malaikat berada di alam yang sama dengan Allah,
mereka tdak berdosa dan abadi, karena dosa mengakibatkan kematian (Rm. 6:23).
Mereka mempunyai suatu tubuh secara fisik. Karena itulah pada waktu mereka
menampakkan diri di bumi mereka terlihat seperti seorang manusia.
§ Malaikat menghampiri Abraham untuk
memberitahukan firman Allah kepadanya; mereka dikatakan sebagai 3 orang
manusia, yang diperlakukan Abraham layaknya seperti manusia biasa, karena
penampilan mereka. “Biarlah diambil air sedikit, basuhlah kakimu dan duduklah
beristirahat di bawah pohon ini” (Kej. 18:4)
§ Dua dari tiga malaikat itu pergi ke
Sodom, sekali lagi, mereka dianggap sebagai manusia biasa oleh Lot dan penduduk
Sodom. “Kedua malaikat itu tiba di Sodom”, Lot mengundang mereka untuk bermalam
di rumahnya. Tapi karena Lot sangat mendesak mereka, singgahlah mereka dan
masuk kedalam rumahnya, “dimanakah orang-orang yang datang kepadamu malam ini?”
Lot memohon, “jangan kamu apa-apakan orang-orang ini”. “Kedua orang itu
(malaikat) memegang tangan mereka”dan menyelamatkan Lot; “lalu kedua orang itu
berkata kepada Lot, “Sebab itulah Tuhan mengutus kami untuk
memusnahkannya”(Sodom) (Kej. 19:1,5,8,10,12,13).
§ Perjanjian Baru juga mencatat tentang
peristiwa ini dan membenarkan bahwa malaikat-malaikat itu menampakkan diri
dalam bentuk manusia; “Jangan kamu lupa memberi tumpangan kepada orang, sebab
dengan berbuat demikian beberapa orang dengan tidak diketahuinya telah menjamu
malaikat-malaikat” (Ibr. 13:2)
§ Yakub bergulat dengan seseorang
sepanjang malam (Kej. 32:24), orang itu adalah Malaikat (Hos. 12:4,5)
§ Dua orang yang pakaiannya
berkilau-kilauan hadir pada saat Kebangkitan Yesus (Luk. 24:4) dan Kenaikan
Yesus (Kis. 1:10). Mereka adalah Malaikat.
§ Menurut ukuran manusia, yang adalah
juga ukuran malaikat (Why. 21:17)
Malaikat Tidak Berdosa
Malaikat berada di alam yang sama dengan Allah,
mereka tidak dapat mati. Karena dosa mengakibatkan kematian, maka mereka
pastilah tidak berdosa. Kata Yunani dan Ibrani yang diterjemahkan sebagai
“Malaikat” mempunyai arti “Utusan”, Malaikat adalah utusan atau pelayan dari Allah,
taat kepada Allah. Oleh karena itu mereka tidak berdosa. Kata Yunani “Aggelos”
yang diterjemahkan sebagai “Malaikat”, juga diterjemahkan sebagai “Utusan”
sehubungan dengan manusia – Yohanes pembaptis (Mat. 11:10) dan utusannya (Luk.
7:24) utusan dari Yesus (Luk. 9:52) dan orang-orang yang memata-matai Yerikho
(Yak. 2:25). Adalah suatu yang dapat terjadi, jika Malaikat dalam bentuknya
sebagai manusia, dapat berbuat dosa.
Ayat-ayat berikut ini menunjukkan bahwa Malaikat
(tidak semua) adalah secara alamiah memang taat kepada Allah, dan oleh karena
itu tidak berdosa:
“Tuhan sudah menegakkan takhtaNya di surga dan
KerajaanNya berkuasa atas segala sesuatu. (Tidak ada pemberontakan terhadap
Allah di surga) Pujilah Tuhan, hai malaikat-malaikatNya, hai pahlawa-pahlawan
yang perkasa, yang melaksanakan firmanNya, dengan mendengarkan suara firmanNya.
Pujilah Tuhan, hai segala tentaraNya, hai pejabat-pejabaNya yang melakukan
kehendakNya”. (Mzm. 103:19-21).
“Pujilah Dia, hai segala malaikatNya...hai segala
tentaraNya (Mzm. 148:2)
“Malaikat...bukankah mereka semua adalah roh-roh
yang melayani, yang diutus untuk melayani mereka (yang percaya) yang harus
memperoleh keselamatan?” (Ibr. 1:13,14)
Pengulangan kata “semua/segala”, menunjukkan bahwa
Malaikat-malaikat tidak terbagi menjadi dua pihak, yang satu baik dan yang satu
berdosa. Suatu hal yang penting untuk mengetahui dengan benar alam para
Malaikat, karena sebagai upah kebenaran adalah hidup di alam mereka; “Tetapi
mereka yang dianggap layak untuk mendapat bagian dalam dunia yang lain
itu...tidak kawin...sebab mereka tidak dapat mati lagi; mereka sama seperti
malaikat-malaikat” (Luk. 20:35,36). Inilah yang menjadi dasar pemahaman.
Malaikat-malaikat tidak dapat mati; “Kematian...bukan malaikat-malaikat” (Ibr.
2:15,16)
Jika Malaikat dapat berbuat dosa, maka mereka yang
layak untuk mendapat bagian pada kedatangan Kristus masih tetap mungkin untuk
berbuat dosa. Dan tentu saja kematian adalah upahnya (Rm. 6:23), oleh karena
itu mereka tidak akan menerima kehidupan abadi; jika kita masih mungkin untuk
berbuat dosa, maka masih memungkinkan juga kita akan menuju pada kematian.
Karena itu jika malaikat dapat berbuat dosa, maka janji Allah akan kehidupan
abadi menjadi tidak berarti. Referensi tentang Malaikat (Luk. 20:35,36) menunjukkan
bahwatidak ada kategori malaikat yang berdosa dan malaikat yang baik, hanya ada
satu kategori Malaikat. Jika Malaikat dapat berbuat dosa, dengan mengingat
bahwa Malaikat adalah perantara yang Dia gunakan untuk melaksanakan tujuanNya,
maka Allah telah mengutus kepada kita sesuatu yang tidak mampu untuk bertindak
sebagaimana mestinya dalam kehidupan kita dan dalam berurusan dengan dunia.
(Mzm. 103:19-21). Malaikat diciptakan dari roh oleh Allah untuk melayaniNya
(Mzm. 104:4). Mustahil jika mereka tidak patuh kepadaNya. Orang Kristen harus
berdoa demi Kerajaan Allah yang akan didirikan di bumi, karena itulah
kehendakNya, seperti yang Dia lakukan di surga (Mat. 6:10) Jika
Malaikat-malaikat Allah harus berperang dengan Malaikat-malaikat yang berdosa
di surga, maka kehendakNya tidak bisa dilaksanakan disana. Oleh karena itu
keadaan yang sama juga berlaku atas Kerajaan Allah di masa yang akan datang.
Untuk menjalani kehidupan abadi di dunia yang terus menerus terjadi peperangan
antara dosa dan ketaatan, adalah suatu prospek yang tidak bagus. Tapi, tentu
saja bukan itu yang terjadi.
Malaikat dan Orang-orang Percaya
Adalah suatu alasan yang baik untuk mempercayai
bahwa setiap orang yang percaya yang benar memiliki Malaikat Pelindung, mungkin
berbeda-beda satu dengan yang lain, yang memebantu di dalam kehidupan mereka.;
”Malaikat Tuhan berkemah di sekeliling orang-orang
yang takut akan Dia, lalu meluputkan mereka” (Mzm. 34:7)
”...anak-anak kecil ini yang percaya kepadaku
(murid yang lemah Zak. 13:7, Mat. 26:31)...ada Malaikat mereka di surga yang
selalu memenadang wajah Bapaku yang di surga.” (Mat, 18:6,10)
Orang Kristen yang mula-mula percaya bahwa Petrus
memiliki Malaikat pelindung (Kis. 12:14,15)
Pada waktu orang-orang Israel menyeberangi Laut
Merah, mereka dipimpin oleh seorang malaikat yang menjaga mereka dari padang
gurun hingga tanah perjanjian.- menyeberangi laut merah melambangkan baptisan
air kita (I Kor. 10:1)
Maka, bukanlah suatu yang tidak beralasan, jika
pada saat ini kita juga dibimbing oleh seorang Malaikat, yang membimbing
kita dari kehidupan liar seperti di padang gurun menuju tanah perjanjian yaitu
Kerajaan Allah.
Jika Malaikat dapat menjadi jahat sebagai akibat
dari berbuat dosa, maka janji akan bimbingan seorang malaikat yang menjadi
teladan bagi kehidupan kita akan menjadi suatu kutuk daripada berkat.
Kita telah mengetahui bahwa malaikat ada...
Yang hidup di alam Allah dan dapat menampakan
dirinya
Yang tidak berdosa
Yang selalu melaksanakan perintah-perintah Allah
Yang menjadi perantara dari Roh Allah untuk
berbicara dan bertindak (Mzm. 104:4)
Tapi...?
Banyak Gereja Kristen yang mempunuyaiide bahwa
malaikat dapat berbuat dosa dan malaikat yang berdosa itu bertanggung jawab
atas dosa dan masalah-masalah di bumi. Kita akan membahas konsep uang salah ini
dengan jelas pada pelajaran 6. Nerikut ini adalah kesimpilan yang dapat kita
buat;
§ Mungkin saja ada penciptaan seperti
kita sebelumnya, seperti yang diacatat di Kejadian 1. Mungkin juga malaikatlah
yang ingin mendapat pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu (Kej. 3:5)
juga berada di situasi yang sama dengan kita pada saat ini, yang mana pada
waktu itu berbuat dosa bukanlah suatu pelanggaran hukum; ini hanya spekulasi
berdasarkan keinginan manusia. Allah memberitahukan kepada kita apa yang harus
kita ketahui tentang keadaan yang sebenarnya, dimana tidak ada malaikat yang
berdosa, seluruh malaikat taat kepada Allah.
§ Tidak ada yang berdosa di surga,
karena ”Mata Allah terlalu suci untuk melihat kejahatan” (Hab. 1:13) juga
dijelaskan di Mazmur 5:4,5; ”Orang jahat takkan menumpang padaMu, pembual tidak
akan tahan di depan mataMu”.- di takhta surgawi Allah. Ide tentang adanya
pemberontakkan melawan Allah di surga oleh malaikat yang berdosa, sangat
bertentangan dengan apa yang telah dijelaskan oleh ayat ini.
§ Kata Yunani yang diterjemahkan sebagai
”Malaikat”, yang berarti ”utusan”, bisa tertuju kepada manusia, seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya. Seorang manusia yang menjadi utusan Allah tentu
saja dapat berbuat dosa.
§ Adanya sesuatu yang jahat dan berdosa
yang bertanggung jawab atas semua aspek-aspek negatif dalam kehidupan adalah
salah satu dari hal-hal yang mendasar yang diyakini dalam penyembahan berhala.
Begitu juga dengan perayaan hari natal oleh orang-orang kristen pada saat ini,
perayaan tersebut adalah suatu ide yang berasal dari konsep penyembahan
berhala.
§ Hanya ada sedikit ayat-ayat Alkitab
yang mendukung ide keberadaan malaikat yang berdosa. Hal-hal ini dibahas dalam
buku ”In Search of Satan” yang juga diterbitkan oleh penerbit buku ini. Hanya
dengan mendasarkan kepada beberapa ayat, tidaklah cukup untuk
mengkontradiksikan apa yang telah Alkitab ajarkan, sebagaimana telah dibahas
dalam pelajaran ini.
2.1 Definisi Roh Allah
Seperti halnya Allah itu nyata, suatu pribadi yang
memiliki perasaan dan emosi, maka adalah suatu yang diharapkan bahwa ia akan
menggunakan beberapa cara untuk mengungkapkan keinginannya dan perasaannya
kepada kita, anak-anaknya, kemudian kita menerapkannya di dalam kehidupan kita
selaras dengan karakternya. Semua ini dilakukan Allah melalui RohNya. Jika kita
ingin mengenal Allah dan mempunyai hubungan yang aktif dengan Dia, maka kita
perlu untuk mengetahui apakah “Roh Allah” itu? Bagaimana ia bekerja?
Bukan sesuatu yang mudah untuk menjelaskan dengan
tepat arti kata “Roh” (“Spirit” dalam bahasa Inggris). Jika anda pergi ke suatu
pesta pernikahan, misalnya anda mungkin berkomentar,”There was a really spirit
there!” Anda bermaksud untuk mengatakan bahwa susana disana baik, segala
sesuatu yang menyangkut pernikahan berjalan dengan baik. Setiap orang
berpakaian dengan pantas, makanannya enak, orang-orang berbicara satu sama lain
dengan baik, pengantinnya cantik, dll. Semua hal ini menjadi “Spirit” (sesuatu
yang membuat) pernikahan berjalan dengan baik.
Demikian halnya Roh Allah, menjelaskan dengan
ringkas segala sesuatu tentang Dia. Kata Ibrani yang diterjemahkan sebagai
“roh” di dalam Perjanjian Lama, mempunyai arti “nafas” atau “tenaga”; maka Roh
Allah adalah “nafasnya”, bagian yang pokok dari Allah, yang mencerminkan
pikirannya. Kami akan memberikan contoh bagaimana kata “roh” digunakan dalam
menggambarkan pikiran seseorang atau wataknya, dalam pelajaran 4.3. Kata roh
tidak hanya mengacu kepada tenaga Allah saja, hal ini dengan jelas diterangkan
dalam Roma 15:19; “kuasa roh”.
Adalah suatu ajaran umum Alkitab bahwa apa yang
manusia pikirkan, diekspresikan dalam tindakanny. (Ams. 23:7, Mat. 12:34),
kelakuam kita menggambarkan apa yang ada di pikiran kita. Kita memikirkan
sesuatu, kemudian melakukannya. Roh atau pikiran kita akan merefleksikan apa
yang telah menjadi fakta, misalnya kita lapar dan menginginkan makanan, kita
melihat pisang di dapur; keinginan ”roh” kita diterjemahkan ke dalam tindakan,
kita mengambil pisang itu lalu mengupasnya dan memakannya. Contoh yang
sederhana ini menunjukan mengapa kata Ibrani untuk ”roh” mempunyai dua arti,
yaitu nafas atau pikiran dan tenaga. Roh kita, adalah inti kehidupan kita.
Dalam skala yang lebih besar, Roh Allah mempunyai pengertian yang sama; yaitu
suatu kuasa yang menunjukan tenagaNya, watakNya dan tujuanNya. Pikiran Allah
adalah apa yang akan dilaksanakannya;”Sesungguhnya seperti yang Kumaksud,
demikianlah yang terjadi, dan seperti yang Kurancang, demikianlah akan
terlaksana” (Yes. 14:24)
Kekuatan Allah
Banyak ayat yang dengan jelas mengidentifikasikan
bahwa Roh Allah adalah tenagaNya. Dalam hal penciptaan alam semesta; ”Roh Allah
melayang-layang di atas permukaan air. Dan Allah berfirman, jadilah terang:
lalu terang itu jadi.” (Kej. 1:2,3)
Roh Allah adalah sumber dari segala sesuatu yang
telah diciptakan, ”Oleh nafasNya langit menjadi cerah, tanganNya menembus ular
yang tangkas” (Ayub 26:13). ”Oleh firman Tuhan langit telah dijadikan, oleh
nafas dari mulutNya segala tentaraNya.” (Mzm. 33:6). Oleh karena itu Roh Allah
dijelaskan sebagai:
NafasNya
FirmanNya
TanganNya
Karena tenagaNya Ia menyebabkan segala sesuatu ada.
Demikian juga orang-orang percaya yang lahir kembali adalah atas kehendakNya
(Yoh. 3:3-5). KehendakNya dilaksanakan oleh Roh. Berbicara tentang seluruh penciptaan,
kita membaca, ”Apabila Engkau mengirimkan RohMu, mereka tercipta, dan Engkau
membaharui muka bumi” (Mzm. 104:30). Roh/Tenaga inilah yang menjadi penopang
bagi segala sesuatu, sebagaimana hal-hal tersebut diciptakan. Mudah sekali
untuk membayangkan bagaimana jadinya kehidupan yang tragis ini dan yang penuh
dengan sandungan, tanpa campur tangan Roh Allah. Ayub, yang menjadi letih atas
apa yang dia alami, telah diperingatkan oleh seorang nabi:”Jikalau Ia menarik
kembali RohNya, dan mengembalikan NafasNya kepadaNya, maka binasalah
bersama-sama segala yang hidup, dan kembalilah manusia kepada debu” (Ayub
34:14,15). Ketika berusaha keluar dari keadaan yang tertekan, Daud memohon
kepada Allahuntuk terus mendukungnya melalui Roh untuk melindunginya (Mzm. 51:12).
Di dalam pelajaran 4.3 kita akan membahas tentang
roh yang telah diberikan kepada kita dan seluruh ciptaan, adalah roh yang
menopang kehidupan kita. Kita mempunyai ”nafas dari roh kehidupan” di dalam
diri kita (Kej. 7:22) yang diberikan Allah pada waktu manusia diciptakan (Mzm.
104:30; Kej. 2:7). Hal ini membuat Dia menjadi ”Allah dari roh segala makhluk”
(Bil. 27:16, Ibr. 12:9). Karena Allah sebagai sumber kehidupan yang menopang
segala makhluk, maka RohNya berada dimana saja. Daud mengetahui bahwa melalui
RohNya/TenagaNya, Dia mampu mengetahui setiap sudut dari pikirannya dan apa
yang dipikirkannya. Maka pengertian dari bahwa Dia selalu berada dimana saja,
walaupun Dia berada di surga, adalah RohNya yang melakukan hal itu.
Engkau mengetahui kalau aku duduk atau berdiri,
Engkau mengerti pikiranku dari jauh...Kemana aku dapat pergi menjauhi RohMu,
kemana aku dapat lari dari hadapanMu? Jika aku terbang dengan sayap fajar, dan
membuat kediaman di ujung laut, juga disana...tangan kananMu memegang aku. (Mzm.
139:2,7,9,10)
Pengertian yang tepat dari hal ini adalah bahwa
Allah menyatakan diriNya kepada kitasebagai suatu tenaga aktif yang sangat
kuat. Banyak orang yang imannya bertumbuh bersama pengertian yang tidak jelas
tentang Allah. Bagi mereka Allah hanyalah suatu konsep di dalam pikiran,
seperti kotak hitam pesawat yang berada di dalam otak. Pengertian tentang Allah
yang benar dan kehadiranNya yang nyata disekitar kita melalui RohNya, dapat
mengubah total kehidupan kita. Kita dikelilingi oleh roh, yang terus menerus
memberikan kesaksian dari setiap tindakannya tentang Allah kepada kita. Daud
mendapatkan semangat dari semua ini, yang tentu saja sangat membingungkannya:
”Terlalau ajaib bagiku pengetahuan itu, terlalau tinggi, tidak sanggup aku
mencapainya.” (Mzm. 139:6). Tanggung jawab harus disertai dengan pengetahuan
yang cukup; kita harus mengakui bahwa setiap apa yang kita pikirkan dan
lakukan, diketahui oleh Allah. Selagi kita mengoreksi diri kita apakah kita
layak dihadapanNya, khususnya sebelum pembaptisan, kita perlu memikirkan hal
ini: menerapkan firman Allah yang mulia yang disampaikanNya kepada Yeremia:
”Sekiranya ada seseorang menyembunyikan diri dalam tempat persembunyian,
masakan Aku tidak melihat dia? Demikianlah firman Tuhan. Tidaklah Aku memenuhi
langit dan bumi? Demikianlah firman Tuhan” (Yer. 23:24).
Kita telah melihat bahwa konsep tentang Roh Allah
sangat luas untuk dipahami; tentang pikiran dan watakNya, dan juga tenaga yang
Dia gunakan untuk melaksanakan apa yang ada di dalam pikiranNya. ”Sebab seperti
orang yang membuat perhitungan dalam dirinya sendiri demikianlah ia” (Ams.
23:7); begitu juga dengan Allah di dalam pikiranNya. Dalam pengertian ini, yang
dimaksud adalah RohNya (Yoh. 4:24). Meskipun begitu, hal ini tidak mengartikan
bahwa Allah bukan suatu pribadi (lihat pertentangan 1). Untuk membantu anda
memahami pengertian tentang Roh Allah yang luas, kadang-kadang kami akan
menyebutnya ”Roh KudusNya.”
Kata ”Roh Kudus” banyak sekali ditemukan di dalam
Perjanjian Baru, di dalam terjemahan Versi Autorisasi (AV), kata ”Roh Kudus”
sering kali digunakan, tapi seharusnya kata itu diterjemahkan sebagai ”suatu
roh kudus”, dalam Alkitab terjemahan modern terjemahannya lebih jelas. Sepadan
dengan yang tercatat di dalam Perjanjian Lama,”Roh dari Allah”, atau ”Roh dari
Tuhan”. Dengan jelas diterangkan dalam Kisah para Rasul 2 bahwa Aku akan
mencurahkan RohKu (Allah) (Kis. 2:17). Juga di Lukas 4:1 menceritakan Yesus
”yang penuh dengan roh kudus”, kembali dari sungai yordan; kemudian dalam pasal
yang sama Yesus mengatakan ”Roh Tuhan ada padaku” yang menjadi penggenapan dari
Yesaya 61. Dalam kedua contoh ini (masih banyak lagi yang lain) arti kata Roh
Kudus sama dengan yang ada di Perjanjian Lama ”Roh dari Allah”.
Perlu diketahui, Roh Kudus diparalelkan dengan
tenaga Allah dalam beberapa ayat berikut;
”Roh Kudus (roh) akan turun atasmu (Maria), dan
kuasa Allah yang maha tinggi akan menaungi engkau” (Luk. 1:35)
”oleh kekuatan roh kudus...oleh kuasa tanda-tanda
dan mujizat-mujizat dan oleh kuasa roh.” (Rm. 15:13,19)
”Sebab Injil yang kami beritakan...dengan kekuatan
oleh roh kudus.” (I Tes. 1:5)
Murid-murid dijanjikan akan menerima Roh Kudus
seperti mereka ”diperlengkapi dengan kekuasaan dari tempat tinggi” (Kis. 10:38)
Paulus menopang pengajarannya hal yang tak dapat
disangkal, yaitu kuasa/tenaga Allah; ”baik perkataanku maupun
pemberitaanku...dengan keyakinan akan kekuatan roh.” (I Kor. 2:4).
2.2 Inspirasi
Kami telah menjelaskan Roh Allah adalah tenagaNya,
pikiran dan watak yang Dia tunjukkan melalui tindakan-tindakan dimana rohNya
yang bekerja. Dalam pembahasan sebelumnya kami menyebutkan bagaimana roh Allah
nampak pada pekerjaan penciptaan:”Oleh nafasNya langit-langit menjadi cerah”
(Ayub 26:13)-Roh Allah melayang-melayang di atas permukaan air (Kej. 1:2).
Bahkan juga kita membaca “Oleh firman Tuhan” langit telah dijadikan (Mzm.
33:6), seperti yang ditunjukkan melalui kisah di Kejadian, yang mencatat bahwa
“Allah berfirman” mengenai hal-hal yang akan diciptakan dan terjadilah
demikian. Oleh karena itu Roh Allah sangat mencerminkan firmanNya. Seperti
kata-kata yang kita ucapkan mencerminkan kepribadian kita dengan akurat. Yesus
dengan bijaksana menggambarkan: “Karena yang diucapkan mulut meluap dari hati
(pikiran)”. Jadi, jika kita ingin mengontrol kata-kata kita, pertama-tama kita
harus memulainya dari pikiran kita. Firman Allah adalah penggambaran dari
rohNyaa atau pemikiranNya. Adalah suatu berkat bahwa di dalam Alkitab kita
memiliki kata-kata Allah yang tertulis, sehingga kita boleh mengerti tentang roh
atau pemikiran Allah. Allah melakukan keajaiban ini dengan kata-kata tertulis
yang dilakukan oleh rohNya melalui suatu proses INSPIRASI. Istilah ini berasal
dari kata ”spirit” (dalam bahasa Inggris).
IN-SPIRIT-ATION
”Spirit” berarti ”nafas” atau bernafas, ”Inspirasi”
berarti ”melalui pernafasan”, Ini mengartikan bahwa kata-kata yang ditulis oleh
para penulis yang berada dibawah ”inspirasi” Allah, adalah kata-kata dari Roh
Kudus. Paulus menganjurkan Timotius agar pengenalannya terhadap Kitab Suci yang
sudah dari sejak lahir tidak membuatnya melupakan fakta bahwa itu adalah firman
dari Roh Allah, yang memberikan kepada kita banyak hal yang perlu kita ketahui
supaya kita mempunyai pengetahuan yang benar tentang Allah:
”Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah
mengenal kitab suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau
kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus. Segala tulisan yang
diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan,
untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan
demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi (secara menyeluruh)
untuk setiap perbuatan baik.”
Jika tulisan-tulisan kudus yang terilham merupakan
suatu pengetahuan secara keseluruhan, maka kita tidak lagi membutuhkan suatu
”cahaya suci” untuk menunjukkan kepada kita kebenaran tentang Allah. Banyak
sekali orang-orang yang menceritakan tentang pengalaman pribadi mereka dan apa
yang mereka rasakan sebagai sumber mereka akan pengetahuan tentang Allah. Jika
kita menerima dengan iman bahwa firman Allah yang terilham sudah cukup untuk
melengkapi peralatan seorang kristen dalam kehidupan, maka tidak diperlukan
lagi suatu mukjizat di dalam kehidupan kita. Jika tidak demikian, maka firman
Allah belum cukup untuk melengkapi kita. Seperti yang dijanjikan Paulus bahwa
hal itu akan terjadi. Untuk mempelajari Alkitab dan mempercayainya sebagai
firman Allah, dibutuhkan suatu iman. Ketertarikan bangsa Israel terhadap firman
Allah sangat beralasan, seperti yang dialami banyak ”orang kristen” pada saat
ini. Kita semua harus berhati-hati dalam merefleksikan Ibrani 4:2;
”Karena kepada kita diberitakan juga kabar kesukaan
sama seperti kepada mereka, tetapi firman pemberitaan itu tidak berguna bagi
mereka, karena tidak bertumbuh bersama-sama oleh iman dengam mereka yang
mendengarnya.”
Daripada berusaha untuk menumbuhkan iman kepada
kuasa roh Allah/ firmanNya sebagaimana yang telah dinyatakan, malah mengambil
jalan pintas secara rohani dengan alasan bahwa kuasa dari Roh Allah akan datang
kepada kita secara tiba-tiba, yang akan membuat kita diterima dihadapan Allah,
dan menganggap hal itu lebih baik daripada mengalami penderitaan terus menerus
karena taat kepada firman Allah yang dengan demikian akan membuat Roh Allah
bekerja di dalam hati kita.
Ketidaksediaan mereka dalam menerima kekuatan
spiritual yang sangat besar melalui firman Allah yang telah menuntun banyak
”orang kristen” bertanya apakah semua tulisan kudus betul-betul inspirasi dari
Allah. Mereka menganggap bahwa menyelidiki Alkitab lebih jauh adalah opini
pribadi dari orang tua yang bijaksana. Petrus menjelaskannya dengan efektif
dalam menanggapi hal yang tidak jelas ini;
”Dengan demikian kami diteguhkan oleh firman yang
telah disampaikan oleh para nabi. Alangkah baiknya kalau kamu memperhatikannya
sama seperti memperhatikan pelita yang bercahaya di tempat yang gelap sampai
fajar menyingsing dan bintang timur terbit bersinar di dalam hatimu. Yang
terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam kitab suci tidak
boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat
dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang
berbicara atas nama Allah” (2 Ptr. 1:19:21)
Kita harus mempercayai ”kata-kata diatas” bahwa
Alkitab terilham. Berdasarkan inilah kami membuat Pengakuan Iman
Christadelphian.
Para Penulis Alkitab
Kepercayaan yang mendalam mengenai segenap
inspirasi dari tulisan-tulisan kudus adalah suatu hal yang penting. Menarik
sekali, para penulis Alkitab dibimbing oleh roh yang menginspirasikan mereka
sehingga mereka menulis bukan berdasarkan kata-kata mereka sendiri. FirmanMu
adalah kebenaran (Yoh. 17:17). Untuk menyatakan kesalahan dan untuk memperbaiki
kelakuan (2 Tim. 3:16,17), tidak mengejutkan jika banyak orang tidak mengetahui
hal ini, karena kebenaran menyakitkan. Nabi Yeremia ditentang karena
memberitakan firman Allah, dan dia dipaksa untuk tidak mencatatnya atau
mempublikasikannya. Oleh karena penulisan firman Allah didasari atas kehendak
Allah bukan manusia, maka ia ”terus dibimbing oleh Roh Kudus” sehingga ia tidak
mempunyai pilihan dalam menghadapi keadaan ”Aku telah menjadi tertawaan
sepanjang hari, semuanya mereka mengolok-olokkan aku...Tetapi apabila aku
berpikir, ”Aku tidak mau mengingat Dia, dan tidak mau mengucapkan firman lagi
demi namaNya. Maka dalam hatiku ada sesuatu seperti api yang menyala-nyala,
terkurung dalam tulang-tulangku; aku berlelah-lelah untuk menahannya, tetapi
aku tidak sanggup (Yer. 20:7,9)
Demikian juga halnya dengan Bileam , yang dipaksa
untuk mengutuk Israel, Roh Allah membuat dia mengucapkan berkat daripada
sebaliknya (Bil. 24:1-13 Ul. 23:5).
Suatu jumlah yang mengejutkan dari orang-orang yang
diperintahkan Allah untuk menyatakan firmanNya, yang melaksanakan tugas itu
dengan berat hati, jumlahnya sangat mengesankan;
Musa (Kel. 4:10)
Yehezkiel (Yeh. 3:14)
Yunus (Yun. 1:2,3)
Paulus (Kis. 18:9)
Timotius (1 Tim. 4:6-14)
Bileam (Bil. 22-24)
Hal ini mengkonfirmasikan apa yang telah kita
pahami di 2 Petrus 1:19-21 bahwa firman Allah bukanlah pendapat pribadi dari
manusia, tapi adalah hasil dari penulisan orang-orang yang berada di bawah
inspirasi, yang diperintahkan untuk mencatat apa yang telah dinyatakan kepada
mereka. Nabi Amos mengatakan:”Tuhan Allah telah berfirman, siapakah yang tidak
bernubuat?” (Amos 3:8). Pada waktu Musa kehilangan rasa percaya dirinya, Allah
mendukungnya:”Segala perintah ini, yang telah difirmankan Tuhan kepada Musa...”
(Bil. 15:22,23); firman ini diucapkan oleh Musa (ayat 17).
Pembuktian lain mengenai hal-hal ini adalah bahwa
para penulis Alkitab tidak betul-betul mengerti mengenai hal-hal yang telah
mereka catat. Karena mereka sendiri menyelidikinya untuk mendapatkan penafsiran
yang benar. ”Kepada mereka telah dinyatakan, bahwa mereka bukan melayani diri
mereka sendiri, tetapi melayani kamu dengan segala sesuatu yang telah diberikan
sekarang kepada kamu dengan perantaraan mereka.” sebagaimana yang telah mereka
catat (I Ptr. 1:9-12)
Firman yang telah mereka catat bukanlah atas
kehendak mereka sendiri, buktinya mereka sendiri juga menyelidikinya. Ayat-ayat
berikut menjelaskan beberapa contoh; Daniel (Dan. 12:8-10) Zakharia (Zak.
4:4-13) dan Petrus (Kis. 10:17)
Jika orang-orang ini hanya diinspirasikan untuk
menulis beberapa bagian saja, maka kita tidak akan mengetahui dengan benar
tentang firman atau roh Allah. Jika hal-hal yang mereka tulis adalah
benar-benar firman dari Allah, maka mereka telah dibimbing sepenuhnya oleh Roh
Allah dalam masa penulisan. Tapi jika yang terjadi sebaliknya, maka hasilnya
adalah bukan firman Allah yang murni. Untuk menerima Alkitab sebagai firman
Allah sepenuhnya, kita harus lebih memotivasi diri untuk membaca dan
menaatinya. ”janji-janjiMu sangat teruji, dan hambaMu mencintainya” (Mzm.
119:140).
Dengan demikian kitab-kitab yang terdapat di dalam
Alkitab adalah karya Allah melalui Roh KudusNya, yang melebihi karya manusia.
Untuk meyakinkan hal ini, perhatikan bagaimana Perjanjian Lama dijadikan
referensi untuk menulis Perjanjian Baru:
- Matius
2:5 karena demikianlah ”ada tertulis dalam kitab nabi” -Allah telah menulisnya
melalui mereka
- ”yang
disampaikan Roh Kudus dengan perantaraan Daud...” (Kis, 1:16 menerangkan
bagaimana Petrus mengutip ayat dari Mazmur, bandingkan dengan Ibrani 3:7)
- ”yang
disampaikan Roh Kudus melalui perantaraan Yesaya” (Kis. 28:25 Paulus mengutip
dari Yesaya) Lukas 3:4 mengatakan ”Kitab nubuat-nubuat Yesaya” daripada hanya
sekedar ”Kitab Yesaya.”
Oleh karena itu, bagi orang kristen yang mula-mula,
mengetahui bahwa Roh Kuduslah yang menginspirasikan firman tersebut adalah
lebih penting daripada mengetahui siapa yang menulisnya.
Dalam pelajaran ini akan kami lampirkan daftar
ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Roh Allah telah dinyatakan kepada kita melalui
firman Allah yang tertulis:
- Dengan
terus terang Yesus mengatakan,”Perkataan-perkataan yang kukatakan kepadamu
adalah roh dan hidup” (Yoh. 6:63); Dia berbicara dibawah inspirasi dari Allah
(Yoh. 17:8; 14:10)
- Kita
dijelaskan tentang lahir kembali melalui air dan roh (Yph. 3:3-5) dan firman
Allah (I Ptr. 1:2,3)
- Firman
yang disampaikan Tuhan semesta alam melalui rohNya dengan perantaraan para
nabi...” (Zak. 7:12)
- ”...Aku
hendak mencurahkan isi hatiKu kepadamu dan memberitahukan perkataanKu kepadamu”
(Ams. 1:23) Memberikan pengertian yang benar tentang firman Allah kepada kita
melalui rohNya. Percuma saja kita membaca Alkitab kalau tidak bisa mengambil
pelajaran dari dalamnya dan akan membuat roh/pikiran Allah tidak dinyatakan
kepada kita.
- Ada
banyak ayat yang menjelaskan hubungan antara firman Allah dan rohNya: ”...RohKu
yang menghinggapi engkau dan firmanKu yang kutaruh dalam mulutmu...”(Yes.
59:21); ”Oleh karena firmanMu dan menurut hatiMu (roh)” (2 Sam. 7:21); ”RohKu
akan Kubiarkan diam di dalam batinmu...” (Yeh. 36:27); ”...Aku akan menaruh
TauratKu dalam batin mereka...” (Yer. 31:33)
Kuasa Firman Allah
Roh Allah tidak hanya mengacu kepada
pikiran/watakNya, tapi juga kepada tenaga yang Dia gunakan untuk
mengekspresikan apa yang Dia pikirkan. Adalah suatu yang diharapkan bahwa
firman dari rohNya bukan hanya menyatakan apa yang Dia pikirkan, tapi juga
menyatakan suatu kekuatan yang terdapat dalam firman tersebut.
Pengertian yang benar tentang kekuatan itu akan
membuat kita jadi berhasrat untuk menggunakannya. Perasaan rendah diri untuk
melakukan hal tersebut dapat diatasi dengan pengetahuan kita, ketaatan kepada
firman Allah akan memberikan kekuatan untuk mengatasi masalah sekecil apapun
dalam hidup ini sambil menentikan penyelamatan. Karena berpengalaman dalam hal
ini, Paulus menulis;
”Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam
Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan...” (Rm. 1:16)
Lukas 1:37 berbicara mengenai hal yang sama:”Sebab
bagi Allah tidak ada yang mustahil.”
Oleh karena itu, mempelajari Alkitab dan
menerapkannya di dalam hidup kita adalah suatu proses yang dinamis. Proses ini
bukanlah proses belajar seperti di sekolah theologia, juga bukan proses
”menjadi orang baik” seperti yang diajarkan banyak gereja, yang hanya berdasarkan
sedikit ayat menyimpulkan suatu pengajaran tanpa mau berusaha untuk memahami
atau menerapkannya. ”Sebab firman Allah hidup dan kuat dan...; ”Ia adalah
cahaya kemuliaan Allah...” (Ibr. 4:12; 1:3) ”firman Allah...dan memang
sungguh-sungguh demikian sebagai firman Allah, yang bekerja juga di dalam kamu
yang percaya” (1 Tes. 2:13). Melalui firman, Allah secara aktif bekerja di
dalam pikiran orang-orang percaya yang benar, setiap jam dalam sehari.
Oleh karena itu Injil yang sedang anda pelajari
intinya adalah Kuasa Allah yang benar; jadi, jika anda melakukannya maka, Roh
Allah akan bekerja dalam kehidupan anda dan merubah anda menjadi anak Allah,
yang mencerminkan roh/pikiran Allah dalam beberpa hal di dalam kehidupan ini,
dan juga mempersiapkan anda untuk memasuki alam Allah yang akan datang pada
saat kedatangan Kristus. (2 Ptr. 1:4) Seperti yang diajarkan Paulus ”dengan
keyakinan akan Kekuatan Roh” (1 Kor. 2:4).
Kita dikelilingi oleh orang-orang yang tidak
percaya sepenuhnya kepada Alkitab sebagai firman Allah, walaupun mereka
mengklaim percaya kepada Kristus. Serupa dengan klaim mereka bahwa mereka
menerima Allah tapi tidak dapat menerima Allah sebagai pribadi yang nyata.
Dengan menolak segenap tulisan-tulisan kudus yang terilham dan keunggulannya
yang mengatasi keyakinan dan perasaan pribadi kita, sama dengan menolak Kuasa
Allah. Seperti yang tertulis di 2 Tim. 3:5; ”Secara lahiriah mereka menjalankan
ibadah mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya.” yaitu
kekuatan Injil.
Keyakinan kita diolok-olok oleh dunia (”seperti
itukah anda meyakininya?”), begitu juga dengan yang dialami oleh Paulus dan
rekan-rekan sekerjanya; ”Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah
kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan
itu adalah kekuatan Allah” (1 Kor. 1:18)
Dengan mempertimbangkan semua ini, dapatkah kita
memegang erat Alkitab dengan penghormatan yang besar dan keinginan yang dalam
untuk memahaminya dan mematuhinya?
Sikap Umat Allah Terhadap FirmanNya
Dengan daya pengamatan yang tajam sewaktu membaca
Alkitab, kita akan mengetahui bahwa penulis Alkitab tidak hanya mengetahui
bahwa ia diilhami, tapi ia juga memberitahukan bahwa penulis yang lain juga
terilham. Tuan Yesus mahir dalam hal ini, sewaktu ia mengutip Mazmur Daud
sebagai permulaan ia mengatakan,”Daud oleh pimpinan Roh...” (Mat. 22:43), hal
ini menunjukkan bahwa ia tahu kata-kata Daud terilham. Yesus juga berbicara
tentang tulisan-tulisan Musa (Yoh. 5:45-47) yang menunjukkan dia percaya bahwa
Musa memang betul-betul menulis Kitab Taurat. Mereka yang disebut ”pengkritik
tajam” ajaran kristen mempertentangkan apakah benar Musa yang menuliskan hukum
taurat, tapi apa yang mereka pertentangkan telah diklarifikasikan oleh Yesus.
Dia menyebut Musa sebagai penulis ”perintah-perintah Allah” (Mrk. 7:8,9).
Kelompok yang sama dari para ”penentang yang tidak jujur” mengklaim bahwa
kebanyakan kisah di dalam Perjanjian Lama adalah mitos, padahal baik Yesus
maupun Paulus tidak pernah mengatakan hal demikian. Sewaktu Yesus berbicara
tentang kisah Ratu Syeba sebagai fakta sejarah yang diakui (Mat.12:42) Dia
tidak mengatakan,”Dongeng Ratu Syeba...”
Sikap para murid juga sama dengan tuan mereka.
Dicontohkan oleh Petrus yang mengatakan bahwa pengalaman pribadinya dalam
mendengarkan firman dari Kristus dengan telinganya sendiri membuat dia semakin
”diteguhkan oleh firman yang telah disampaikan para nabi” (2 Ptr.
1:19-21). Petrus mempercayai bahwa surat-surat Paulus mempunyai autoritas yang
sama dengan Perjanjian Lama.
Ada banyak perumpamaan di dalam Kisah para Rasul,
Surat-surat, dan Wahyu yang berkaitan dengan Injil (sebgai contoh, bandingkan
Kis. 13:51; Mat. 10:14) yang mengindikasikan bahwa bukan hanya mereka yang
diilhami, tapi juga menyatakan bahwa Injil yang dicatat adalah terilham,
seperti yang dikatakan oleh para penulis Perjanjian Baru. Di dalam 1 Timotius
5:18 Paulus mengutip ayat-ayat dari Ulangan 25:4 dan Lukas 10:7 sebagai
”tulisan-tulisan kudus.” Paulus berani mengatakan dengan tegas bahwa apa yang
dia beritakan berasal dari Kristus, bukan dari dirinya sendiri (Gal.1:11,12; I
Kor. 2:13, 11:23, 15:3). Hal ini juga diketahui oleh para murid yang lain; oleh
karena itu di dalam Yakobus 4:5 mengutip kata-kata dari Galatia 5:17 sebagai
”tulisan kudus.”
Allah telah berbicara kepada kita melalui Kristus,
oleh karena itu sudah tidak diperlukan lagi wahyu yang lain (Ibr. 1:2). Dapat
diselidiki bahwa Alkitab juga menyinggung tulisan terilham lainnya yang tidak
terdapat di dalam Alkitab (sebagai contoh; the book of Jasher, the writings of
Nathan, Elijah, Paul to Corinth, dan John’s third epistle yang mengatakan
secara tidak langsung bahwa Yohanes telah menulis suatu surat yang tidak
dipelihara, yang ditujukan kepada gereja yang mana Diotrefes menolak untuk
mematuhinya). Mengapa tulisan-tulisan ini tidak tersedia bagi kita? Jelas,
karena memang tidak ada sangkut pautnya dengan kita. Oleh karena itu kita dapat
yakin bahwa Allah telah menyediakan semua tulisan yang ada sangkut pautnya
dengan kita.
Telah diklaim bahwa buku-buku di dalam Perjanjian
Baru dapat diterima secara berangsur-angsur sebagai tulisan yang terilham, tapi
fakta bahwa para murid mengatakan bahwa setiap tulisan kudus terilham,
menyangkal hal tersebut. Suatu roh yang menakjubkan telah diberikan untuk
menguji apakah surat-surat dan kata-kata yang diklaim sebagai yang terilham,
apa memang benar demikian? (1 Kor. 14:37; 1 Yoh. 4:1; Why. 2:2). Hal ini
mengartikan bahwa surat-surat yang terilham memang sudah diterima sebelumnya
sebagai catatan yang terilham. Jika ada campur tangan manusia dalam menyeleksi
buku-buku yang terdapat dalam Alkitab, maka Alkitab sama sekali tidak memiliki
autoritas.
2.3 Karunia oh Kudus
Dalam masa berbeda sewaktu Dia berurusan dengan
manusia, Allah telah menggunakan kekuatannya (Roh Kudus) untuk diutus kepada
manusia. Dan selalu ada tujuan yang spesifik, sewaktu Roh Kudus diutus. Bukan
seperti “cek kosong” yang dapat diisi semaunya untuk mengabulkan apa saja yang
diminta oleh manusia. Dan jika tujuannya telah tercapai, maka karunia Roh Kudus
akan berakhir. Kita harus ingat bahwa Roh Allah bertindak selaras dengan
tujuanNya. Di dalam tujuanNya Dia selalu mengijinkan akan adanya penderitaan di
dalam kehidupan manusia dalam jangka pendek dengan tujuan untuk membimbing
mereka kepada tujuan jangka panjangNya. (lihat pelajaran 6.1). Jadi, adalah
suatu yang diharapkan bahwa Roh KudusNya tidak digunakan untuk mengurangi
penderitaan manusia dalam hidup ini, yang adalah bukan suatu hal yang penting.
Bantuan memang disediakan, tapi bantuan itu digunakan untuk mencapai tujuan
yang lebih tinggi yaitu, menyatakan maksud tujuan Allah kepada kita.
Kontras dengan apa yang secara popular dipahami
oleh orang-orang Kristen pada saat ini tentang Roh Kudus. Kesan yang diberikan
adalah percaya kepada Kristus akan mendatangkan keuntungan secara nyata,
misalnya disembuhkan dari sakit, karena Roh Kudus pasti akan menyembuhkannya.
Hal inilah yang menyebabkan tejadinya perselisihan yang mengakibatkan
perpecahan di banyak negara, contohnya seperti di Uganda, terjadi perpecahan
yang disebabkan oleh orang-orang yang mengklaim bahwa mereka memiliki karunia
Roh Kudus untuk menyembuhkan, yang berdasarkan sejarah klaim seperti itu telah
sering kali terjadi bertepatan dengan masa dimana manusia sangat menginginkan
hal itu terjadi. Kejadian seperti ini sangat disangsikan karena, jika seseorang
mencari pengalaman yang melebihi apa yang terjadi pada zaman manusia yang
bobrok ini, adalah suatu yang mudah untuk mengklaim telah mendapatkan sesuatu
yang telah memenuhi syarat.
Banyak “orang Kristen” pada saat ini yang mengklaim
bahwa mereka memiliki karunia Roh Kudus. Tetapi ketika ditanya apakah
sebenarnya yang menjadi tujuan mereka, jawaban mereka tidak jelas. Selalu ada
tujuan yang jelas dan spesifik, jika Allah mengutus RohNya, tujuan yang dapat didefinisikan.
Karena itu mereka yang mengaku menerima karunia Roh Kudus, harus mengetahui
dengan tepat apa tujuan mereka dalam menggunakan karunia tersebut. Bukan hanya
menyebutkan sebagian kecil dari sukses yang mereka capai dalam menggunakan
karunia tersebut. Karena karunia tersebut diberikan Allah kepada manusia untuk
suatu tujuan spesifik yang berdasarkan kehendakNya, dan yang digunakan hanya
sementara waktu. (bandingkan Yesaya 40:13).
-
Dalam permulaan sejarah bangsa Israel, mereka diperintahkan untuk merentangkan
tenda (tabernakel), yang didalamnya terdapat altar dan peralatan kudus lainnya
dipelihara, instruksi lebih detail diberikan sehubungan dengan cara membuat
barang-barang tersebut, yang mana diperlukan dalam beribadah kepada Allah. Untuk
membantu menyelesaikannya, Allah membimbing mereka melalui Roh. Mereka “telah
dipenuhi dengan Roh keahlian, mereka membuat pakaian Harun…” dst. (Kel. 28:3)
-
Salah satu dari orang-orang ini, Bezaleel, “telah dipenuhi dengan Roh Allah,
dengan keahlian, dan pengertian dan pengetahuan dalam segala macam pekerjaan
untuk…dikerjakan dari emas,…untuk mengasah batu…dalam segala macam pekerjaan”
(Kel. 31:3-5). Di dalam Bilangan 11:14-17 mencatat bahwa sebagian roh/tenaga
yang telah diberikan kepada Musa, diberikan juga kepada para tua-tua Israel,
dengan tujuan memudahkan mereka dalam mengatasi keluhan-keluhan bangsa Israel,
sehingga Musa tidak lagi merasa tertekan. Sebelum kematian Musa, roh yang
diberikan kepadanya beralih kepada Yosua, sehingga dia layak untuk memimpin
bangsa Israel (Ul. 34:9).
-
Pada saat bangsa Israel memasuki tanah perjanjian hingga mereka dipimpin oleh
seorang Raja yang pertama (Saul), mereka dipimpin oleh orang-orang yang
disebut Hakim-hakim. Selama periode ini mereka sering kali ditindas oleh
musuh-musuh mereka. Di dalam buku Hakim-hakim dicatat bahwa Roh Allah turun
kepada beberapa dari antara Hakim-hakim tersebut, dengan tujuan menyelamatkan
bangsa Israel dengan cara yang menakjubkan dari serbuan musuh mereka. Otniel
(Hak. 3:10), Gideon (Hak. 6:34), dan Yefta (Hak. 11:29) merupakan contoh
tentang hal ini.
-
Hakim yang lain, Samson, diberikan roh dengan tujuan untuk membunuh singa (Hak.
14:5,6), untuk membunuh 30 orang (Hak. 14:19), dan untuk memutuskan tali yang
mengikatnya (Hak. 15:14). Karunia “Roh Kudus” seperti itu tidak ditunjukkan
Samson terus menerus, tapi selalu ada tujuan yang jelas, setelah itu berakhir.
-
Jika ada suatu firman Allah yang penting untuk disampaikan kepada umatNya, Roh
akan menginspirasikan seseorang untuk memberitahukan hal tersebut. Ketika
selesai dilaksanakan maka karunia roh tersebut akan berakhir. Dan orang itu
kembali ke keadaannya yang semula. Ada banyak contoh tentang hal ini, salah
satunya adalah;
“Lalu Roh Allah menguasai Zakharia…dan berkata
kepada mereka;”Beginilah firman Allah: Mengapa kamu melanggar perintah-perintah
Tuhan,…?” (2 Taw. 24:20)
Untuk contoh lainnya, bisa dilihat di 2 Tawarikh
15:1,2 dan Lukas 4:18,19
Ini menjadi suatu bukti bahwa dalam menerima
karunia berupa Roh Kudus, bukan merupakan:
-
Jaminan akan keselamatan
-
Sesuatu yang akan menanggung segala hal dalam kehidupan
-
Mendapatkan sesuatu kekuatan mistik
-
Sesuatu yang menjadikan orang bersukacita
Harus diakui bahwa banyak alasan yang tidak jelas
mengenai karunia roh kudus yang ditunjukkan oleh orang-orang yang mengklaim
telah menerima “roh kudus”, dan di dalam suatu ruang kebaktian, seorang pendeta
membayangkan dengan cara yang memikat bahwa ia “menerima roh kudus” didahului dengan
pengakuan “iman kepada Yesus.” Harus ditanyakan dengan jelas, karunia tersebut
digunakan untuk apa? Sungguh tidak bisa dipahami, mengapa mereka tidak
mengetahui dengan tepat bagaimana karunia yang mereka terima itu digunakan?
Samson dikaruniai roh untuk membunuh singa (Hak. 14:5,6); dan pada waktu ia
melawan seekor binatang buas, dia tahu betul bagaimana menggunakan roh yang
telah diberikan kepadaNya. Tidak ada keragu-raguan pada dirinya. Kejadian nyata
ini kontras dengan mereka yang mengklaim telah menerima Roh Kudus. Tapi tidak
bisa menunjukkannya melalui tindakan yang spesifik, bahkan mereka tidak tahu
karunia seperti apa yang mereka miliki?”
Karena tidak ada alasan lain yang jelas, maka dapat
disimpulkan bahwa orang-orang seperti mereka memiliki emosi yang didramatisir
sehubungan dengan Kekristenan, dan sebagai akibat dari bentuk pertobatan
mereka, yang dijalani menurut pengertian mereka, mereka merasakan sesuatu
perasaan yang aneh, yang baru, didalam diri mereka. Untuk membenarkan hal ini
mereka mencari dalil dari ayat-ayat Alkitab sehubungan dengan karunia Roh
Kudus, dan menyimpulkannya dengan kalimat.”Pasti inilah yang aku alami!”
Kemudian pendeta mereka yang ceria menyolek mereka dibawah dagu dan
mengatakan,”Orang mati, pujilah Tuhan!” Dan mengutip kisah dari Alkitab sebagai
”bukti” untuk meyakinkan yang lain untuk menerima roh kudus. Kurangnya
pengetahuan Alkitab adalah sumber penyebab dari parodi kebohongan ini, dimana
orang yang terlibat di dalamnya merasakan suatu ”perubahan” yang dianggapnya benar.
Selagi kita berjuang melawan kelicikan hati kita
(Yer. 17:9), kita harus memegang teguh prinsip-prinsip Alkitab. Yang perlu
diterapkan selagi kita belajar bagaimana cara Roh Allah bekerja. Kita semua
ingin agar kuasa Allah bekerja di dalam kehidupan kita. Tapi, bagaimana dab
mengapa Ia melakukannya? Apakah kita benar-benar memiliki karunia roh seperti
yang dimiliki orang-orang yang dicatat dalam Alkitab? Jika kita ingin
sungguh-sungguh mengenal Allah dan menjalin persahabatan denganNya, kami akan menunjukkan
betapa mendesaknya untuk memahami dengan benar pengertian tentang hak-hal ini.
Alasan Karunia Roh Kudus Diberikan Pada Abad
Pertama
Untuk mengingat kembali prinsip dasar tentang
karunia roh kudus yang telah kita pelajari sebelumnya, sekarang kita akan
melihat catatan di Perjanjian Baru mengenai karunia roh yang diberikan kepada
gereja yang mula-mula (yaitu komunitas orang-orang percaya yang hidup pada masa
setelah Yesus).
Perintah terakhir Kristus kepada murid-muridnya
adalah untuk memberitakan Injil sampai keseluruh dunia (Mrk. 16:15,16). Mereka
melaksanakannya dengan menjadikan kematian dan kebangkitan Kristus sebagai tema
utama dari penginjilan mereka. Tapi ingat, pada waktu itu tidak ada kitab
Perjanjian Baru seperti yang kita kenal. Mereka berdiri di tempat-tempat yang
ramai dan di sinagoga, membicarakan tentang Yesus orang Nazareth, cerita mereka
kedengarannya ajaib; seorang tukang kayu yang sempurna yang berasal dari
Israel, yang mati kemudian dibangkitkan dengan tujuan menggenapi nubuat dari Perjanjian
Lama. Kemudian menyuruh mereka yang telah mendengarkannya untuk dibaptis dan
mengikuti teladan Yesus.
Pada masa itu banyak orang mendirikan
kelompok-kelompok pelayanan seperti mereka, yang menggunakan cara lain untuk
membenarkan bahwa ajaran Kristen memang berasal dari Allah dan bukan suatu
filsafat dari para nelayan yang berasal dari Israel utara.
Pada zaman sekarang, kita dapat membandingkan dari
catatan Perjanjian Baru mengenai apa yang Yesus kerjakan dengan hal-hal yang
dia ajarkan, untuk membuktikan bahwa apa yang kami sampaikan berasal dari
Allah. Tapi pada zaman tersebut, sebelum Alkitab ada, Allah mengijinkan para
pemimpin gereja untuk menggunakan kuasa dari Roh KudusNya dengan tujuan untuk
mendukung apa yang mereka ajarkan. Inilah alasan spesifik dari menggunakan
karunia tersebut di dalam dunia ini. Belum tersedianya kitab Perjanjian Baru
menyulitkan kelompok-kelompok dari orang-orang percaya sehubungan dengan
pertumbuhan iman mereka. Mereka tidak menemukan solusi yang tepat mengenai masalah-masalah
praktis yang mereka hadapi. Hanya ada sedikit petunjuk bagi mereka untuk
bertumbuh dalam iman kepada Kristus. Jadi, untuk alasan inilah karunia roh
kudus tersedia sebagai petunjuk bagi orang-orang percaya yang mula-mula,
melalui pesan-pesan yang terilham, sampai Perjanjian Baru mencatat pesan-pesan
ini dan juga mengenai apa yang Yesus ajarkan, untuk kemudian disebarluaskan.
Seperti yang telah terjadi, alasan-alasan berikut
menjelaskan bahwa Roh Kudus diberikan berlimpah-limpah;
-
”Tatkala Ia (Yesus) naik ke tempat tinggi (surga), Ia...memberikan (Roh)
pemberian-pemberian kepada manusia...untuk memperlengkapi orang-orang kudus,
bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus”, yaitu orang-orang
yang percaya (Ef. 4:8,12)
-
Maka Paulus menulis kepada orang-orang yang percaya di Roma, ”Sebab aku ingin
melihat kamu untuk memberikan karunia rohani kepadamu guna menguatkan kamu (Rm.
1:11)
Tentang penggunaan karunia-karunia roh untuk
mendukung pemberitaan Injil, kita membaca;
-
Sebab Injil yang kami beritakan bukan disampaikan kepada kamu dengan kata-kata
saja, tetapi juga dengan kekuatan oleh Roh Kudus dan dengan suatu kepastian
yang kokoh” (I Tes.1:5, bandingkan dengan I Kor. 1:5,6)
-
Paulus dapat mengatakan ”apa yang telah dikerjakan Kristus olehku, yaitu untuk
memimpin bangsa-bangsa lain kepada ketaatan, oleh perkataan dan perbuatan, oleh
kuasa roh” (Rm. 15:18,19)
-
Mengenai pemberitaan Injil, kita membaca, ”Allah meneguhkan kesaksian mereka
oleh tanda-tanda dan mujizat-mujizat dan oleh berbagai-bagai pernyataan
kekuasaan dan karunia Roh Kudus” (Ibr. 2:4)
-
Keberhasilan pemberitaan Injil di Siprus didukung oleh berbagai mujizat,
sehingga ”Melihat apa yang telah terjadiitu, percayalah gubernur itu, ia takjub
oleh ajaran Tuhan” (Kis. 13:12)
-
Mujizat-mujizat membuat mereka sungguh menghargai doktrin yang telah diajarkan
kepada mereka di Ikonium, juga, ”Tuhan menguatkan berita tentang kasih
karuniaNya dengan mengaruniakan kepada mereka kuasa untuk mengadakan
tanda-tanda dan mujizat-mujizat” (Kis. 14:3)
Semua ringkasan ini menceritakan tentang kepatuhan
murid-murid dalam melaksanakan perintah penginjilan: ”Merekapun pergilah
memberitakan Injil ke segala penjuru, dan Tuhan turut bekerja dan meneguhkan
firman itu dengan tanda-tanda yang menyertainya” (Mrk. 16:20)
Hal-Hal Yang Spesifik Pada Waktu-Waktu Yang
Spesifik
Karunia Roh Kudus diberikan dengan tujuan melakukan
hal-hal yang spesifik pada waktu-waktu yang spesifik. Hal ini menunjukkan
kekeliruan dari klaim bahwa karunia Roh Kudus diberikan untuk selamanya dalam
kehidupan seseorang. Para murid termasuk Petrus ”dipenuhi dengan Roh Kudus”
pada perayaan Pantekosta setelah kenaikan Yesus (Kis. 2:4). Karena itu, mereka
diizinkan untuk berbicara dalam berbagai bahasa asing, dengan tujuan sebagai
awal dari pemberitaan Injil Kristen, melalui cara yang spektakular. Ketika
kalangan yang berwenang memeriksa mereka, ”Petrus dipenuhi dengan Roh Kudus”
yang membuat dia sanggup untuk memberikan jawaban yang meyakinkan kepada mereka
(Kis. 4:8). Setelah bebas dari penjara, dengan karunia Roh, mereka diberikan
kekuatan untuk menginjil, ”dan mereka semua penuh dengan Roh Kudus, lalu
memberitakan firman Allah dengan berani” (Kis. 4:31)
Pembaca yang cermat pasti akan menemukan
bahwa tidak tertulis, ”mereka semua penuh dengan Roh Kudus sebelumnya”
untuk melakukan hal-hal itu. Mereka dipenuhi Roh untuk melakukan hal-hal
tertentu, dan akan dipenuhi kembali untuk melakukan tugas selanjutnya
sehubungan dengan rencana Allah. Demikian juga Paulus, ”dipenuhi dengan Roh
Kudus” dengan tujuan untuk menghukum seseorang yang jahat menjadi buta (Kis.
9:17; 13:9).
Berbicara tentang karunia yang menakjubkan, Paulus
menulis bahwa orang-orang yang percaya yang mula-mula menunjukkan karunia
tersebut ”menurut ukuran pemberian Kristus” (Ef. 4:7). Kata Yunani untuk
”ukuran” berarti ”suatu bagian atau tingkat yang terbatas” (Strong’s
Concordance-Kamus Bahasa Yunani). Hanya Yesus yang memiliki karunia tanpa
ukuran, yaitu kebebasan untuk menggunakannya sesuai dengan kehendaknya (Yoh.
3:34). Sekarang kita akan mendefinisikan karunia-karunia Roh tersebut
sebagaiman yang sering ditunjukkan pada abad pertama.
Karunia-Karunia Roh Di Abad Pertama
Nubuat
Kata Yunani untuk ”Nabi” mempunyai arti seseorang
yang terus memberitahukan firman Allah, yaitu orang yang diilhami untuk
mengatakan firman Allah, termasuk memberitahukan kejadian pada masa yang akan
datang (lihat 2 Petrus 1:19-21). Maka ”Nabi-nabi”, orang-orang yang dikaruniai
nubuat datang ”dari Yerusalem menuju Antiokia, seseorang dari mereka yang
bernama Agabus bangkit dan oleh kuasa Roh ia mengatakan, bahwa seluruh dunia
akan ditimpa bahaya kelaparan yang besar. Hal itu terjadi juga pada zaman
Klaudius. Lalu murid-murid memutuskan untuk mengumpulkan suatu sumbangan,
sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing dan mengirimkannya kepada
saudara-saudara” (Kis. 11:27-29).
Ini adalah salah satu contoh nubuat yang spesifik,
dan betul-betul digenapi dalam beberapa tahun kemudian, kontras dengan mereka
yang dengan pengetahuannya yang sedikit tentang Alkitab, mengklaim bahwa mereka
telah mendapatkan karunia nubuat: yang sesungguhnya karunia tersebut diberikan
kepada Gereja yang mula-mula, kepada orang-orang diantara mereka, dalam
menghadapi penderitaan yang mengorbankan waktu dan kekayaan mereka, sebagaimana
telah dinubuatkan sebelumnya. Beberapa contoh dari mereka yang mengklaim telah
menerima karunia Roh pada saat ini, dapat kita lihat pada gereja-gereja yang
dinamakan Gereja yang ”dipenuhi Roh.”
Penyembuhan
Para murid memberitakan kabar baik (Injil) tentang
kedatangan Kerajaan Allah yang akan didirikan di bumi. Untuk membenarkan apa
yang mereka beritakan, mereka melakukan mujizat-mujizat sebagai pendahuluan
dari apa yang mereka beritakan. Mereka melakukan mujizat-mujizat sebagai
pendahuluan tentang apa yang akan terjadi pada masa itu, dimana ”mata
orang-orang buta akan dicelikkan, dan telinga orang-orang tuli akan dibuka.
Pada waktu itu orang lumpuh akan...” (Yes. 35:5,6). Untuk mengetahui lebih
jelas tentang keadaan di Kerajaan Allah, lihat pelajaran 5. Pada waktu Kerajaan
Allah didirikan di bumi, janji-janji ini tidak akan digenapi dengan
setengah-setengah, bahkan tidak ada keragu-raguan, apakah Kerajaan itu jadi
didirikan disini atau tidak. Oleh karena itu dengan cara yang menakjubkan Allah
mengonfirmasikan mengenai KerajaanNya bahwa, banyak janji itu pasti, dalam
bentuk yang nyata, yang tidak dapat disangkal. Untuk alasan ini, banyak sekali
penyembuhan yang menakjubkan yang dilakukan oleh orang-orang percaya yang
mula-mula di hadapan umum.
Suatu contoh klasik dapat kita temui sewaktu Petrus
menyembuhkan seorang pengemis yang lumpuh, yang setiap paginya berbaring di
depan pintu gerbang bait. Kisah para Rasul 3:2 menyebutkan bahwa mereka
membaringkannya disan setiap hari – suatu pemandangan yang biasa dilihat oleh
orang-orang – setelah disembuhkan oleh Petrus dengan menggunakan karunia Roh,
”Ia melonjak berdiri lalu berjalan kian kemari dan mengikuti mereka ke dalam
Bait Allah, berjalan dan melompat-lompat...Seluruh rakyat itu melihat dia
berjalan sambil memuji Allah, lalu mereka mengenal dia sebagai orang yang
biasanya duduk meminta sedekah di gerbang indah Bait Allah, sehingga mereka
takjub dan tercengang tentang apa yang telah terjadi padanya. Karena orang itu
tetap mengikuti Petrus...seluruh orang banyak yang sangat keheranan itu datang
mengerumuni mereka di serambi yang disebut Serambi Salomo (Kis. 3:7-11).
Kemudian dengan segera Petrus menuju ke tempat
terbuka dan menceritakan tentang kebangkitan Kristus; karena mereka tidak
dibantah sehubungan dengan fakta mengenai penyembuhan yang mereka lakukan
kepada pengemis itu, maka kita dapat yakin bahwa mereka menerima kata-kata
Petrus berasal dari Allah. Gerbang bait suci ”pada waktu sembahyang” (Kis. 3:1)
selalu dilewati banyak orang, seperti di pusat perbelanjaan pada sabtu pagi.
Alah memilih tempat seperti ini untuk menegaskan kembali firmanNya melalui
suatu mujizat yang nyata. Demikian juga halnya di Kisah para Rasul 5:12, kita
membaca ”dan oleh rasul-rasul diadakan banyak tanda dan mujizat diantara orang
banyak.” Inilah klaim yang digunakan oleh ”Pantekosta” dalam penyembuhan, dan
memutarbalikkan hal-hal ini dengan melakukannya di gereja-gereja daripada
dilakukan di jalan-jalan dan dihadapan para ”orang-orang percaya”, mereka
bersatu di dalam roh untuk mengharapkan suatu ”mujizat” dan tidak mengeraskan
hati khalayak ramai dulu sebelumnya, seperti yang dilakukan para murid.
Telah dikatakan bahwa yang menulis ini
berpengalaman sekali dalam mendiskusikan hal-hal tersebut bersama orang-orang
yang mengklaim mendapatkan roh, dan juga menyaksikan sendiri berbagai klaim
yang mendapatkan karunia roh. ”Kesaksian pribadi” saya dalam melihat
”penyembuhan” yang tidak meyakinkan dan sebagian dari penyembuhan yang terbaik,
tidak perlu dijelaskan lebih terperinci; seorang anggota yang jujur dari
gereja-gereja ini akan mengakui bahwa banyak hal seperti ini masih berlangsung.
Dalam banyak kesempatan, saya telah menuliskanhal tersebut di dalam ”maksud
baik teman-teman Pantekosta”, demikian salah satu kutipannya, ”Saya bersedia
untuk percaya bahwa anda memiliki kuasa yang besar ini. Tapi, Allah selalu
menunjukkan dengan jelas siapa yang memiliki kuasaNya dan siapa yang tidak;
jadi, bukan tidak beralasan saya ingin anda menunjukkan faktanya – setelah itu
mungkin saya akan cenderung untuk menerima doktrin anda, yang pada saat ini
tidak bisa saya pahami berdasarkan tulisan kudus.” Setelah itu pertunjukkan roh
dan kuasa itu tidak pernah ditunjukkan kepada saya.
Kontras dengan sikap saya, orang-orang Yahudi
Ortodoks pada abad pertama menutup mata terhadap kemungkinan bahwa orang-orang
Kristen memperoleh karunia Roh yang menakjubkan dari Allah. Walaupun sebelumnya
mereka telah mengakuinya, ”orang itu membuat banyak mujizat” (Yoh. 11:47) dan ”bahwa
mereka telah mengadakan suatu mujizat yang menyolok dan kita tidak dapat
menyangkalnya” (Kis. 4:16). Demikian juga mereka yang telah mendengar sendiri
para murid berbicara dalam bahasa mereka sendiri (Kis. 2:6). Peristiwa demikian
tidak terjadi pada saat ini, dan bukan seperti ”bahasa roh” (blabbering)
Pantekosta. Fakta bahwa orang-orang cenderung semakin mengasihi di dalam
Pantekosta modern, menjadi alasan bahwa mereka benar-benar menunjukkan mujizat,
tentunya hal ini menjadi poin penting di dalam debat ini. Jika hanya dengan
satu mujizat saja dapat menjadi berita utama di seluruh Yerusalem, tidak
beralasan untuk menyarankan bahwa jika terjadi mujizat yang nyata di
Trafalgar Square London atau Taman Nyaharuru nairobi kemudian akan dikenal ke
seluruh dunia bahwa Allah telah mengaruniakan RohNya yang menakjubkan pada saat
ini. Sebaliknya, gerakan Pantekosta mengharapkan agar dunia dapat mencapai
beberapa hal sebagai alasan dari iman mereka;
-
Disembuhkan (pada akhirnya) dari bisul/borok di perut; proses penyembuhan yang
dianggap benar, dilakukan sebelum berdoa.
-
Anggota tubuh yang cacat disembuhkan.
-
Penglihatan atau pendengaran menjadi lebih jelas, meskipun sering kembali ke
keadaan semula.
-
Depresi dihilangkan.
Dari contoh-contoh diatas, harus ditambahkan suatu
fakta bahwa ambulans membawa pasien rumah sakit ke TO Osborn Healing Crusades
di Nairobi, Kenya. Supirnya menghadapi dilema dimana ia harus memutuskan apakah
harus diantar ke tujuan atau kembali ke rumah sakit. Perlu diingat, seperti
biasanya penderitaan tidak mendapatkan pengobatan.
Poster-poster dipasang di tempat umum untuk
mengundang supaya hadir pada kebaktian dengan tema yang menantang ”Datanglah,
nantikan suatu mujizat!” Poster itu dibuat sedemikian rupa untuk mempengaruhi
orang secara psikologis. Tidak dicatat dalam Perjanjian Baru mengenai cara
demikian dilakukan sebelum mujizat ditunjukkan. Adalah suatu fakta bahwa
beberapa dari antara mereka yang disembuhkan pada abad pertama, tidak mempunyai
iman, bahkan ada yang tidak mengenal Yesus (Yoh. 5:13, 9:36)
Sesuatu yang mirip dengan pemboman jiwa ditunjukkan
melalui penyesatan pikiran dari doa yang diulang-ulang dan irama musik yang
mengiringi. Tidak dapat diragukan lagi bahwa cara tersebut dapat mengosongkan
pikiran. Penulis buku ini bersedia untuk diundang kembali mengahadiri
acara-acara seperti itu di berbagai tempat, yang dalam setiap waktunya
mengalami sakit kepala akibat dari perjuangan untuk mempertahankan hal-hal yang
rasional, selaras dengan yang tercatat di Alkitab dalam menghadapi cobaan untuk
menyerah dari irama drum dan tepukan tangan. Semua itu dijalankan sebagai
pembukaan dari mujizat Pantekosta dan cukup untuk membuktikan bahwa penyembuhan
itu adalah hasil dari emosi dan keadaan secara pikologis, daripada operasi yang
tepat sasaran yang dilakukan oleh Roh Allah. Kontras dengan Petrus yang
menggunakan karuniaa mujizatnya untuk menyembuhkan orang-orang yang berbaring
di pinggir jalan (Kis. 5:15); Paulus menggunakan karunianya yang menakjubkan
senagai kesaksian pribadi kepada seorang pejabat pemerintah yang tidak percaya
(Kis. 13:12,13) dan juga kepada para pemuja berhala yang banyak berada di kota
Listra (Kis. 14:8-13). Diperlukan suatu tujuan untuk mengaruniakan Roh, dan
hal-hal ini dilakukan dilakukan di tempat-tempat umum. Dengan cara apapun hal
ini tidak boleh dianggap remeh melalui berbagai penjelasan untuk mengakui bahwa
disini ada kuasa Allah yang telah ditunjukkannya oleh pelayan-pelayanNya.
Yang hasilnya mirip dengan salah satu akibat dari
mujizat penyembuhan Kristus; ”yang begini belum pernah kita lihat” (Mrk. 2:12).
Bahasa Roh
Para murid, yang sebagian dari antara mereka adalah
nelayan, menerima perintah besar untuk pergi ke seluruh dunia memberitakan
Injil (Mrk. 16:15,16). Mungkin reaksi mereka yang pertama kali adalah, ”tapi
aku tidak dapat berbicara dalam bahasa yang lain!” situasi ini sama dengan,
”Saya tidak begitu baik dalam pelajaran bahasa asing di sekolah”, bahkan
merekapun tidak pernah sekolah. (Kis. 4:13). Bahkan bagi para Rasul yang
terpelajar (misalnya Paulus), masalah bahasa adalah suatu rintangan yang berat.
Setelah dikristenkan mereka membutuhkan kepercayaan satu sama lain demi
kemajuan rohani (pada waktu itu belum ada Perjanjian Baru) yang mengartikan
bahwa tidak mengerti bahasa satu sama lain adalah masalah yang cukup besar.
Untuk mengatasi masalah ini maka karunia untuk
berbicara dalam bahasa asing diberikan supaya mereka mengerti, diperkenankan.
Jelas sekali hal ini bertentangan dengan mereka yang memamerkan ”bahasa roh” dan
orang-orang Kristen yang dilahirkan kembali, yang menganggap ungkapan
kegembiraan mereka yang tidak dimengerti sebagai ”bahasa roh.” Kekacauan ini
dapat dijernihkan dengan menunjukkan bahwa definisi Alkitab tentang ”bahasa
roh” adalah ”bahasa asing.”
Pada hari Pentakosta Yahudi, setelah Yesus diangkat
ke surga, para murid ”dipenuhi dengan Roh Kudus”, lalu mereka mulai
berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain...berkerumunlah orang banyak (sekali
lagi, karunia tersebut ditunjukkan di hadapan umum) dan menghujat, karena
mereka mendengar para murid berbicara dalam bahasa mereka. Mereka semua
tercengang-cengang dan heran, lalu berkata, bukankah mereka yang berkata-kata
itu orang Galilea? Bagaimana mungkin kita masing-masing mendengar mereka
berkata-kata dalam bahasa kita sendiri (dari kata Yunani yang sama juga
diterjemahkan sebagai ”bahasa-bahasa”) yaitu bahasa yang kita pakai di negeri
asal kita: Partia, dan Media,...kita mendengar mereka berkata-kata dalam bahasa
kita sendiri...Mereka semuanya tercengang-cengang” (Kis. 2:4-12). Tidak mungkin
mereka tercengang-cengang dan heran, jika yang mereka dengar itu hanylah
ucapan-ucapan kosong seperti yang dilakukan oleh mereka yang mengklaim memiliki
karunia tersebut pada saat ini: yang hanya akan mendapatkan sindiran atau tidak
diacuhkan sama sekali, daripada membuat orang jadi tercengang-cengang, dan
mengerti dengan pasti kata-kata yang mereka ucapkan, seperti yang dijelaskan di
Kisah para Rasul 2.
Terpisah dari hubungan yang jelas antara ”bahasa
roh” dan ”bahasa-bahasa” di Kis. 2:4-11, di bagian lain dalam Perjanjian Baru,
”bahasa roh” dengan jelas sekali digunakan untuk mengartikan ”bahasa asing”;
kata-kata seperti ”bangsa-bangsa, suku-suku, dan bahasa-bahasa”, digunakan lima
kali di Wahyu untuk menerangkan semua orang yang berada di planet bumi (Wahyu
7:9, 10:11, 11:9, 13:7, 17:15). Kata Yunani untuk bahasa roh sama dengan yang
digunakan di Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani (yang disebut Septuaginta),
yang mengartikan bahasa asing (lihat Kejadian 10:5, Ulangan 28:49, Daniel 1:4).
Di I Korintus 14 terdapat daftar perintah-perintah
sehubungan dengan penggunaan karunia bahasa roh; ayat 21 mengutip Yesaya 28:11,
sehubungan bagaimana karunia tersebut digunakan untuk bersaksi melawan
orang-orang Yahudi; ”Sungguh, oleh orang-orang yang berlogat ganjil dan oleh
orang-orang yang berbahasa asing akan berbicara kepada bangsa ini.” Yesaya
28:11 terutama mengacu kepada penyerang-penyerang Israel yang berbicara kepada
orang-orang Yahudi dalam berbagai bahasa yang tidak mereka ketahui. Hubungan
antara”bahasa asing” dan ”berbicara” mengindikasikan bahwa bahasa roh
mengartikan bahasa-bahasa asing. Di I Korintus 14 ada banyak indikasi tentang
bahasa roh yang mengacu kepada bahasa-bahasa asing. Pada pasal ini Paulus
diilhamkan untuk mengritik penyalahgunaan karunia berbahasa dan bernubuat.
Sekarang kami akan mengomentari dengan singkat hal-hal tersebut, ayat 37 adalah
ayat kucinya;
”jika seseorang menganggap dirinya nabi atu orang
yang mendapat karunia rohani, ia harus sadar, bahwa apa yang kukatakan padamu
adalah perintah Tuhan.”
Jika seseorang mengklaim mendapatkan karunia
rohani, dia harus menerima terlebih dahulu perintah-perintah yang diilhamkan
Allah tentang bagaimana menggunakan karunia tersebut. Ayat 11-17;
”Tetapi jika aku tidak mengetahui arti bahasa itu,
aku menjadi orang asing bagi dia yang mempergunakannya dan dia orang asing
bagiku.
Demikian pula dengan kamu; kamu memang berusaha
untuk memperoleh karunia-karunia roh, tetapi lebih daripada itu hendaklah kamu
berusaha mempergunakannya untuk membangun jemaat.
Karena itu siapa yang berkata-kata dengan bahasa
roh, ia harus berdoa, supaya kepadanya diberikan juga karunia untuk
menafsirkannya.
Sebab jika aku berdoa dengan bahasa roh, maka
rohkulah yang berdoa, tetapi akal budiku tidak turut berdoa.
Jadi, apakah yang harus kubuat? Aku akan berdoa
dengan rohku, tetapi aku akan berdoa juga dengan akal budiku; aku akan menyanyi
dan memuji dengan rohku; tetapi aku akan menyanyi dan memuji juga dengan akal
budiku.
Sebab jika engkau mengucap syukur dengan rohmu
saja, bagaimanakah orang biasa yang hadir sebagai pendengar dapat mengatakan
”amin” atas pengucapan syukurmu? Bukankah ia tidak tahu apa yang engkau
katakan?
Sebab sekalipun pengucapan syukurmu itu sangat
baik, tetapi orang lain tidak dibangun olehnya.”
Berbicara dalam suatu bahasa yang tidak dimengerti
oleh mereka yang hadir pada waktu kebaktian adalah tiada artinya. Dengan
mengenyampingkan bagaimana dapat mengatakan ”amin” dengan benar, mereka
berbicara dengan kata-kata kosong dalam sebuah doa membual yang tenang dan yang
tidak dapat dimengerti. Ingat, ”Amin” berarti terjadilah demikian, yaitu ”Saya
benar-benar menyetujui apa yang diucapkan dalam doa ini.” Berbicara dalam suatu
bahasa yang tidak dimengerti oleh saudara-saudara anda, tidak akan membangun
mereka, seperti yang dikatakan oleh Paulus.
Ayat 18;
”Aku mengucap syukur kepada Allah, bahwa aku
berkata-kata dengan bahasa roh lebih daripada kamu semua.”
Karena dia menempuh perjalanan yang cukup panjang
dalam memberitakan Injil, maka Paulus membutuhkan karunia untuk berbicara dalam
berbagai macam bahasa lebih banyak.
Ayat 19;
”Tetapi dalam pertemuan jemaat aku lebih suka
mengucapkan lima kata yang dapat dimengerti untuk mengajar orang lain juga,
daripada beribu-ribu kata dengan bahasa roh.”
Ayat 22;
”Karena itu karunia bahasa roh adalah tanda, bukan
untuk orang yang beriman; tetapi untuk orang yang tidak beriman, sedangkan
karunia untuk bernubuat adalah tanda, bukan untuk orang yang tidak beriman,
tetapi untuk orang yang beriman.”
Oleh karena itu penggunaan bahasa roh sebagian
besar digunakan untuk menyebarluaskan Injil. Saat ini, mereka yang paling
banyak mengklaim memiliki ”bahasa roh”, hanya menunjukkannya di dalam kelompok
mereka sendiri. Ada beberapa contoh yang telah terjadi tentang kekurangan
orang-orang yang secara menakjubkan mampu berbicara dalam berbagai bahasa asing
dalam menyebarkan Injil. Pada permulaan tahun 1990an pintu kesempatan terbuka
untuk menyebarluaskan Injil Kristus di Eropa Timur, Gereja-gereja ”Evanglis”
(disebut begitu) harus mendistribusikan literatur mereka hanya ke dalam bahasa
inggris karena masalah bahasa! Tentu saja karunia untuk berbahasa harus
digunakan jika hal itu dimiliki? Dan suatu massa dalam jumlah besar dari
evanglis Reinhardt Seiber dengan luar biasa mengklaim memiliki roh, tapi tetap
saja menggunakan penerjemah sewaktu berbicara kepada kumpulan orang banyak di
Kampala, Uganda.
Ayat 23;
”Jadi, kalau seluruh jemaat berkumpul bersama-sama
dan tiap-tiap orang berkata-kata dengan bahasa roh, lalu masuklah orang-orang
luar atau orang-orang yang tidak beriman, tidakkah akan mereka katakan, bahwa
kamu gila?”
Persis seperti yang telah terjadi. Orang-orang
muslim maupun para penyembah berhala mengolok-olok kelakuan aneh dari mereka
yang mengklaim memilik karunia bahasa roh di Afrika Barat. Bahkan para petinggi
Kristen tidak habis pikir mengenai kebaktian Pantekosta, yang
anggota-anggotanya lebih pantas disebut orang-orang gila.
Ayat 27;
”jika ada yang berkata-kata dengan bahasa roh,
biarlah dua atau sebanyak-banyaknya tiga orang, seorang demi seorang, dan harus
ada seorang lain untuk menafsirkannya.”
Hanya dua atau tiga orang yang diperlukan untuk
berbicara dalam bahasa roh dalam kebaktian. Tidak mungkin ada lebih dari tiga
bahasa berbeda yang diucapkan kepada para jemaat. Karena konsentrasi akan buyar
jika kalimat dari pembicara harus diterjemahkan lebih dari dua kali. Jika
karunia bahasa roh dimiliki pada waktu kebaktian di Central London, yang
dihadiri oleh orang-orang Inggris, termasuk yang hadir beberapa turis dari
Perancis dan Jerman; maka para pembicaranya akan memulainya dengan mengatakan;
Pendeta; Good evening (Inggris)
Penerjemah 1; Bon soir (Perancis)
Penerjemah 2; Guten abend (Jerman)
Seharusnya mereka berbicara “sesuai urutan”,
setelah yang lain selesai bicara. Jika mereka berbicara secara serempak,
hasilnya adalah kekacauan, karena emosi fundamentalis yang ditunjukkan sewaktu
“berbicara dalam bahasa roh.” Fenomena ini dapat terjadi jika mulut orang-orang
berbicara serempak. Saya telah meneliti hal tersebut, pada waktu seseorang
mulai berbicara dengan segera penerjemah akan menerjemahkannya.
Karunia bahasa roh sering kali digunakan dalam
hal-hal yang berhubungan dengan nubuat, oleh karena itu firman Allah yang
terilham disampaikan (melalui karunia nubuat) dalam berbagai bahasa asing oleh
utusannya (melalui karunia bahasa roh). Contoh tentang hal ini dapat dilihat di
Kisah para Rasul 19:6. Bagaimanapun juga jika suatu kebaktian di London yang
dihadiri oleh orang-orang Inggris dan beberapa pengunjung dari Perancis.
Pembicara dalam bahasa Perancis “tidak dapat membangun” orang-orang Inggris
yang hadir. Oleh karena itu karunia untuk menerjemahkan bahasa harus ada,
supaya setiap orang dapat mengerti apa yang telah disampaikan, contohnya kami
menerjemahkan bahasa perancis ke dalam bahasa inggris. Demikian juga halnya
jika ada seseorang yang dikaruniai berbicara dalam bahasa perancis, tapi tidak
mengetahui artinya sama sekali, ketika ditanya oleh seseorang yang berbahasa
perancis dia tidak mengerti. Untuk membantu hal ini maka karunia untuk
menerjemahkan harus ada.
Tanpa kehadiran seorang yang dikaruniai untunk
menerjemahkan disaat dibutuhkan, maka karunia bahasa roh tidak dapat digunakan:
“…dan harus ada seorang lain untuk menafsirkannya. Jika tidak ada orang yang
dapat menafsirkannya, hendaklah mereka berdiam diri dalam pertemuan jemaat” (I
Kor.14:27,28). Tapi, fakta yang terjadi adalah; mereka yang mengklaim memiliki
“bahasa roh” berbicara dalam “bahasa-bahasa” yang tidak dapat dimengerti oleh
orang lain, dan tanpa penerjemah sama sekali. Hal ini tentu saja bertentangan
dengan perintah-perintah tersebut.
Ayat 32,33;
“Karunia nabi takluk kepada nabi-nabi. Sebab Allah
tidak menghendaki kekacauan, tetapi damai sejahtera.”
Oleh karena itu, memiliki karunia-karunia roh kudus
tidak berhubungan dengan pengalaman seseorang dimana ia memasuki alam bawah
sadar. Rohlah yang mengendalikan si pengguna, bukan pengguna yang memaksa untuk
menggunakan Roh sesuai dengan yang ia rencanakan. Klaim yang salah sering kali
terjadi bahwa setan atau ”roh-roh jahat” dimiliki oleh mereka ”yang tidak
diselamatkan” (lihat pelajaran 6.3) tetapi roh kudus dimiliki oleh mereka yang
beriman. Di dalam I Korintus 14:32 Kuasa roh mengacu kepada akhir yang spesifik
dari penggunanya. Bukan seperti pertunjukkan kekuatan yang baik melawan
kekuatan yang jahat, seperti yang dipikirkan manusia. Disamping itu, kita telah
ditunjukkan bahwa kuasa-kuasa Roh Kudus datang kepada para murid pada waktu
yang tepat untuk melakukan hal yang spesifik, bukannya datang kepada mereka
untuk seterusnya.
Permohonan untuk menerima karunia-karunia dan
menggunakannya dalam jalan yang sesuai dengan kasih dan perdamaian Allah dan
menghindari kekacauan (ayat 33) sepertinya tidak digubris oleh orang-orang tuli
di Gereja-gereja Pantekosta saat ini.
Ayat 34;
”Sama seperti dalam semua jemaat orang-orang kudus,
perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan jemaat. Sebab
mereka tidak diperbolehkan untuk berbicara. Mereka harus menundukkan diri
seperti yang dikatakan juga oleh hukum Taurat.”
Hal ini berbicara dalam konteks penggunaan
karunia-karunia roh. Tidak dapat disangkal lagi, wanita tidak boleh menggunakan
karunia tersebut selama kebaktian berlangsung. Fenomena dari berbicara dengan
”kata-kata kosong” yang merupakan hasil dari rangsangan emosi yang terjadi pada
seseorang kemudian diikuti oeh yang lainnya, telah mengabaikan sama sekali hal
ini. Wanita-wanita, anak-anak, semua yang hadir dalam kebaktian dengan
hati yang rela, dapat terpengaruh oleh rangsangan seperti ini, dan akan menjadi
suatu ungkapan kegembiraan yang disebut sebagai ”bahasa roh.”
Keunggulan wanita di dalam ”berbahasa roh” dan
”bernubuat” seperti yang terjadi di gereja-gereja modernpada saat ini, tidak
bisa dikatakan telah mengahapus perintah dari ayat ini. Yang menggelikan,
pendapat menyedihkan bahwa Paulus adalah pembenci wanita dibatalkan melalui
beberapa ayat: „jika seseorang menganggap dirinya nabi atau orang yang mendapat
karunia rohani, ia harus sadar, bahwa apa yang kukatakan kepadamu adalah perintah
Tuhan” (I Kor. 14:37) bukan kata-kata Paulus sendiri.
Oleh karena itu setiap orang yang percaya kepada
Alkitab terilham, harus menerima perintah-perintah di I Korintus 14 dengan
baik. Mencemooh mereka dengan terang-terangan hanya akan mengindikasikan
kurangnya kepercayaan terhadap segenap tulisan kudus yang terilham, atau
mendeklarasikan sendiri bahwa yang satu itu bukan karunia rohani, orang lain
yang kekurangan karunia-karunia akan menolak perintah-perintah di I Korintus 14
sebagai perintah Allah kepada kita. Argumen ini sangat logis dan efektif. Dari
hal-hal yang telah dijelaskan, bagaimana anda dapat tetap menjadi anggota
gereja seperti itu, atau tetap bersahabat dengan mereka?
Sebagai catatan kaki pada bagian ini, Sekte-sekte
yang mengklaim dapat berbicara dengan bahasa roh harus dibuktikan secara ilmiah
untuk mengetahui perbandingan anatra depresi tingkat tinggi mereka dengan
orang-orang lain dari latar belakang yang berbeda. Keith Meador, profesor dari
jurusan Ilmu penyakit jiwa, Universitas Vanderbilt, USA, menganalisa hubungan
antara depresi dengan latar belakang agama. Dia menemukan bahwa ”tingkat
rata-rata dari depresi yang serius...dialami orang-orang Kristen Pantekosta
adalah 5,4% banyaknya dibandingkan dengan kelompok-kelompok lain yang besarnya
1,7%.” Hasil dari penelitiannya terdapat dalam jurnal ”Hospital and Community
Psychiatry” Desember, 1992.
Sebuah artikel menarik yang juga menyinggung hal
yang sama, terdapat di International Herald Tribune, Februaru, 1993, dengan
judul ”Pentecostals top charts when it comes to the blues”, mengapa hal ini
yang dibahas? Tentu saja karena berhubungan dengan fakta bahwa ”pengalaman”
rohani yang diklaim oleh Pantekosta (dan yang lainnya), tidak lebih dari tipuan
psikologis kontroversial yang menyakitkan.
2.4 Karunia-karunia Roh Akan Berakhir
Karunia-karunia Roh Allah yang menakjubkan akan
digunakan lagi orang-orang yang percaya dengan tujuan untuk merubah dunia yang
sekarang menjadi Kerajaan Allah, setelah kedatangan Kristus. Oleh karena itu,
karunia-karunia tersebut dinamakan “karunia-karunia dunia zaman yang akan
datang” (Ibr. 6:4,5); dan Yoel 2:26-29 menjelaskan tentang pencurahan Roh
besar-besaran setelah Israel bertobat. Ini adalah fakta yang jelas bahwa
karunia-karunia tersebut akan diberikan kepada orang-orang yang percaya pada
waktu kedatangan Kristus, dan cukup untuk membuktikan bahwa karunia-karunia
tersebut tidak diberikan saat ini. Orang-orang Kristen harus memperhatikan hal
ini dengan terus menyelidiki tulisan kudus dan memperhatikan peristiwa-peristiwa
yang terjadi, karena kedatangan Yesus sudah dekat. (lihat lampiran 3).
Nubuat Alkitab dengan jelas memberitahukan bahwa
antara abad pertama sampai kepada kedatangan Kristus yang kedua,
karunia-karunia roh akan diberikan kemudian diakhiri; “…nubuat akan berakhir;
bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap. Sebab pengetahuan kita tidak
lengkap dan nubuat kita tidak sempurna. Tetapi jika yang sempurna tiba, maka
yang tidak sempurna itu akan lenyap.” (I Kor. 13:8-10). Karunia-karunia hanya bersifat
sementara.
Kepemilikan karunia-karunia roh pada abad pertama
akan diakhiri “jika yang sempurna tiba.” Hal ini terjadi bukan pada waktu
kedatangan Kristus yang kedua, karena pada waktu itu kaurnia-karunia roh akan
diberikan lagi. Kata Yunani yang diterjemahkan sebagai “sempurna”, yang artinya
cukup jelas; “yang lengkap atau komplit”; bukan diartikan dengan sesuatu yang
berhubungan dengan dosa.
Hal yang lengkap ini akan menggantikan pengetahuan
yang hanya sebagian, yang dimiliki oleh orang-orang Kristen yang mula-mula
sebagai hasil dari karunia nubuat. Ingat, nubuat adalah karunia yang diberikan
untuk memberitahukan firman Allah terus menerus; kumpulan dari catatan itulah
yang membentuk Alkitab.
Pada abad pertama, seperti yang kita ketahui,
rata-rata orang-orang yang percaya hanya mengetahui sedikit dari Perjanjian
Baru. Mereka mungkin hanya mendengar beberapa dari firman nubuat melalui
penatua-penatua di gereja mereka tentang berbagai pokok persoalan yang praktis,
mereka mungkin mengetahui garis besar dari kehidupan Yesus dan mengenal dengan
baik satu atau dua dari surat-surat yang telah dituis oleh Paulus. Pada waktu
catatan-catatan dari firman nubuat itu sudah lengkap dan diedarkan, maka
karunia nubuat tidak diperlukan lagi. Catatan yang lengkap itulah yang
menggantikan pelayanan dari karunia-karunia rohani, yang disebut Perjanjian
Baru.
“Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang
bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki
kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap
manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.” (II Tim.
3:16-17).
Yang membuat kita sempurna atau lengkap adalah
“segala tulisan” jadi, ketika “segala tulisan” yang diilhamkan dicatat, “yang
sempurna” telah tiba, dan karunia-karunia yang menakjubkan akan berakhir.
Efesus 4:8-14 merupakan kunci penyelesaian dari
potongan-potongan ayat ini;
“Tatkala Ia (Yesus) naik ke tempat tinggi (surga),
Ia…memberikan (roh) pemberian-pemberian kepada manusia…bagi pembangunan tubuh
Kristus; sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman (yaitu iman yang benar)
dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh…sehingga kita
bukan lagi anak-anak yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran…”
Karunia-karunia pada abad pertama diberikan hingga
kesempurnaan atau kedewasaan penuh dicapai, dan II Timotius 3:16,17 mengatakan
“manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik” dengan
menerima petunjuk dari “segala tulisan.” Kolose 1:28 juga mengajarkan bahwa
“kesempurnaan” datang sebagai respon dari firman Allah. Ketika segala tulisan
telah dimiliki maka tidak ada alasan lagi menjadi bingung karena
doktrin-doktrin yang diajarkan oleh berbagai gereja. Hanya ada satu Alkitab dan
“firmanNya adalah kebenaran” (Yoh. 17:17), dengan mempelajari halaman-halaman
dari Alkitab, kita akan mencapai “kesatuan iman”, yaitu iman yang dijelaskan di
Efesus 4:13. Oleh karena itu, orang-orang kristen yang benar harus berusaha
untuk memiliki iman tersebut, dan dalam beberapa hal mereka diperlengkapi
(sempurna), yaitu seperti yang telah dicatat “kesempurnaan yang akan tiba”,
yaitu firman Allah yang lengkap.
Dalam pada itu, perhatikan bagaimana Efesus 4:14
menyamakan pelayanan yang menggunakan karunia-karunia yang menakjubkan dengan
masa kanak-kanak secara rohani, dan dalam konteks nubuat, karunia-karunia
menakjubkan tersebut akan diakhiri. I Korintus 13:11 mengatakan hal yang sama.
Karena itu mempermasalahkan kepemilikan karunia-karunia roh bukanlah tanda
ketidakdewasaan secara rohani. Untuk mengerti firman-firman ini, setiap pembaca
haruslah memberikan penghargaan yang dalam kepada firman Allah yang tercatat,
maka sempurnalah sukacita kita karena wahyu yang utama dari Allah tentang
pernyataan diriNya kepada kita sudah lengkap, sebagai penghargaan akan hal itu
kita harus mematuhinya.
Klaim Atas Kepemilikan Roh Pada Saat Ini
Akhirnya, inilah beberapa poin yang dibuat
berdasarkan klaim yang berulang kali terjadi oleh mereka yang mengira bahwa
mereka sekarang memiliki karunia roh;
-
Sewaktu ”berbicara dalam bahasa roh”, kata-kata yang sama disebutkan berulang
kali, misalnya ”lala, lala, lala, shama, shama. Yesus, Yesus...” Kalimat
seperti ini tidak terdapat dalam berbagai bahasa yang ada; ketika seseorang
mendengar orang lain berbicara dalam bahasa asing, biasanyadapat dikenali dari
apa yang mereka bicarakan berdasarkan kata-kata yang mereka gunakan, walaupun
kita tidak mengerti arti dari kata-kata itu. Bahkan dalam bahasa modern pun
tidak ditemukan kata-kata seperti itu. Garis bawahi fakta ini bahwa hal
tersebut tidak membangun sama sekali, sehubungan dengan tujuan karunia-karunia
pada abad pertama.
-
Beberapa gereja Pantekosta mengklaim bahwa berbicara dalam bahasa roh merupakan
tanda ”diselamatkan” dan tanda yang menyertai agama yang benar. Klaim seperti
ini sangat sulit untuk dipahami berdasarkan pengertian dari gereja yang
mula-mula sebagai satu tubuh, dimana mereka memiliki karunia yang berbeda-beda
satu dengan yang lain. Tidak setiap orang merupakan tangan atau kaki, demikian
juga setiap orang tidak memiliki karunia yang sama, yaitu bahasa roh. I Kor.
12:17, 27-30, menjelaskan tentang hal ini;
”Andaikata tubuh seluruhnya adalah mata, dimanakah
pendengaran? Andaikata seluruhnya adalah telinga, dimanakah penciuman?... Kamu
semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya. Dan Allah
telah menetapkan beberapa orang dalam jemaat: pertama sebagai rasul, kedu
sebagai nabi, ketiga sebagai pengajar. Selanjutnya mereka yang mendapat karunia
untuk mengadakan mujizat, untuk menyembuhkan, atau untuk berkata-kata dalam
bahasa roh, atau untuk menafsirkan bahasa roh?”
Hal yang sama telah dijelaskan pada awal bab ini;
”Sebab kepada yang seorang Roh memberikan karunia
untuk berkata-kata dengan hikmat, dan kepada yang lain Roh yang sama memberikan
karunia berkata-kata dengan pengetahuan. Kepada yang seorang Roh yang sama
memberikan iman, dan kepada yang lain Ia memberikan karunia untuk menyembuhkan.
Kepada yang seorang Roh memberikan kuasa untuk mengadakan mujizat, dan kepada
yang lain Ia memberikan karunia untuk bernubuat, dan kepada yang lain lagi ia
memberikan karunia untuk membedakan bermacam-macam roh. Kepada yang seorang Ia
memberikan karunia untuk berkata-kata dengan bahasa roh, dan kepada yang lain
ia memberikan karunia untuk menafsirkan bahasa roh itu. Tetapi semuanya ini
dikerjakan oleh Roh yang satu dan yang sama, yang memberikan karunia kepada
tiap-tiap orang secara khusus, seperti yang dikehendakiNya. Karena sama seperti
tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak, dan segal anggota itu, sekalipun
banyak, merupakan satu tubuh, demikian pula Kristus.” (I Kor. 12:8-12).
Hal ini tidak dapat diacuhkan begitu saja.
Masalah yang lain sehubungan dengan argumen
Pantekosta adalah bahwa Filipus mengkristenkan banyak orang di Samaria, yaitu
mereka yang dibaptis dengan air setelah mengerti tentang Injil, tapi mereka
tidak menerima karunia-karunia roh; karena hal ini Petrus dan Yohanes datang
kepada mereka: ”Setibanya disitu kedua rasul itu berdoa, supaya orang-orang
Samaria itu beroleh Roh Kudus...Kemudian keduanya menumpangkan tangan di atas
mereka, lalu mereka menerima Roh Kudus. Ketika Simon melihat, bahwa pemberian
Roh Kudus terjadi oleh karena rasul-rasul itu menumpangkan tangannya...” (Kis.
8:4-18). Mungkin sekali terjadi bahwa karunia-karunia roh diberikan hanya
dengan menumpangkan tangan, dimana hal seperti ini tidak sering dilakukan oleh
orang-orang yang mengklaim hal tersebut pada saat ini.
Beberapa gereja Pantekosta yang lain mengatakan
kalau berbicara dalam bahasa roh bukanlah suatu bukti akan diselamatkan. Hal
ini menjadi fakta bahwa ada banyak perbedaan mengenai doktrin dasar diantara
mereka yang mengklaim memiliki karuni-karunia rohani. Demikian juga halnya
dengan kristen ”karismatik” yang percaya bahwa Kerajaan Allah akan didirikan di
bumi , tapi beberapa dari antara mereka mengatakan Kerajaan Allah akan
didirikan di surga. Katolik ”karismatik” mengklaim bahwa Roh Kudus mengatakan
kepada mereka untuk memuja Maria dan Paus, tapi Pantekosta ”karismatik”
mengatakan bahwa Roh Kudus yang mereka miliki memerintahkan untuk mencela Paus
sebagai anti-kristus, dan untuk mengutuk doktrin dari Katolik. Padahal Yesus
pernah menyatakan dengan pasti bahwa mereka yang memiliki Penghibur, yaitu ”Roh
Kudus”, akan dibimbing ” ke dalam seluruh kebenaran...dan pada hari itu kamu
tidak akan menanyakan apa-apa kepadaku...Tetapi Penghibur...akan mengajarkan
segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah
kukatakan kepadamu” (Yoh. 16:13,23; 14:26).
Seharusnya diantara mereka yang memiliki Penghibur
tidak ada perselisihan mengenai doktrin dasar. Tapi fakta yang terjadi
mengindikasikan bahwa mereka tidak benar-benar menerima karunia tersebut.
Ketidaksanggupan mereka dalam memberikan alasan berdasarkan Alkitab mengenai
apa yang mereka yakini menunjukkan bahwa mereka sama sekali tidak dibimbing
oleh Penghibur kedalam selruh kebenaran dan pengetahuan.
-
Hal terpenting yang mereka lampirkan untuk mendukung berkata-kata dalam bahasa
roh, sama sekali tidak selaras dengan catatan Alktab. Daftar karunia-karunia
roh di Efesus 4:11 bahkan tidak menyebutkan tentang hal itu. Hal tersebut hanya
terdapat di bagian akhir dari daftar yang serupa yang terdapat di I Korintus
12:28-30. Sebenarnya, hanya terdapat tiga peristiwa yang dicatat dalam
Perjanjian Baru tentang bagaimana karunia tersebut digunakan (Kis. 2:4; 10:46;
19:6).
Karismatik modern mengklaim dapat berbahasa roh dan
melakukan berbagai mujizat. Orang-orang Kristen harus mempertimbangkan kembali
mengenai informasi penting yang kami hadirkan dalam pelajaran ini tentang Roh
Allah. Hal penting yang dapat disimpulkan adalah apapun yang diklaim oleh
orang-orang seperti mereka, hal itu bukanlah bukti bahwa mereka memiliki
karunia-karunia rohani. Siapapun yang menyatakan bahwa mereka memiliki
karunia-karunia rohani, mempunyai pekerjaan rumah untuk menjawab
argumen-argumen Alkitab yang telah kami sampaikan.
Bagaimanapun juga, adalah beralasan untuk
mengharapkan jawaban bagaimana penyembuhan dan ”bahasa roh” (dalam pengertian
”kata-kata kosong”) dapat terjadi.
Berdasarkan suatu penelitian, diketahui bahwa
manusia hanya menggunakan sedikit sekali dari kemampuan berpikirnya, yaitu
hanya 1%. Juga diketahui bahwa pikiran dapat mengendalikan tubuh; yang dapat
meyakinkan tubuh bahwa api tidak dapat membakarnya, seperti yang dilakukan oleh
orang-orang Hindu dengan berjalan diatas api tanpa terbakar. Sewaktu melakukan
rangsangan terhadap otak, mungkin saja kita dapat menggunakan kemampuan otak
kita dengan prosentasi yang lebih besar dari yang biasanya kita gunakan. Dan
akibatnya, tubuh kita akan menunjukkan kekuatan yang tidak sewajarnya. Demikian
juga dalam suatu pertempuran, seorang prajurit mungkin tidak menyadari kalau
tangannya telah hilang sampai beberapa jam setelah hal itu terjadi.
Di dalam suatu situasi dimana keyakinan keagamaan
begitu kuat, dengan diiringi musik tertentu, dan dibawah pimpinan seorang
pemimpin yang karismatik, mungkin saja terjadi hal-hal diluar batas yang
normal, seperti yang dirasakan oleh para penyembah voodoo sewaktu mengucapkan
”kata-kata kosong”, dan juga kesaksian orang-orang Muslim bahwa mereka
mendapatkan mujizat. Hal-hal seperti ini mirip dengan yang diklaim oleh
orang-orang kristen modern. Padahal inti dari pemberian karunia-karunia rohani pada
abad pertama adalah untuk menunjukkan dengan jelas supremasi dari kekristenan
yang benar diatas semua agama-agama yang lain. Fakta yang ditunjukkan tentang
”mujizat” okeh kekristenan pada saat ini mirip dengan yang ditunjukkan oleh
agama-agama lain, yang menunjukkan bahwa karunia Roh Kudus tidak diberikan pada
saat ini.
Beberapa informasi yang cukup penting tentang hal
ini terdapat pada buku karangan William Campbell, yaitu ”Pentecostalism” (The
Churches of Christ, 1967). Dia menunjukkan kesamaan agama-agama penyembahan
berhala dalam hal ”bahasa roh.” Demikian juga di Kawaii, imam dari dewa Oro
berbicara dengan suara-suara yang tidak jelas, yang diterjemahkan oleh
imam-imam yang lain. Persis dengan yang terjadi dalam kebaktian Pantekosta.
Kejayaan Islam atas Kristen tidak akan terus
berlangsung seperti yang terjadi di sebagian besar Afrika, jika kekristenan
yang populer pada saat ini menunjukkan mujizat yang benar dengan kuasa yang
sama seperti pada waktu abad pertama. Dan mereka yang benar-benar memiliki ”Penghibur”
yang merupakan karunia-karunia Roh Kudus akan melakukan ”pekerjaan-pekerjaan
besar” lebih dari yang dilakukan oleh Yesus (Yoh. 14:12,16). Alasan bahwa
orang-orang kristen dapat melakukan berbagai mujizat jika mempunyai iman yang
teguh, menemui masalah besar sekarang, meskipun mereka memiliki karunia-karunia
yang menakjubkan dari Penghibur, atau tidak. Dan jika mereka mengklaim juga
melakukan ”pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar” (Yoh. 14:12) mungkin anda
tidak melakukannya.
2.5 Alkitab Adalah Sumber Satu-satunya
Dari apa yang telah kita pelajari sejauh ini, bahwa
Roh Allah mengacu kepada pikiran dan tujuanNya, dan juga kepada kuasa yang dia
gunakan untuk melaksanakannya. Kami telah menegaskan bahwa roh tersebut
dinyatakan dengan jelas di dalam halaman-halaman Firman Allah. Berbagai masalah
yang dihadapi kekristenan pada jaman sekarang adalah betul-betul tidak
mengetahui tentang hal ini. Karena sangat sulit untuk mempercayai kuasa besar
seperti itu masih tetap berada di dalam sebuah buku, yang di dalam
bagian-bagiannya sangat sulit untuk dipahami. Yang menarik untuk diketahui
adalah bahwa ada yang mengklaim wahyu Allah kepada manusia juga diberikan dalam
bentuk yang lain selain melalui Alkitab. Karena kelicikan hati kita (Yer. 17:9)
membuat kebenaran Firman Tuhan (Yoh. 17:17) sangat sulit untuk dicerna, banyak
yang telah menyerah terhadap tantangan ini, dengan mengklaim bahwa wahyu juga
diberikan dalam bentuk lain yang lebih menarik sesuai selera. Berikut ini ada
beberapa contoh mengenai hal tersebut;
Agama
|
Bentuk lain dari Wahyu yang diklaim
|
Manfaat/daya tarik yang diperoleh
|
Saksi-saksi Yehuwa
|
Publikasi “Menara Pengawal” yang diterbitkan,
dianggap terilham.
|
Tidak perlu berusaha mencari tahu pemahaman yang
benar tentang Alkitab; jawaban untuk semua hal sudah ada.
|
Roma Katolik
|
Keputusan Paus dan opini-opini dari para Uskup,
diklaim sebagai cerminan dari pikiran Allah.
|
Tidak perlu membaca Alkitab secara pribadi, pada
masa lalu Katolik pernah menghujat bahkan melarang hal ini. Mengandalkan
beberpa orang daripada berusaha sendiri untuk menyelidikinya.
|
Mormon (Gereja Yesus Kristus dari orang-orang
suci jaman akhir)
|
Buku Mormon.
|
Menyingkirkan semu doktrin Alkitab yang sulit
diterima. Buku Mormon menawarkan keselamatan universal. Padahal Alkitab
mengatakan bahwa ada orang-orang yang hidup dan mati tanpa pengharapan karena
tidak memiliki pengetahuan tentang Injil.
|
Kristen Karismatik
|
Suatu ”cahaya terang” yang diklaim sebagai Roh
Kudus.
|
Mereka percaya apapun yang mereka rasakan dan
pikirkan adalah benar karena dibimbing oleh Roh Kudus melalui cara-cara yang
sama sekali tidak berhubungan dengan Alkitab.
|
Semua ini adalah hal-hal yang pokok dalam menerima
Alkitab sebagai firman Allah, dan menyelidiki halaman-halamannya untuk
mendapatkan pemahaman yang benar. Pertanyaannya adalah, ”Hanya ada satu
Alkitab, tapi mengapa ada banyak gereja?” Secara garis besar dapat dijawab
dengan memperhatikan bagaimana setiap gereja pada tingkat tertentu mengklaim
ada bentuk yang lain dari wahyu Roh Allah, yaitu kehendakNya, doktrin dan
pendapat, sebagai tambahan pada Alkitab.
Jika anda ingin menemukan gereja yang benar, iman
yang benar, dan baptisan yang benar (Ef. 4:4-6), panggilan tersebut harus
dinyatakan dengan keras dan jelas kepada anda, ”Pelajari kembali Alkitab!”
3.1 Janji-janji Allah: Pendahuluan
Tujuan dari pelajaran kita kali ini adalah untuk
mencapai pengertian yang luas tentang siapakah Allah? Dan bagaimana Ia bekerja?
Sehingga kita dapat mengoreksi sejumlah pengertian yang salah tentang hal-hal
tersebut. Sekarang kita akan melihat lebih jelas lagi tentang hal-hal yang
“dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi Dia” (Yak. 1:12; 2:5) yaitu
dengan melaksanakan perintah-perintahNya (Yoh. 14:15).
Janji-janji Allah dalam Perjanjian Lama terdiri
dari apa yang diharapkan oleh orang-orang Kristen sejati. Ketika Paulus diadili
dia berkata tentang upah di masa depan, yang oleh karenanya dia rela
mengorbankan segala hal: “Dan sekarang aku harus menghadap pengadilan oleh
sebab aku mengharapkan kegenapan janji, yang diberikan Allah kepada nenek
moyang kita…Dan karena pengharapan itulah…aku dituduh” (Kis.26:6,7). Dia
menghabiskan waktu dalam hidupnya untuk memberitakan “kabar kesukaan (injil),
yaitu janji yang diberikan kepada nenek moyang Israel, yang telah digenapi Allah…dengan
membangkitkan Yesus” (Kis. 13:32,33). Paulus menjelaskan bahwa keyakinan
terhadap janji-janji tersebut akan memberikan harapan untuk dibangkitkan dari
kematian (Kis. 26:6-8 bandingkan 23:8), yaitu pengetahuan tentang kedatangan
Yesus yang kedua kali sebagai Hakim Agung dan kedatangan Kerajaan Allah (Kis.
24:25; 28:20,31).
Semua hal ini membenamkan mitos yang menganggap
Perjanjian Lama hanyalah sebuah sejarah Israel yang bertele-tele yang sama
sekali tidak pernah berbicara tentang kehidupan abadi. 2000 tahun yang lalu,
Allah tidak tiba-tiba membuat keputusan untuk menawarkan kehidupan abadi kepada
kita melalui Yesus. Dia sudah merencanakan hal ini sejak permulaan:
“Dan berdasarkan pengharapan akan hidup yang kekal
sebelum permulaan zaman sudah dijanjikan oleh Allah yang tidak berdusta, dan
yang pada waktu dikehendakiNya telah menyatakan firmanNya dalam pemberitaan
Injil yang telah dipercayakan kepadaku sesuai dengan perintah Allah, juru
selamat kita (Titus 1:2,3).
“hidup yang kekal, yang ada bersama-sama dengan
Bapa dan yang telah dinyatakan kepada kami” (I Yoh. 1:2).
Dengan memperhatikan bahwa janji Allah untuk
memberikan kehidupan abadi kepada umatNya sudah sejak permulaan, maka hal ini
tidak mengartikan bahwa Dia tetap diam tentang hal itu selama 4000 tahun Dia
berurusan dengan manusia, seperti yang tercatat di Perjanjian Lama. Buktinya,
di dalam Perjanjian Lama penuh dengan nubuat-nubuat dan janji-janji yang
memberikan penjelasan terperinci tentang harapan tersebut, yang telah disiapkan
Allah untuk umatNya. Oleh karena inilah maka pengertian tentang janji-janji
Allah kepada nenek moyang orang-orang Yahudi sangat penting sehubungan dengan
keselamatan kita. Karena itu Paulus mengingatkan orang-orang yang percaya di
Efesus, bahwa sebelum mereka mengetahui tentang hal-hal ini, “bahwa waktu itu
kamu tanpa Kristus, tidak termasuk kewargaan Israel dan tidak mendapat bagian
dalam ketentuan-ketentuan yang dijanjikan, tanpa pengharapan dan tanpa Allah di
dalam dunia” (Ef. 2:12). Meskipun mereka yakin bahwadari penyembahan berhala
yang mereka lakukan sebelumnya, telah memberikan mereka suatu harapan dan
pengetahuan tentang Allah. Tetapi dengan tidak mengetahui tentang janji-janji
Allah di Perjanjian Lama adalah suatu masalah besar, seperti “tanpa pengharapan
dan tanpa Allah di dalam dunia.” Ingatlah bagaimana Paulus menjelaskan tentang
harapan orang-orang Kristen sebagaimana dia “mengharapkan kegenapan dari
janji-janji yang diberikan Allah kepada nenek moyang kita (orang-orang Yahudi)”
(Kis. 26:2).
Sangat menyedihkan, hanya ada beberapa Gereja yang
meletakkan dasarnya pada Perjanjian lama. “Kristen” diangggap agama yang muncul
hanya dari Perjanjian Baru, walaupun mereka menggunakan Perjanjian Lama sebagai
referensi. Padahal dengan jelas sekali Yesus meletakkan dasar-dasar
pengajarannya dari Perjanjian Lama:
“Jika mereka tidak mendengarkan kesaksian Musa
(yaitu 5 Kitab Taurat yang dia tulis) dan para nabi, mereka tidak juga akan mau
diyakinkan, sekalipun oleh seorang yang bangkit dari antara orang mati” (luk.
16:31).
Memang benar, dengan percaya pada kebangkitan
Yesus, hal itu sudah cukup (bandingkan Luk. 16:30), tapi Yesus mengatakan,
bahwa tanpa pengertian yang dalam tentang Perjanjian Lama, hal tersebut tidak
akan mungkin terjadi.
Jatuhnya iman para murid setelah penyaliban
dikatakan oleh Yesus sebagai kekurangan mereka dalam memperhatikan dengan baik
Perjanjian Lama;
“Lalu ia berkata kepada mereka: “Hai kamu orang
bodoh, betapa lambannya hatimu, sehingga kamu tidak percaya segala sesuatu,
yang telah dikatakan para nabi! Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu
untuk masuk ke dalam kemuliaannya? Lalu ia menjelaskan kepada mereka apa yang
tertulis tentang dia di dalam seluruh Kitab Suci, mulai dari kitab-kitab Musa
dan segala kitab-kitab nabi.” (Luk. 24:25-27).
Catat, bagaimana dia menekankan bahwa seluruh
Perjanjian Lama berbicara tentang dia. Bukan karena para murid tidak pernah
membaca atau mendengar firman-firman dari Perjanjian lama, tapi karena mereka
tidak dapat memahaminya. Oleh karena itu mereka tidak percaya dengan
sungguh-sungguh. Jadi, penting sekali untuk memahami firman Allah daripada
hanya sekedar membacanya, untuk membangun iman yang teguh. Orang-orang Yahudi
sangat fanatik sekali dalam membaca Perjanjian lama (Kis. 15:21), tetapi mereka
tidak dapat memahami referensi-referensi yang menunjuk kepada Yesus dan
Injilnya, sehingga mereka tidak sungguh-sungguh mempercayainya. Karena itu
yesus mengatakan kepada mereka;
”sebab jikalau kamu percaya kepada Musa, tentu kamu
akan percaya juga kepadaku, sebab ia telah menulis tentang aku. Tetapi jikalau
kamu tidak percaya akan apa yang ditulisnya, bagaimanakah kamu akan percaya
akan apa yang kukatakan?” (Yoh. 5:46,47).
Walaupun mereka membaca Alkitab, tetapi mereka
tidak memperhatikan inti dari firman-firman tersebut yang berbicara tentang
Yesus, sekalipun mereka percaya tentang keselamatan. Yesus berkata kepada
mereka:
”Kamu menyelidiki Kitab Suci (harus dengan cara
yang benar-Kis. 17:11), sebab kamu menyangka (dengan begitu yakin) bahwa
olehnya kamu mempunyai hidup yang kekal,...walaupun kitab-kitab suci itu
memberikan kesaksian tentang aku” (Yoh. 5:39).
Begitu juga yang telah terjadi pada banyak orang,
yang secara garis besar mengetahui tentang peristiwa-peristiwa dan
ajaran-ajaran di Perjanjian Lama, tapi mereka hal tersebut hanya sekedar
pengetahuan umum untuk diketahui. Karena itu Kabar Baik tentang Kristus dan
Injil Kerajaan Allah tetap menjauh dari mereka. Alasan inilah yang membuat
pelajaran ini bertujuan untuk membuat anda tidak berada dalam posisi seperti itu,
dengan menunjukkan arti yang sebenarnya dari berbagai janji yang terdapat di
dalam Perjanjian Lama;
Di Taman Eden
Kepada Nuh
Kepada Abraham
Kepada Daud
Informasi mengenai hal-hal ini dapat ditemukan di
lima kitab pertama Alkitab (Kejadian-Ulangan) yang ditulis oleh Musa dan pada
kitab nabi-nabi Perjanjian lama. Semua dasar-dasar dari Injil Kristus terdapat
disini. Paulus menjelaskan bahwa Injil yang dia beritakan adalah ”tidak lain
daripada yang sebelumnya telah diberitahukan oleh para nabi dan juga oleh Musa,
yaitu Mesias harus menderita sengsara dan bahwa ia adalah yang pertama yang
akan bangkit dari antara orang mati, dan bahwa ia akan memberitakan terang
kepada bangsa ini dan kepada bangsa-bangsa lain” (Kis. 26:22,23). Dan pada
hari-hari terakhirnya, Paulus juga memberikan kesaksian yang sama: ”Ia (Paulus)
menerangkan dan memberi kesaksian kepada mereka tentang Yesus. Hal itu
berlangsung dari pagi sampai sore.” (Kis. 28:23).
Paulus mengharapkan bahwa tingkat tertinggi dalam
kehidupan orang-orang Kristen haruslah menjadi motivasi bagi kita; sebagaimana
hal tersebut menjadi cahaya kemuliaan yang merupakan akhir dari perjalanannya.
Maka hal tersebut haruslah menjadi tujuan bagi orang-orang Kristen yang serius.
Dengan dibakar oleh semangat untuk mencapai hal ini, marilah kita ”Menyelidiki
Kitab Suci.”
3.2 Janji di Taman Eden
Kisah yang menyedihkan tentang kejatuhan manusia ke
dalam dosa, terdapat di Kejadian pasal 3. Ular tersebut dikutuk karena telah
menyalahartikan Firman Allah dan menggoda Hawa untuk mempercayainya. Pria dan
wanita tersebut dihukum karena ketidaktaatan mereka. Kemudian dari kegelapan
ini muncullah sinar harapan, sewaktu Allah berkata kepada ular itu;
“Aku akan mengadakan permusuhan (kebencian,
pertentangan) antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan
keturunannya, keturunannya (keturunan perempuan itu) akan meremukkan kepalamu,
dan engkau akan meremukkan tumitnya” (Kej. 3:15).
Ayat ini sangat mengedepankan agar kita perlu
berhati-hati dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan hal tersebut.
“Keturunan” mengartikan benih atau anak, tapi dapat juga menunjuk kepada suatu
kelompok yang ada hubungannya dengan “keturunan” tersebut. Nanti kita akan
melihat bahwa “keturunan” Abraham adalah Yesus (Gal.3:16), jika kita berada “di
dalam” Yesus, melalui pembaptisan yang akan membuat kita diperhitungkan sebagai
keturunan tersebut (Gal. 3:27-29). Kata “keturunan” juga dapat menunjuk kepada
proses kelahiran (I Ptr. 1:23). Oleh karena itu suatu keturunan pastilah
memiliki karakteristik dari ayahnya.
Karena itu keturunan dari ular tersebut menunjuk
kepada keluarga yang serupa dengan ular itu;
Mengubah Firman Allah
Berdusta
Menuntun orang-orang ke dalam dosa
Pada pelajaran 6 kita akan melihat bahwa tidak ada
suatu pribadi yang menyebabkan hal-hal ini terjadi, tetapi hal-hal tersebut
memang ada di dalam diri kita;
“Manusia lama kita” (Rm. 6:6)
“Manusia duniawi” (I Kor. 2:14)
“Manusia lama yang menemui kebinasaannya oleh
nafsunya yang menyesatkan” (Ef. 4:22)
“Manusia lama serta kelakuannya” (Kol. 3:9)
”Manusia” berdosa ini, yang ada di dalam diri kita,
adalah ”setan” menurut pengertian Alkitab, yang adalah keturunan dari ular
tersebut.
Keturunan dari perempuan itu secara spesifik
ditujukan kepada seseorang ”engkau (keturunan ular itu) akan meremukkan
tumitnya” (Kej. 3:15). Orang ini akan membinasakan keturunan itu untuk
selamanya, yaitu dosa. ”Keturunannya akan meremukkan kepalamu.” Memukul ular
pada bagian kepala dapat membuatnya mati, karena otaknya terdapat di kepala.
Orang yang pantas disebut sebagai keturunan perempuan itu adalah Yesus;
Yesus Kristus, yang oleh Injil telah mematahkan
kuasa maut dan mendatangkan hidup yang tidak dapat binasa (II Tim. 1:10)
”Dengan jalan mengutus AnakNya sendiri dalam
daging, yang serupa dengan daging yang dikuasai dosa karena dosa”, (Rm. 8:13),
yaitu setan menurut pengertian Alkitab, keturunan dari ular itu.
Yesus, ”telah menyatakan dirinya, supaya ia
menghapus segala dosa” (I Yoh. 3:5)
”Dan engkau akan menamakan dia Yesus (yang berarti
”juru selamat”), karena dialah yang akan menyelamatkan umatnya dari dosa
mereka” (Mat. 1:21)
Yesus secara daging ”lahir dari seorang perempuan”
(Gal. 4:4) yaitu anak dari Maria, meskipun dalam arti secara rohani Allah
adalah Bapanya. Dalam pengertian inilah dia disebut sebagai keturunan dari
perempuan itu, karena hanya dialah yang ditunjuk oleh Allah. Keturunan
perempuan itu hanya sementara saja terluka oleh karena dosa, yaitu keturunan
ular itu. ”Engkau akan meremukkan tumitnya” (Kej. 3:15). Dalam keadaan yang
sebenarnya, gigitan ular pada tumit biasanya hanyalah luka yang sementara
dibandingkan dengan memukul ular pada bagian kepalanya. Di dalam Alkitab banyak
terdapat kata-kata seperti ”luka yang mematikan pada bagian kepala” (yang
artinya, betul-betul menghentikan atau mengakhiri sesuatu) yang kemungkinan
didasari dari nubuat tentang Yesus melukai ular itu pada bagian kepalanya.
Penghukuman atas dosa, yaitu keturunan ular itu,
dilakukan melalui pengorbanan Yesus di kayu salib. Catat, kutipan ayat-ayat
diatas yang berbicara tentang kemenangan Yesus atas dosa, ditulis dalam bentuk
lampau (dalam terjemahan bahasa Inggrisnya). Oleh karena itu luka sementara di
tumit yang diderita oleh Yesus menunjuk pada kematiannya selama tiga hari.
Kebangkitannya membuktikan bahwa ini hanyalah luka sementara, dibandingkan
dengan pukulan mematikan yang dia berikan kepada dosa. Yang menarik adalah,
berdasarkan catatan sejarah Non-Alkitab, diketahui bahwa orang-orang yang
disalib dipaku pada bagian tumitnya. Karena itu yesus ”diremukkan” pada bagian
tumitnya sewaktu disalib. Yesaya 53:4,5 menjelaskan tentang Yesus yang
”diremukkan” oleh Allah dalam penderitaannya di kayu salib. Hal ini dengan
jelas menyinggung nubuat di Kejadian 3:15, bahwa Yesus akan diremukkan oleh
keturunan ular itu. Bagaimanapun juga, pada akhirnya Allah sendiri yang
melakukannya melalui kuasa kegelapan yang dihadapi oleh Yesus, dialah yang
meremukkan Yesus (Yes. 53:10) dengan mengendalikan kuasa kegelapan untuk
meremukkan anakNya sendiri. Demikian juga yang Allah lakukan sehubungan dengan
penderitaan-penderitaan yang dialami umatNya.
Konflik yang terjadi pada saat ini
Mungkin anda bertanya: ”Jika Yesus telah
membinasakan dosa dan kematian (keturunan ular itu), mengapa hal-hal tersebut
masih berlangsung hingga saat ini?” Jawabannya adalah, karena pada waktu Yesus
disalib, ia menghancurkan kuasa dosa yang terdapat pada dirinya; nubuat di
Kejadian 3:15 khususnya menjelaskan konflik antara Yesus dan dosa. Karena itu
dia mengundang kita untuk turut ambil bagian dalam kemenangannya, sehingga kita
pada akhirnya juga dapat menaklukkan dosa dan kematian. Mereka yang tidak
diundang untuk turut ambil bagian dalam kemenangannya, atau menolak tawaran
tersebut, tetap berada di dalam dosa dan kematian. Walaupun dosa dan kematian
juga dialami oleh orang-orang yang percaya sebagai keturunan dari perempuan itu
melalui pembaptisan di dalam Kristus, mereka akan diampuni atas dosa-dosa
mereka dan pada akhirnya diselamatkan dari kematian yang adalah upah dari dosa.
Jadi, tujuan Yesus ”mematahkan kuasa maut” di kayu salib (II Tim. 1:10), tidak
akan dilaksanakan hingga maksud tujuan Allah di bumi digenapi pada akhir
pemerintahan seribu tahun, dimana pada waktu itu tidak ada lagi kematian atau
ketika maut tidak berkuasa lagi di bumi: ”Karena ia harus memegang pemerintahan
sebagai Raja (pada bagian pertama dari Kerajaan Allah) sampai Allah meletakkan
semua musuhnya dibawah kakinya. Musuh yang terakhir dibinasakan adalah maut” (I
Kor. 15:25,26).
Jika kita benar-benar keturunan dari perempuan itu,
maka kehidupan kita haruslah mencerminkan firman di Kejadian 3:15. Akan ada
suatu konflik yang terus menerus terjadi di dalam diri kita antara yang benar
dan yang salah. Rasul Paulus menjelaskannya sebagai sesuatu yang mirip dengan
konflik psikologis, ia ingin menjauhkan batinnya dari dosa, yang terus
berkecamuk di dalam dirinya (Rm. 7:14-25).
Setelah pembaptisan di dalam Kristus, konflik
dengan dosa yang secara alami terjadi pada diri kita akan berkurang. Tetapi
masih dapat tetap ada dalam diri kita, karena kuasa dari dosa asngatlah kuat,
dalam pengertian inilah keadaan yang kita alami sangat sulit. Tapi, dalam
pengertian yang lain, dengan melihat posisi kita bersama Kristus, yang telah
berperang dan menang atas konflik tersebut, hal ini bukanlah keadaan yang
sulit. Catat, bagaimana orang-orang yang percaya disebut sebagai perempuan di
dalam Efesus 5:23-22, seperti halnya kita adalah keturunan dari perempuan itu,
maka kita juga adalah perempuan itu.
Karena keturunan dari perempuan itu diwakili oleh
Yesus dan mereka yang berusaha untuk memiliki karakternya, maka dengan cara
yang sama, keturunan dari ular itu adalah dosa (”setan” dalam pengertian
Alkitab) dan mereka yang dengan bebas menunjukkan karakter-karakter dari dosa
dan ular itu. Orang-orang seperti itu akan mengabaikan atau menyalahartikan
Firman Allah, yang pada akhirnya akan membimbing mereka kedalam dosa dan jauh
dari Allah seperti yang dialami oleh Adam dan Hawa. Dengan memperhatikan bahwa
orang-orang Yahudilah yang dengan jelas menjadi penyebab dari kematian Yesus
(yaitu dengan meremukkan keturunan perempuan itu pada tumitnya), maka merekalah
contoh yang tepat dari keturunan ular itu. Hal ini dibenarkan oleh Yohanes
pembaptis dan Yesus;
”Tetapi waktu ia (Yohanes) melihat banyak orang
Farisi dan orang Saduki (kelompok Yahudi yang menghujat Yesus) datang untuk
dibaptis, berkatalah ia kepada mereka: ”Hai kamu keturunan (berdasarkan
sifatnya, atau diciptakan oleh) ular beludak. Siapakah yang mengatakan kepada
kamu, bahwa kamu dapat melarikan diri dari murka yang akan datang?” (Mat.3:7).
”Tetapi Yesus mengetahui pikiran mereka (orang
Farisi) lalu berkata...Hai kamu keturunan ular beludak, bagaimanakah kamu dapat
mengucapkan hal-hal yang baik, sedangkan kamu sendiri jahat?” (Mat. 12:25,34).
Dunia ini, bahkan agama-agama dunia, mempunyai
karakteristik yang sama dari ular itu. Hanya mereka yang dibaptis di dalam
Kristus yang dapat digolongkan sebagai keturunan dari perempuan itu, dan yang
tidak dibaptis adalah keturunan dari ular itu. Cara Yesus memperlakukan
orang-orang yang adalah keturunan dari ular itu, haruslah menjadi teladan bagi
kita;
Dia mengajar mereka dengan penuh kasih dan tulus,
bahkan
Dia tidak membiarkan mereka meninggikan dirinya,
dan
Dia menunjukkan kepada mereka sifat pengasih dari
Allah melalui perbuatannya.
Bahkan untuk semua ini, mereka membencinya.
Usahanya untuk taat kepada Allah membuat mereka cemburu. Bahkan keluarganya
sendiri (Yoh. 7:5; Mrk. 3:21) dan teman-teman dekatnya (Yoh. 6:66)
menjauhkannya. Paulus juga mengalami hal yang serupa ketika dia meratapi mereka
yang dulu pernah bersamanya dalam suka dan duka;
”Apakah dengan mengatakan kebenaran kepadamu aku
telah menjadi musuhmu?” (Gal. 4:14-16).
Kebenaran memang tidak pernah populer,
mempelajarinya dan melaksanakannya sama seperti halnya kita membuat masalah
bagi diri kita sendiri. Bahkan penganiayaan;
”Tetapi seperti dahulu, dia yang diperanakkan
menurut daging, menganiaya yang diperanakkan menurut Roh (melalui pengetahuan
yang benar tentang Firman Allah, I Ptr. 1:23), demikian juga sekarang ini”
(Gal. 4:29)
Jika kita benar-benar bersatu di dalam Kristus,
kita akan mengalami juga beberapa dari penderitaan yang dialaminya. Dengan
demikian kita turut ambil bagian dalam upah yang mulia yang Dia berikan. Sekali
lagi Paulus memberikan contoh yang tepat tentang hal ini;
”Karena itu aku sabar menanggung
semuanya...Benarlah perkataan ini: ”Jika kita mati dengan dia (Kristus),
kitapun akan hidup dengan dia, jika kita bertekun, kitapun akan ikut
memerintah...” (II Tim. 2:10-12).
”Jikalau mereka telah menganiaya aku (Yesus),
mereka juga akan menganiaya kamu...semuanya itu akan mereka lakukan terhadap
kamu karena namaku” (Yoh. 15:20,21).
Karena kita dibaptis dalam nama Yesus (Kis. 2:38;
8:16).
Dengan dihadapkan pada ayat-ayat seperti ini, wajar
jika kita mengatakan ”Kalau jadinya
Seperti ini, karena bersatu dengan Yesus, keturunan
perempuan itu, sebaiknya saya tidak ikut-ikutan!” Tentu saja, kita tidak akan
mengharapkan mengalami hal-hal yang tidak dapat kita tanggulangi. Tetapi,
dibutuhkan pengorbanan diri untuk menyatukan kita sepenuhnya dengan Kristus.
Persatuan kita dengan dia akan membuahkan upah yang mulia, ”Penderitaan yang
sekarang dialami tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kemuliaan yang akan
dinyatakan kepada kita.” Bahkan sekarang ini, pengorbanan Yesus memungkinkan
doa-doa kita untuk memohon bantuan dalam mengatasi masalah dapat sampai kepada
Allah. Tambahkan hal ini sebagai jaminan yang mulia dari Alkitab, yang sering
digarisbawahi oleh Kristidelfian;
”Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan
membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan
memberikan kepadamu jalan keluar, sehingga kamu dapat menanggungnya” (I Kor.
10:13).
”Semuanya itu kukatakan kepadamu, supaya kamu
beroleh damai sejahtera dalam Aku. Dalam dunia kamu menderita penganiayaan,
tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia.” (Yoh. 16:33).
”Sebab itu apakah yang akan kita katakan tentang
semuanya itu? Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita?” (Rm.
8:31).
3.3 Janji kepada Nuh
Seiring dengan majunya peradaban manusia setelah
zaman Adam dan Hawa, manusia menjadi bertambah jahat. Hal tersebut mencapai
puncaknya ketika peradaban secara moril sangat menyedihkan yang menyebabkan
Allah memutuskan untuk membinasakan semuanya dengan pengecualian Nuh dan
keluarganya (Kej. 6:5-8). Dia diperintahkan untuk membuat bahtera, dimana dia
dan segala jenis binatang, hidup selama waktu pembinasaan dunia melalui air
bah. Dengan berlalunya waktu, terpisah dari pernyataan yang jelas di dalam
tulisan kudus, berdasarkan bukti-bukti ilmiah kita dapat mempercayai bahwa air
bah benar-benar pernah terjadi. Catat, bumi tidak dihancurkan, tetapi hanya
orang-orang jahat yang merusak bumi yang dibinasakan; “binasalah segala yang
hidup yang bergerak di bumi” (Kej. 7:21). Yesus (Mat. 24:37) dan Petrus (II
Ptr. 3:6-12) menunjukkan bahwa penghakiman yang terjadi pada zaman Nuh serupa
dengan apa yang terjadi pada kedatangan Kristus yang kedua kalinya. Karena itu
keadaan orang-orang jahat yang menyedihkan yang hidup pada zaman Nuh, sama
dengan orang-orang jahat yang hidup pada saat ini, yang akan dihukum pada waktu
kedatangan Kristus.
Karena semakin meningkatnya jumlah orang-orang yang
berdosa dan kegiatan-kegiatan yang merusak planet ini, maka timbullah suatu
keyakinan diantara orang-orang Kristen, bahwa bumi akan dihancurkan. Gagasan
ini menunjukkan kurangnya pengetahuan tentang dasar-dasar Alkitab, yaitu
tentang tujuan Allah terhadap planet ini untuk mendirikan KerajaanNya pada saat
kedatangan Yesus. Jika manusia diizinkan untuk merusak planet ini, maka janji
Allah tidak bisa dipegang. Bukti bahwa Kerajaan Allah akan didirikan di bumi
dapat dilihat di pelajaran 4.7 dan 5. Berikut ini adalah bukti yang cukup
untuk membuktikan bahwa bumi dan matahari tidak akan dihancurkan;
“bumi yang didasarkannya untuk selama-lamanya”
(Mzm. 78:69).
“bumi tetap ada” (Pkh. 1:4).
“matahari dan bulan…bintang…langit…Dia mendirikan
semuanya untuk seterusnya dan selamanya, dan memberi ketetapan yang tidak dapat
dilanggar” (Mzm. 148:3-6)
“seluruh bumi penuh dengan pengenalan akan Tuhan,
seperti air laut yang menutupi dasarnya” (Yes. 11:9; Bil. 14:21). Sulit terjadi
, jika Allah menghendaki bumi ini hancur, maka janji ini tidak akan digenapi.
“Dialah Allah yang membentuk bumi dan menjadikannya
dan yang menegakkannya, dan Ia menciptakannya bukan supaya kosong, tetapi Ia
membentuknya untuk didiami” (Yes. 45:18). Jika Allah menciptakan bumi hanya
untuk dihancurkan, maka sia-sialah pekerjaannya.
Kembali pada kisah di Kejadian, Allah telah
menjanjikan semua hal ini kepada Nuh. Ketika dia mulai menjalani kehidupannya
dari awal lagi di dalam dunia baru yang diciptakan melalui air bah, Allah
membuat perjanjian (suatu perjanjian yang bertahap), bahwa air bah tidak
terjadi lagi.:
“sesungguhnya Aku mengadakan perjanjianKu dengan
kamu…Maka Kuadakan perjanjianKu dengan kamu (catat, bagaimana kata “Aku”
ditegaskan, Allah yang mulia bersedia membuat perjanjian dengan manusia yang
berdosa!”), bahwa sejak ini tidak ada yang hidup yang akan dilenyapkan oleh air
bah lagi, dan tidak akan ada lagi air bah untuk memusnahkan bumi” (Kej.
9:9-11).
Pelangi adalah tanda dari perjanjian ini:
“Apabila kemudian Kudatangkan awan di atas bumi dan
busur itu tampak di awan, maka Aku akan mengingat perjanjianKu yang telah ada
antara Aku dan kamu...perjanjianKu yang kekal antara Allah dan segala makhluk
yan hidup, segala makhluk yang ada di bumi...Inilah (pelangi) tanda perjanjian
yang Kuadakan” (Kej. 9:14-17).
Karena hal itu adalah perjanjian yang abadi antara
Allah dengan manusia dan binatang-binatang di bumi, maka bumi haruslah tetap
dihuni oleh mereka selamanya. Inilah bukti bahwa Kerajaan Allah akan didirikan
di bumi, bukan di surga.
Karena itu janji kepada Nuh merupakan dasar dari
Injil Kebenaran; hal itu menunjukkan bahwa perhatian Allah terfokus pada planet
ini, dengan membuat suatu perjanjian yang abadi. Dalam kemurkaanNya Dia masih
mengingat pengampunan (Hab. 3:2), dengan kasihNya yang seperti itu, Ia bahkan
masih memperhatikan binatang ciptaanNya (I Kor. 9:9 bandingkan Yun. 4:11).
3.4 Janji Kepada Abraham
Injil yang diajarkan oleh Yesus dan murid-muridnya
tidak berbeda dengan Injil yang diterima oleh Abraham. Allah, melalui tulisan
kudus, “memberitakan Injil kepada Abraham” (Gal. 3:8). Begitu pentingnya
janji-janji ini sehingga Petrus memulai dan mengakhiri pernyataannya di hadapan
umum dengan menggunakan ayat-ayat tersebut sebagai referensi (Kis. 3:13,25).
Jika kita dapat memahami apa yang diajarkan kepada Abraham, maka kita akan
memiliki gambaran yang sangat mendasar dari Injil Kristus. Ada juga petunjuk
lain yang menjelaskan bahwa Injil bukanlah sesuatu yang baru diberitakan pada
jaman Yesus;
-
“Dan kami sekarang memberitakan Kabar kesukaan (Injil) kepada kamu, yaitu bahwa
janji yang diberikan kepada nenek moyang kita, telah digenapi Allah kepada
kita” (Kis. 13:32,33)
-
“Injil Allah. Injil itu telah dijanjikan Nya sebelumnya dengan perantaraan
(misalnya Abraham-Kej.20:7) dalam kitab-kitab suci “(Rm. 1:1,2)
-
“Itulah sebabnya maka Injil telah diberitakan juga kepada orang-orang mati” (I
Ptr. 4:6), yaitu kepada orang-orang percaya yang hidup, dan telah mati sebelum
abad pertama.
-
“Karena kepada kita diberitakan juga kabar kesukaan sama seperti kepada mereka”
(Ibr. 4:2), yaitu kepada bangsa Israel sewaktu mereka berada di padang gurun.
Janji-janji kepada Abraham memiliki dua tema dasar;
Hal-hal mengenai keturunan Abraham (keturunan yang
istimewa), dan
Hal-hal mengenai tanah yang dijanjikan kepada
Abraham
Janji-janji ini telah dikomentari dalam Perjanjian
Baru, dan dengan kebijaksanaan yang kita miliki, marilah kita perhatikan
bagaimana Alkitab menjelaskan hal tersebut. Kita akan menggabungkan pengajaran
dari Perjanjian Lama dan Baru untuk mendapatkan gambaran yang lengkap mengenai
perjanjian yang dibuat kepada Abraham.
Abraham berasal dari Ur, suatu kota yang makmur,
yang sekarang ini adalah Irak. Ilmu purbakala modern menunjukkan bahwa tingkat
peradaban yang tinggi telah dicapai pada jaman Abraham. Ada sistem perbankan,
fasilitas umum dan prasarananya. Abraham tinggal di kota ini, dialah yang akan
kita ketahui selanjutnya, disebut sebagai Bapa segala bangsa. Kemudian suatu
panggilan yang luar biasa datang dari Allah kepadanya untuk meninggalkan
kehidupan duniawi tersebut, dan memulai perjalanan menuju tanah perjanjian.
Lokasinya sama sekali tidak dijelaskan. Banyak orang mengetahui bahwa
perjalanan itu menempuh jarak 1.500 mil. Tanah itu adalah Kanaan, Israel
modern.
Adakalanya Allah menampakkan diri kepada Abraham,
dan mengulangi janjiNya dengan lebih terperinci. Janji-janji tersebut adalah
dasar dari Injil Kristus. Karenanya, sebagaimana Abraham mendapat panggilan
dari Allah, begitu juga yang dialami oleh orang-orang Kristen yang benar pada
saat ini. Yaitu untuk meninggalkan hal-hal yang bersifat sementara dalam hidup
ini, dan hidup dalam iman, sehubungan dengan janji-janji Allah, hidup dalam
firmanNya. Kita dapat membayangkan bagaimana Abraham mempertimbangkan
janji-janji tersebut selama perjalanannya. “Karena iman Abraham taat, ketika ia
dipanggil untuk berangkat (dari Ur) ke negeri (Kanaan) yang akan diterimanya
menjadi milik pusakanya, lalu ia berangkat dengan tidak mengetahui tempat yang
ia tujui” (Ibr. 11:8). Sebagaimana Janji-janji Allah diberikan pada waktu
pertama kali diberikan, demikian juga yang kita alami. Walaupun kita tidak tahu
dengan pasti, seperti apakah Kerajaan Allah itu, tapi dengan iman kepada firman
Allah, akan membuat kita berhasrat untuk mematuhinya.
Abraham bukanlah seorang pengembara yang
berkeliling-keliling karena tidak ada hal yang lebih baik untuk dikerjakan,
lalu memilih untuk menerima penggenapan janji-janji ini. Secara umu, latar
belakangnya tidak berbeda jauh dengan kita. Hal yang rumit ialah,
keputusan-keputusan yang menyebabkan hal-hal yang menyedihkan yang harus ia
hadapi, serupa dengan yang mungkin harus kita hadapi pada saat ini sebagai
konsekuensi dari menerima dan melaksanakan apapun sehubungan dengan janji-janji
Allah; dicemooh oleh rekan bisnis, diejek oleh orang-orang di sekitar kita,
dll. Hal-hal seperti ini mungkin dialami oleh Abraham. Hal yang memotivasinya
dalam menghadapi semua ini pasti sangat luar biasa. Dan satu-satunya hal yang
tersedia sebagai motivasi dalam menempuh perjalanannya yang panjang dan memakan
waktu bertahun-tahun adalah, hanya sekedar kata-kata dari janji tersebut. Dia
harus mengingat dan merenungkannya setiap hari untuk mengetahui maksud yang
sebenarnya dari janji yang telah diberikan kepadanya.
Dengan memperlihatkan iman yang sama, dan
melakukannya. Kita akan mendapat kehormatan seperti yang diterima Abraham;
disebut sebagai yang dikasihi Allah (Yes. 41:8), memperoleh pengetahuan dari
Allah (Kej. 18:17), dan pasti akan mendapatkan kehidupan abadi dalam Kerajaan
Allah. Sekali lagi kami menegaskan bahwa Injil Kristus didasari oleh
janji-janji kepada Abraham. Supaya kita dapat percaya dengan sungguh-sungguh
pada ajaran Kristen, kita harus mengetahui dengan pasti tentang janji-janji
kepada Abraham. Tanpa melaklukan hal demikian, maka iman yang kita miliki
bukanlah iman. Karena itu, kita harus membaca berulang kali dialog antara Allah
dan Abraham dengan cermat.
Tanah
“Pergilah dari negerimu...ke negeri yang akan
kutunjukkan kepada mu” (Kej. 12:1)
Abraham “berjalan dari tempat persinggahan ke
tempat persinggahan, dari tanah Negeb sampai dekat Betel (Israel bagian tengah)
dan berfirmanlah Allah kepada Abraham: ”Pandanglah sekelilingmu dan lihatlah
dari tempat engkau berdiri itu ke timur dan barat, utara dan selatan, sebab
seluruh negeri yang kau lihat itu akan kuberikan kepadamu dan kepada
keturunanmu untuk selama-lamanya...jalanilah negeri itu...sebab kepadamulah
akan kuberikan negeri itu” (Kej. 13:3,14-17).
“Tuhan mengadakan perjanjian dengan Abraham serta
berfirman; “Kepada keturunanmulah kuberikan negeri ini, mulai dari sungai Mesir
sampai ke sungai yang besar itu, sungai Efrat” (Kej. 15:18)
“Kepadamu dan kepada keturunanmu akan kuberikan
negeri ini yang kau diami sebagai orang asing, yakni seluruh tanah Kanaan akan
kuberikan menjadi milikmu untuk selama-lamanya” (Kej. 17:8)
“Janji kepada Abraham dan keturunannya, bahwa ia
akan memiliki dunia” (Rm. 4:13)
Perhatikan bagaimana wahyu kepada Abraham diberikan
secara bertahap;
“Aku ingin kamu pergi ke suatu negeri”
“Kamu telah tiba di negeri tersebut. Kamu dan
anak-anakmu akan hidup selamanya.” Perhatikan bagaimana janji tentang kehidupan
abadi dicatat tanpa ada penegasan, sang penulis menulisnya tanpa keragu-raguan.
Lokasi dari negeri itu dijelaskan lebih spesifik
lagi
Abraham tidak berharap untuk menerima penggenapan
janji tersebut selagi ia hidup. Walaupun dia hidup disana sampai mati, tapi dia
menjadi orang asing di negeri itu. Pengertian dari hal ini adalah bahwa dia
akan mati dan kemudian dibangkitkan untuk menerima penggenapan dari janji
tersebut.
Paulus, dibawah ilham, dengan jelas melihat bahwa
janji-janji kepada Abraham adalah warisannya kepada seluruh bumi.
Tulisan kudus menjelaskan hal itu untuk
mengingatkan kita bahwa Abraham tidak menerima penggenapan dari janji-janji
tersebut selama hidupnya.
”Karena iman ia diam di tanah yang dijanjikan itu
seolah-olah di suatu tanah asing, dan disitu ia tinggal di kemah” (Ibr. 11:9)
Dia hidup sebagai orang asing di tanah itu, mungkin
dengan sembunyi-sembunyi karena situasi yang tidak aman dan tidak memungkinkan
untuk hidup sebagai pendatang di negeri itu. Hampir saja ia tidak dapat tinggal
bersama dengan keturunannya di tanahnya sendiri. Bersama dengan keturunannya,
Ishak dan Yakub (kepada mereka janji itu juga diberikan), ia mati dalam iman
”sebagai orang-orang yang tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu, tetapi yang
hanya dari jauh melihatnya dan melambai-lambai kepadanya dan yang mengakui,
bahwa mereka adalah orang asing dan pendatang di bumi ini” (Ibr. 11:13). Catat
empat tahap berikut ini;
-
Mengetahui janji-janji itu – seperti yang kita lakukan melalui pelajaran ini.
-
Percaya kepada janji-janji itu – jika Abraham meyakini janji itu dengan melalui
sebuah proses, bagaimana dengan kita?
-
Menerima janji-janji itu – melalui pembaptisan di dalam Kristus (Gal. 3:27-29).
-
Melalui jalan hidup kita, menyatakan pada dunia bahwa dunia ini bukanlah rumah
kita yang sesungguhnya, dan kita berharap agar jaman yang akan datang segera
tiba.
Abraham menjadi pahlawan besar dan teladan bagi
kita, jika kita menghargai hal-hal ini. Sebagai penegasan yang terakhir dari
penggenapan janji-janji tersebut, yang akan terjadi pada masa yang akan datang
bagi orang tua yang letih itu ketika istrinya meninggal; dia diharuskan membeli
sebagian dari tanah perjanjian untuk menguburnya (Kis. 7:16), Allah ”tidak memberikan
milik pusaka kepadanya, bahkan setapak tanahpun tidak, tetapi Ia berjanji akan
memberikan tanah itu kepadanya menjadi kepunyaannya dan kepunyaan keturunannya,
walaupun pada waktu itu ia tidak mempunyai anak” (Kis. 7:5). Keturunan Abraham
pada saat ini merasakan hal yang sama, tidak sepantasnya mereka membeli atau
menyewa tanah yang merupakan hak milik mereka, yaitu bumi ini. Yang telah
dijanjikan kepada mereka, demi kepentingan mereka. Warisan abadi!
Walaupun begitu, Allah tetap akan menepati janjiNya.
Akan datang suatu hari dimana Abraham dan mereka yang telah dijanjikan akan
perjanjian itu, menerima upahnya. Ibrani 11:13,39,40 menjelaskan tentang hal
ini;
”Dalam iman mereka semua ini telah mati sebagai
orang-orang yang tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu, sebab Allah telah
menyediakan sesuatu yang lebih baik bagi kita; tanpa kita mereka tidak dapat
sampai kepada kesempurnaan.”
Oleh karena itu, orang-orang yang percaya akan
diberikan upah pada waktu yang sama, yaitu pada waktu penghakiman di hari
terakhir (II Tim. 4:1,8; Mat. 25:31-34; I Ptr. 5:4). Abraham dan orang-orang
lain yang menerima janji-janji tersebut, harus dibangkitkan sebelum
penghakiman, karena mereka harus hidup dengan tujuan untuk dihakimi. Jika pada
saat mereka hidup, mereka tidak menerima janji-janji tersebut maka mereka pasti
akan menerimanya setelah kebangkitan mereka, pada penghakiman sewaktu Kristus
kembali ke bumi. Tidak ada pilihan lain selain menerima alasan bahwa mereka,
yang mengalami hal yang sama dengan Abraham, yang sekarang ini berada di dalam
kubur, sedang menunggu kedatangan Kristus. Bukan seperti mosaik pada jendela
kaca berwarna yang terdapat di Gereja-gereja Eropa, yang melukiskan Abraham
sedang berada di surga pada saat ini, sebagai upahnya karena hidup dalam iman.
Beribu-ribu orang selama ratusan tahun melihat lukisan itu, dan dengan yakin
sekali menerima gagasan tersebut. Apakah anda memiliki keberanian berdasarkan
Alkitab untuk melangkah lebih jauh?
Keturunan
Seperti yang telah dijelaskan di pelajaran 3.2. Penggenapan
janji tentang keturunan tersebut sangat tepat ditujukan kepada Yesus, dan yang
kedua kepada mereka yang berada ”di dalam Kristus”, yang juga diperhitungkan
sebagai keturunan Abraham;
”Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar,
dan memberkati engkau...dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat
berkat” (Kej. 12:2,3)
”Sebab seluruh negeri yang kau lihat itu akan
Kuberikan kepadamu dan kepada keturunanmu untuk selama-lamanya dan Aku akan
menjadikan keturunanmu seperti debu tanah banyaknya, sehingga jika seandainya
ada yang dapat menghitung debu tanah, keturunanmupun akan dapat dihitung juga”
(Kej. 13:15,16)
”Coba lihat ke langit, hitunglah bintang-bintang,
jika engkau dapat menghitungnya...Demikianlah banyaknya nanti
keturunanmu...Kepada keturunanmulah Kuberikan negeri ini” (Kej. 15:5,18)
”Kepadamu dan kepada keturunanmu akan Kuberikan
negeri ini yang kau diami sebagai orang asing, yakni seluruh tanah Kanaan akan
Kuberikan menjadi milikmu untuk selama-lamanya, dan Aku akan menjadi Allah mereka”
(Kej. 17:8)
”Maka Aku akan memberkati engkau berlimpah-limpah
dan membuat keturunanmu sangat banyak seperti bintang di langit dan seperti
pasir di tepi laut, dan keturunanmu itu akan menduduki kota-kota musuhnya. Oleh
keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau
mendengarkan firmanKu” (Kej. 22:17,18)
Pemahaman Abraham mengenai ”keturunan” semakin
diperjelas;
Pertama dia hanya diberitahu bahwa suatu waktu ia
akan memiliki keturunan dalam jumlah yang luar biasa, dan melalui ”keturunannya”
seluruh bumi akan diberkati.
Kemudian dia diberitahu bahwa dia akan memiliki
keturunan yang akan mengikutsertakan banyak orang. Orang-orang inilah yang akan
menghabiskan kehidupan abadi mereka bersama dia di tanah yang telah dia
tempati, yaitu Kanaan.
Dia diberitahu bahwa keturunannya akan menjadi
banyak seperti bintang-bintang di langit. Mungkin hal ini diartikan oleh
Abraham sebagai kerturunan dalam arti rohani, (bintang-bintang di langit) dan
sebanyak (debu tanah di bumi)
Janji-janji tersebut harus digarisbawahi dan
ditambahkan sebagai jaminan bahwa orang-orang yang akan menjadi bagian dari
keturunan itu dapat memilki hubungan pribadi dengan Allah, seperti Abraham.
Keturunan itu akan menang melawan musuh-musuhnya.
Catat, keturunan itu akan membawa ”berkat” bagi
banyak orang di bumi. Di dalam Alkitab, pemberkatan seringkali dihubungkan
dengan pengampunan dosa. Dari segala berkat, inilah berkat yang terbesar dari
Allah yang maha pengasih, yang paling didambakan. Karena inilah maka tetulis
hal-hal seperti berikut ini, ”Berbahagialah orang yang diampuni pelanggarannya”
(Mzm. 32:1); ”cawan pengucapan syukur” (I Kor. 10:16), yang mengartikan darah
Kristus, yang melaluinya pengampunan diberikan. Satu-satunya keturunan Abraham
yang membawa pengampunan bagi dosa-dosa dunia adalah Yesus. Perjanjian Baru,
sewaktu mengomentari tentang janji-janji kepada Abraham, mendukung hal ini;
”Tidak dikatakan ”kepada keturunan-keturunannya”
(dalam bentuk jamak) seolah-olah dimaksud banyak orang, tetapi hanya satu
orang: ”dan kepada keturunanmu” (dalam bentuk tunggal), yaitu Yesus Kristus”
(Gal. 3:16)
”...perjanjian yang telah diadakan Allah dengan
nenek moyang kita, ketika Ia berfirman kepada Abraham:”Oleh keturunanmu semua
bangsa di muka bumi akan diberkati. Dan bagi kamulah pertama-tama Allah
membangkitkan hambanya (keturunan perempuan itu) dan mengutusnya kepada kamu,
supaya ia memberkati kamu dengan memimpin kamu masing-masing kembali dari
segala kejahatanmu” (Kis. 3:25,26)
Catat bagaimana cara Petrus mengutip dan menafsirkan
Kejadian 22:18
Keturunan
=
Yesus
Berkat
=
Pengampunan dosa
Janji bahwa Yesus, keturunan itu, akan mengalahkan
musuh-musuhnya, semakin jelas dipahami jika hal ini direferensikan dengan
kemenangannya atas dosa, musuh terbesar dari umat Allah dan juga Yesus.
Bergabung dengan keturunan itu
Sekarang jelaslah sudah, bahwa elemen-elemen dasar
dari Injil Kristen telah dipahami oleh Abraham. Tapi, janji-janji yang penting
ini hanyalah diberikan kepada Abraham dan keturunannya, Yesus. Bagaimana dengan
yang lain? Bahkan orang-orang yang berasal dari garis keturunan Abraham tidak
otomatis menjadi bagian dari keturunannya (Yoh. 8:39; Rm. 9:7). Bagaimanapun
juga, kita harus menjalin hubungan yang akrab dengan Yesus, sehingga
janji-janji kepada keturunan tersebut juga dibagi bersama kita, yaitu dengan
cara dibaptis di dalam nama Yesus (Rm. 6:3-5). Kita sering membaca tentang
pembaptisan di dalam namanya (Kis. 2:38; 8:16; 10:48; 19:5). Galatia 3:27-29 menjelaskan
tentang hal ini;
”Karena kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus
telah mengenakan Kristus. Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang
Yunani (bangsa lain), tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki
atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus (melalui
pembaptisan). Dan jika kamu adalah milik Kristus, maka kamu juga adalah
keturunan Abraham dan berhak menerima janji Allah”
Janji untuk hidup abadi di bumi dengan menerima
”berkat” pengampunan melalui Yesus. Dengan dibaptis di dalam Kristus, keturunan
itu, maka kita dapat berbagi janji-janji yang dibuat untuknya. Karena itu Roma
8:17 menyebut kita ”ahli waris bersama Kristus.”
Ingat, berkat tersebut diberikan kepada orang-orang
disegala penjuru bumi, melalui keturunan itu. Dan kleturunan itu akan menjadi
suatu kelompok yang terdiri dari orang-orang yang berasal dari segala penjuru
bumi, seperti pasir di tepi laut dan seperti bintang-bintang di langit.
Selanjutnya mereka berhak untuk menerima berkat yang pertama sehingga mereka
dapat menjadi bagian dari keturunan tersebut. Dan keturunan (dalam bentuk
tunggal) itu, ”kepadanya akan sujud menyembah semua orang” (banyak orang Mzm.
22:30)
Kita dapat meringkaskan dua bagian dari janji-janji
yang diberikan kepada Abraham;
Tanah
Abraham dan keturunannya, Yesus, dan mereka yang
berada di dalamnya, akan menerima warisan Tanah Kanaan, yang kemudian akan
diperluas ke segala penjuru bumi. Dan mereka akan tinggal disana selamanya.
Pada saat ini mereka belum menerima janji itu, tetapi mereka pasti akan
menerimanya pada saat terakhir ketika Yesus datang kembali.
Keturunan
Hal ini terutama menunjuk kepada Yesus. Melalui
dia, dosa-dosa (musuh) dari umat manusia akan dikalahkan, sehingga berkat
pengampunan akan tersedia bagi semua orang.
Dengan dibaptis di dalam nama Yesus, kita akan
menjadi bagian dari keturunan Abraham.
Kedua hal yang berurutan ini terdapat pada ajaran
Perjanjian Baru, dan, tidak mengejutkan, jika seringkali dicatat bahwa
orang-orang yang telah mendengarkan ajaran tersebut, lalu dibaptis. Ini adalah
satu-satunya jalan agar kita dapat menerima janji-janji tersebut. Sekarang kita
dapat mengerti, mengapa sebagai manusia lama yang dihadapkan pada kematian,
Paulus dapat menjelaskan bahwa harapannya adalah ”Pengharapan Israel” (Kis.
28:20). Harapan orang Kristen sejati adalah harapan orang-orang Yahudi yang
mula-mula. Kristus mengomentari hal ini dengan berkata, ”keselamatan datang
dari bangsa Yahudi” (Yoh. 4:22), dan hal ini juga menegaskan betapa pentingnya
untuk menjadi orang Yahudi secara rohani, sehingga kita, melalui Kristus, dapat
menerima janji-janji keselamatan yang diberikan kepada nenek moyang bangsa
Yahudi.
Seperti yang kita ketahui, bahwa orang kristen yang
mula-mula diajarkan:
”Hal-hal yang menyangkut tentang Kerajaan Allah,
dan
Nama Yesus Kristus” (Kis. 8:12)
Kedua hal ini dijelaskan kepada Abraham dengan tema
yang agak sedikit berbeda;
Janji tentang Tanah Perjanjian, dan
Janji tentang Keturunannya
Catat, ”hal-hal tersebut” (dalam bentuk jamak)
tentang Kerajaan dan Yesus, diringkaskan di dalam ”pemberitaan tentang Kristus”
(Kis. 8:5 bandingkan ayat 12). Banyak orang sering mengartikan hal ini
dengan; ”Yesus mengasihi engkau! Hanya dengan mengakui bahwa Dia mati
untuk engkau, maka engkau akan diselamatkan!” Padahal, kata
”Kristus” dengan jelas sekali mengartikan ringkasan dari sejumlah pengajaran
tentang hal-hal yang berkenaan dengan Dia dan Kerajaan yang akan datang. Kabar
baik tentang Kerajaan yang diberitakan kepada Abraham mempunyai peran penting
dalam Pemberitaan Injil yang mula-mula.
Sewaktu berada di Korintus, Paulus selama tiga
bulan menerangkan dan meyakinkan hal-hal yang berkenaan dengan Kerajaan Allah
(Kis. 19:8); kemudian di Efesus dia berkeliling ”memberitakan Kerajaan Allah”
(Kis. 20:5), begitu juga dalam pernyataan terakhirnya di Roma, ”Ia menerangkan
dan memberi kesaksian kepada mereka tentang Kerajaan Allah; dan berdasarkan
Hukum Musa dan Kitab para Nabi Ia berusaha meyakinkan mereka tentang Yesus”
(Kis. 28:23,31). Ada banyak sekali yang harus dijelaskan untuk menunjukkan
dasar dari Injil tentang Kerajaan dan Yesus, daripada hanya sekedar mengatakan
”Percaya kepada Yesus.” Bahkan wahyu Allah kepada Abraham tidak sesingkat itu,
tetapi dijelaskan dengan terperinci. Dan hal-hal yang dijanjikan kepadanya adalah
dasar dari Injil Kristen yang benar.
Kami telah menjelaskan bahwa pembaptisan di dalam
Yesus akan membuat kita menjadi bagian dari keturunan tersebut, dan juga
memungkinkan kita untuk mewarisi janji-janji tersebut. (Gal. 3:27-29), tapi,
hanya dengan pembaptisan belumlah cukup agar kita memperoleh janji-janji
keselamatan itu. Kita harus tetap berada di dalam keturunan itu, yaitu Yesus,
jika kita ingin menerima janji-janji yang diberikan kepada keturunan itu. Oleh
karena itu pembaptisan hanyalah permulaan seperti start awal dalam lomba lari.
Jangan lupa, dengan menjadi keturunan Abraham, tidak mengartikan otomatis kita
diterima Allah. Seperti halnya bangsa Israel yang berasal dari garis keturunan
Abraham, walaupun begitu, tidak mengartikan bahwa mereka dapat diselamatkan
tanpa melalui pembaptisan dan hidup di dalam Kristus, dan mengikuti teladan
Abraham (Rm. 9:7,8; 4:13,14). Yesus berkata kepada orang-orang Yahudi, ”Aku
tahu bahwa kamu adalah keturunan Abraham, tetapi kamu berusaha untuk membunuh
Aku...Jikalau sekiranya kamu anak-anak Abraham, tentunya kamu mengerjakan
pekerjaan yang dikerjakan oleh Abraham” (Yoh. 8:37,39), yaitu hidup dengan iman
kepada Allah dan Kristus, keturunan yang dijanjikan (Yoh. 6:29).
Keturunan itu harus mempunyai karakteristik seperti
leluhurnya. Karena itu jika kita ingin menjadi keturunan Abraham, maka kita
tidak hanya memberi diri untuk dibaptis, tapi juga memiliki iman yang teguh
akan janji-janji Allah seperti Abraham, oleh karena itu dia disebut ”Bapa semua
orang yang percaya...juga mengikuti jejak iman Abraham, Bapa leluhur kita (Rm.
4:11,12). ”Jadi kamu lihat, bahwa mereka yang hidup dari iman, mereka itulah
anak-anak Abraham” (Gal. 3:7).
Iman harus ditunjukkan melalui perbuatan, jika
tidak, maka dalam pandangan Allah hal tersebut bukanlah iman (Yak. 2:17).
Seperti yang telah kita pelajari, maka kita harus menunjukkan iman kita akan
janji-janji ini, pertama dengan dibaptis, sehingga kita dapat menerapkannya
(Gal. 3:27-29). Jadi, apakah anda benar-benar percaya pada janji-janji Allah?
Pertanyaan ini harus terus kita tanyakan kepada diri kita sendiri selama kita
hidup.
Perjanjian Lama dan Baru
Sekarang telah kami tunjukkan bahwa janji-janji
kepada Abraham diringkaskan dalam Injil Kristus. Hal-hal penting lainnya
dijanjikan Allah kepada orang Yahudi di dalam konteks hukum Musa. Jika
orang-orang Yahudi taat kepada hukum tersebut, maka secra fisik mereka akan
diberkati (Ul. 28). Tidak ada hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan abadi
dalam janji-janji, atau ”perjanjian”ini. Jadi, kita telah melihat bahwa ada dua
perjanjian yang telah dibuat;
Kepada Abraham dan keturunannya, menjanjikan
pengampunan dan kehidupan abadi dalam Kerajaan Allah pada saat Kristus datang
kembali. Janji ini juga diberikan di Taman Eden dan kepada Daud.
Kepada orang-orang Yahudi pada jaman Musa,
menjanjikan kedamaian dan kebahagiaan dalam hidup, jika mereka patuh kepada
hukum yang Allah berikan melalui Musa.
Allah menjanjikan pengampunan dan kehidupan abadoi
di kerajaan, kepada Abraham. Tapi hal ini hanya dapat terwujud melalui
pengorbanan Yesus. Karena inilah maka kematian Kristus di kayu salib disebut
sebagai penegasan atas janji-janji yang diberikan kepada Abraham (Gal. 3:17;
Rm. 15:18; Dan. 9:27; II Kor. 1:20), dan darahnya disebut sebagai ”darah
perjanjian baru” (Mat. 26:28). Untuk mengingat akan hal ini, Yesus
memerintahkan kepada kita agar tetap ”mengambil cawan yang berisi anggur, yang
merupakan simbolis dari darahnya, untuk mengingatkan kita akan hal-hal ini”
(lihat I Kor. 11:25); ”Cawan ini adalah perjanjian baru oleh darahku” (Luk.
22:20). Tidak ada gunanya ”memecah-mecahkan roti” untuk mengingat Yesus dan
pekerjaannya, jika tidak memiliki pemahaman tentang hal ini.
Pengorbanan Yesus membuat janji akan pengampunan
dan kehidupan abadi di dalam Kerajaan Allah dapat terwujud. Dengan demikian Ia
membenarkan perjanjian yang diberikan kepada Abraham. Dia aadalah ”jaminan dari
suatu perjanjian yang lebih kuat” (Ibr. 7:22). Ibrani 10:9 berbicara tentang
hal yang Yesus lakukan, ”yang pertama (perjanjian) ia hapuskan, supaya
menegakkan yang kedua.” Hal ini menunjukkan bahwa Yesus menegaskan janji-janji
yang telah diberikan kepada Abraham, dan menggenapinya melalui perjanjian yang
lain, yaitu perjanjian yang diberikan kepada Musa. Ayat-ayat ini sebelumnya
telah mengutip tentang Yesus, yang menegaskan adanya perjanjian baru melalui
kematiannya, yang secara tidak langsung menyatakan bahwa ada perjanjian lama
yang dijanjikan sebelumnya (Ibr. 8:13).
Walaupun perjanjian sehubungan dengan Kristus
dibuat lebih awal, tapi hal tersebut tidak sepenuhnya dilaksanakan hingga
kematiannya. Oleh karena itu disebut perjanjian ”baru.” Tujuan dari perjanjian
”lama” yang diberikan kepada Musa adalah sebagai gambaran ke depan tentang
pekerjaan Yesus, dan untuk menerangkan pentingnya iman sehubungan dengan
janji-janji mengenai Kristus (Gal. 3:19,21). Sebaliknya, iman di dalam Kristus
meneguhkan kebenaran dari hukum yang diberikan kepada Musa (Rm. 3:31). Paulus
menjelaskannya dengan cara yang menarik; ”hukum Taurat adalah penuntun bagi kita
sampai Kristus datang, supaya kita dibenarkan karena iman” (Gal. 3:24). Untuk
tujuan inilah hukum yang diberikan melalui Musa dipelihara dan masih bermanfaat
untuk kita pelajari.
Hal-hal ini tidak mudah untuk dipahami pada waktu
pertama kali dibaca. Untuk itu kami meringkaskannya sebagai berikut;
Janji-janji sehubungan dengan Kristus yang
diberikan kepada Abraham
–
Perjanjian Baru
Janji-janji kepada Israel bersama dengan hukum yang
diberikan kepada Musa
–
Perjanjian Lama
Kematian Kristus
- Perjanjian Lama berakhir (Kol. 2:14-17),
Perjanjian Baru dimulai
Karena alasan inilah, maka hal-hal seperti
menghormati hari sabat, dll. Yang adalah bagian dari Perjanjian Lama, tidak
diperlukan lagi pada saat ini (lihat pelajaran 9.5). Perjanjian Baru diberikan
kepada Israel jasmani ketika mereka bertobat dan menerima Kristus (Yer.
31:31,32; Rm. 9:26,27; Yeh. 16:62, 37:26), walaupun demikian, tentu saja,
setiap orang Yahudi baik secara jasmani maupun rohani yang sudah bertobat dan
dibaptis dalam nama Yesus, dapat segera memasuki Perjanjian Baru (dimana tidak
ada perbedaan antara orang Yahudi dengan bangsa-bangsa lain, Gal. 3:27-29).
Penghargaan yang tulus akan hal-hal ini, membuat
kita menyadari kepastian dari janji-janji Allah. Para penginjil Kristen yang
mula-mula dituduh secara tidak adil, karena tidak mengajarkan hal-hal yang
baik. Paulus menjawabnya dengan mengatakan, bahwa karena penegasan Allah akan
janji-janjinya melalui peristiwa kematian Kristus, maka harapan yang mereka
bicarakan bukanlah sesuatu yang datang dan pergi begitu saja, tetapi
betul-betul suatu penawaran yang pasti; ”Demi Allah yang setia, janji
(pengajaran) kami kepada kamu bukanlah serentak ”ya” dan ”tidak”, tetapi sebaliknya
di dalam Dia hanya ada ”ya”. Sebab Kristus adalah ”ya” bagi semua janji Allah.
Itulah sebabnya oleh Dia kita mengatakan ”Amin” untuk memuliakan Allah” (II
Kor. 1:17-20).
Tentunya hak ini meluluhlantakkan sikap dari
orang-orang yang mengatakan, ”Oh, begitu ya... mudah-mudahan saja, dari semua
ini ada hal yang benar...?
3.5 Janji Kepada Daud
Seperti halnya Abraham dan orang-orang yang
menerima janji-janji Allah, perjalanan hidup Daud tidaklah mudah. Ia tumbuh
sebagai anak yang paling bungsu di dalam keluarga yang besar di Israel, sekitar
tahun 1000 SM. Ia menjadi penggembala domba dan tukang suruh dari
saudara-saudaranya yang berlagak seperti majikan (I Sam.15-17). Dalam kurun
waktu itu, ia mempelajari tingkat teratas dari iman kepada Allah, yang hanya dimiliki
oleh sedikit sekali orang sejak permulaan dunia.
Hari itu akhirnya tiba, ketika Israel menghadapi
tantangan terakhir dari tetangga mereka yang agresif, Filistin. Mereka
ditantang untuk menunjuk salah seorang dari mereka utuk melawan raksasa Goliat,
jawara Filistin. Pemenangnya akan berkuasa atas yang kalah. Dengan bantuan
Allah, Daud mengalahkan Goliat dengan menggunakan ketapel. Atas kemenangannya
itu ia disanjung melebihi raja mereka (Saul). “kegairahan gigih (kecemburuan)
seperti dunia orang mati” (Kid. 8:6), firman ini terbukti benar melalui
tindakan Saul yang menindas Daud selama 20 tahun beikutnya, memburunya seperti
seekor tikus di sekitar padang gurun dibagian selatan Israel.
Akhirnya Daud menjadi Raja, dan menunjukkan
penghargaannya akan kasih Allah yang telah melindunginya selama ia hidup di
padang gurun dengan memutuskan untuk mendirikan Bait Allah. Jawaban Allah atas
hal ini adalah dengan menunjuk anak Daud, Salomo, yang akan mendirikan bait
tersebut. Dan sebaliknya, Allah ingin membangun suatu rumah bagi Daud (II Sam.
7:4-13). Kemudian hal tersebut dijelaskan dengan terperinci, sebagian besar
dijanjikan kepada Abraham, tetapi dengan detail yang lebih jelas;
“Apabila umurmu sudah genap an engkau telah
mendapat perhentian bersama-sama dengan nenek moyangmu, maka Aku akan
membangkitkan keturunanmu yang kemudian, anak kandungmu, dan Aku akan
mengokohkan kerajaannya. Dialah yang akan mendirikan rumah bagi namaKu dan Aku
akan mengokohkan takhta kerajaannya untuk selama-lamanya. Aku akan menjadi Bapanya,
dan ia akan menjadi AnakKu. Apabila ia melakukan kesalahan, maka Aku akan
menghukum dia dengan rotan yang dipakai orang dan dengan pukulan yang diberikan
anak-anak manusia. Tetapi kasih setiaKu tidak akan hilang daripadanya, seperti
yang kuhilangkan kepada Saul, yang telah kujauhkan dari hadapanmu. Keluarga dan
kerajaanmu akan kokoh untuk selama-lamanya di hadapanku, takhtamu akan kokoh
untuk selama-lamany.” (II Sam. 7:12-16).
Pada pelajaran kita yang terdahulu, kita berharap
bahwa “keturunan” itu adalah Yesus. Penjelasannya sebagai Anak Allah (II Sam.
7:14) membenarkan hal ini, begitu juga dengan referensi-referensi yang lain di
dalam Alkitab;
-
“Aku adalah…keturunan Daud” (Why. 22:16)
-
“(Yesus) menurut daging diperanakkan dari keturunan Daud” (Rm. 1:3)
-
“Dan dari keturunannyalah (Daud), sesuai dengan yang telah dijanjikanNya, Allah
telah membangkitkan juru selamat bagi orang Israel, yaitu Yesus” (Kis. 13:23)
-
Malaikat berkata kepada Maria sehubungan dengan anaknya, Yesus,”Tuhan Allah
akan mengaruniakan kepadanya takhta Daud, bapa leluhurnya…dan kerajaannya tidak
akan berkesudahan” (Luk. 1:32,33). Hal ini menggenapi janji tentang keturunan
Daud di II Samuel 7:13, kepada Yesus.
Dengan mengidentifikasikan keturunan itu sebagai
Yesus, maka sejumlah perincian akan menjadi lebih jelas;
Keturunan
“Maka Aku akan membangkitkan keturunanmu yang
kemudian, anak kandungmu…Aku akan menjadi bapanya, dan ia akan menjadi anakKu.
“Seorang anak kandungmu akan kududukkan di atas takhtamu” (II Sam. 7:12,14,;
Mzm. 132:10,11). Yesus, keturunan itu, menurut daging adalah keturunan Daud,
tetapi Allah adalah bapanya. Hal ini ditunjukkan melalui kelahirannya dari
seorang perawan seperti yang dijelaskan dalam Perjanjian Baru. Ibu yesus adalah
Maria, keturunan Daud (Luk. 1:32). Tapi, dia tidak memiliki ayah jasmani. Allah
melakukan mujizat di dalam rahim Maria melalui Roh Kudus, dengan tujuan agar ia
mengandung Yesus. Tentang hal ini, malaikat itu mengatakan, ”Roh kudus akan
turun atasmu dan kuasa Allah yang maha tinggi akan menaungi engkau; sebab itu
anak yang akan kau lahirkan itu akan disebut kudus, anak Allah” (Luk. 1:35).
Hanya dengan melalui ”kelahiran dari seorang perawan” janji kepada Daud dapat
digenapi sepenuhnya.
2. Rumah
“Dialah yang akan mendirikan rumah bagi namaKu” (II
Sam. 7:13), hal ini menunjukkan bahwa Yesus akan membangun suatu bait bagi
Allah, baik dalam arti harfiah maupun rohani . “Rumah” Allah adalah tempat
dimana Ia bersedia untuk menempatinya, Yesaya 66:1,2 mengatakan pada kita bahwa
Dia akan datang untuk tinggal di dalam hati orang-orang yang taat kepada
firmanNya. Karena itu Yesus membangun suatu bait rohani bagi Allah untuk
ditempati, yang terbuat dari orang-orang Kristen sebagai bahan bangunannya (I
Ptr. 2:5), akhirnya dapat dipahami.
3. Takhta
“Aku akan mengokohkan takhta kerajaannya (Kristus)
untuk selama-lamanya” (II Sam. 7:13,16 bandingkan Yes. 9:6,7). Karena itu,
Kerajaan Kristus didasari oleh Kerajaan Israel milik Daud. Hal ini mengartikan
bahwa Kerajaan Allah yang akan datang merupakan Kerajaan Israel yang dibangun
kembali, untuk lebih jauh tentang hal ini, lihat pelajaran 5.3. Untuk
menggenapi janji ini, Kristus harus memimpin di atas ”takhta” Daud, atau tempat
untuk menjalankan pemerintahannya. Dalam arti harfiahnya adalah Yerusalem. Hal
ini menjadi bukti bahwa Kerajaan Allah akan didirikan di bumi untuk menggenapi
janji-janji ini.
4. Kerajaan
“Keluarga dan kerajaanmu akan kokoh untuk
selama-lamanya di hadapanKu” (II Sam. 7:16), hal ini memberikan kesan bahwa
Daud adalah saksi atas pengokohan Kerajaan Kristus yang abadi. Dan secara tidak
langsung menjanjikan bahwa ia akan dibangkitkan pada kedatangan Kristus,
sehingga ia dapat melihat dengan matanya sendiri Kerajaan itu didirikan di bumi
ini dibawah pimpinan Yesus dari Yerusalem.
Hal-hal yang dijanjikan kepada Daud ini tentunya
sangat penting untuk dipahami. Daud dengan gembira mengatakan, ”suatu
perjanjian kekal...sebab segala keselamatanku dan segala kesukaanku bukankah
Dia yang menumbuhkannya?” (II Sam. 23:5). Hal ini menyangkut keselamatan kita
juga, karenanya kita juga dapat bergembira atas hal itu. Demikianlah tujuan
dari doktrin-doktrin yang sangat penting ini. Sebaliknya, yang terjadi pada
kekristenan pada saat ini adalah suatu tragedi yang memprihatinkan, karena
doktrin-doktrin yang diajarkan bertentangan dengan kebenaran.;
-
Jika secara fisik Yesus ”telah hadir sebelumnya”, yaitu keberadaannya sebagai
individu sebelum ia dilahirkan, maka janji-janji tentang Yesus yang akan
menjadi keturunan Daud hanyalah omong kosong.
-
Jika Kerajaan Allah akan didirikan di surga, maka Yesus tidak akan membangun
kembali Kerajaan Israel milik Daud, dan ia tidak akan memerintah diatas
”takhta” Daud. Hal-hal ini betul-betul akan terjadi di bumi, karena itu tempat
pembangunannya kembali haruslah di tempat yang sama.
Digenapi melalui Salomo?
Anak kandung Daud, Salomo, menggenapi beberapa dari
perjanjian yang diberikan kepada Daud; Ia membangun Bait bagi Allah (I Raj.
10:5-8), Kerajaannya makmur, bangsa-bangsa dari segala penjuru memberikan
persembahan sebagai upeti untuk menghormati Salomo (I Raj. 10) dan bait yang
dibangunnya membawa berkat-berkat rohani. Oleh karena itu pemerintahan Salomo
merupakan gambaran kedepan dari penggenapan yang jauh lebih besar lagi akan
janji-janji kepada Daud, yang akan digenapi di dalam Kerajaan Kristus.
Beberap orang mengklaim bahwa janji-janji kepada
Daud telah digenapi seluruhnya oleh Salomo. Hal ini bertentangan dengan;
-
Bukti-bukti yang banyak dari Perjanjian Baru, yang menunjukkan bahwa
”keturunan” itu adalah Kristus.
-
Janji-janji yang diberikan Allah kepada Daud ada hubungannya dengan janji yang
diberikan kepada Abraham (I Taw. 17:27=Kej. 22:17,18).
-
Kerajaan dari ”keturunan” itu akan bertakhta untuk selama-lamanya, hal ini
tidak terjadi pada Kerajaan Salomo.
-
Daud mengetahui bahwa janji-janji tersebut menyangkut tentang kehidupan abadi,
yang tidak ditujukan kepada keluarga dekatnya pada saat itu: ”Bukankah seperti
itu keluargaku di hadapan Allah? Sebab Ia menegakkan bagiku suatu perjanjian
kekal” (II Sam. 23:5).
-
Keturunan Daud adalah Mesias, Juru Selamat yang menebus dosa (Yes. 9:6,7;
22:22; Yer. 33:5,6,15; Yoh. 7:42). Tetapi Salomo belakangan berbalik menjauhi
Allah (I Raj. 11:1-13; Neh. 13:26) dengan mengawini orang-orang yang tidak
termasuk dalam kelompok bangsa Israel.
4.1 Alam Manusia
Sebagian besar manusia cenderung untuk menghabiskan
waktu luangnya dengan bermeditasi tentang kematian, atau tentang alam mereka
sendiri, dimana kematian menjadi penyebab utamanya. Hal ini disebabkan
kurangnya pengalaman, yang kemudian menuntun kepada kurangnya wawasan, yang
menyebabkan banyak orang tersesat di dalam hidupnya karena mengambil keputusan
berdasarkan ketetapan-ketetapan menurut keinginan daging mereka sendiri. Ada
suatu penolakan, walaupun selalu ditutup-tutupi, untuk mengemukakan fakta bahwa
kehidupan sangat singkat dan semuanya akan segera menuju kepada kematian.
“Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan
lalu lenyap.” “Sebab kita pasti mati, kita seperti air yang tercurah ke bumi,
yang tidak terkumpulkan.” “Seperti rumput yang bertumbuh, di waktu pagi (masa
muda kita) berkembang dan bertumbuh, di waktu petang lisut dan layu.” (Yoh. 4:14;
II Sam. 14:14; Mzm. 90:5,6). Musa, seorang yang bijaksana, memahami hal ini,
dan memohon kepada Allah: ”Ajarilah kami menghitung hari-hari kami sedemikian,
hingga kami beroleh hati yang bijaksana” (Mzm. 90:12). Oleh karena itu, agar
kita tangkas dalam menjalani hidup ini, kita harus berusaha memperoleh sejumlah
hikmat yang benar sebagai prioritas yang utama.
Pendapat manusia tentang kematian sebagai akhir
dari segala sesuatu berbeda-beda.. Beberapa kebudayaan berusaha untuk membuat
kematian dan penguburan sebagai bagian dari hidup, untuk mempelajari rasa
kehilangan dan akhir dari segala sesuatu. Sebagian besar dari mereka yang
mengatasnamakan “Kristen”, telah membawa ke dalam pengajaran, gagasan tentang
“jiwa yang abadi” atau suatu elemen dari keabadian yang setelah melalui
kematian pergi ke suatu tempat untuk diberi upah atau dihukum. Kematian menjadi
masalah yang paling pokok dan tragedi di dalam sejarah hidup manusia. Sangat
diharapkan agar manusia cukup terlatih dalam mempelajari pengaruh terhadap mental
seseorang akibat dari sejumlah besar teori yang salah, yang timbul sehubungan
dengan kematian dan alam manusia. Seperti biasanya, hal-hal ini harus diuji
dengan Alkitab, dengan tujuan untuk mendapatkan jawaban yang benar sehubungan
dengan topik yang cukup vital ini. Harus selalu diingat bahwa kebohongan
pertama yang dicatat Alkitab dilakukan oleh ular di Taman Eden. Bertentangan
dengan pernyataan Allah yang sangat jelas, bahwa manusia ”pasti mati” jika ia
berbuat dosa (Kej. 2:17), ular itu mengatakan, ”Sekali-kali kamu tidak akan
mati” (Kej. 3:4). Hal ini merupakan usaha untuk meniadakan suatu akhir dan
kematian yang pasti terjadi, dan hal ini juga menjadi karakteristik dari semua
agama palsu. Telah dibuktikan, bahwa satu doktrin yang salah selalu diikuti
oleh yang lain, yang lain, dan yang lain. Sebaliknya, hanya sebagian kecil
kebenaran yang diikuti oleh yang lain, seperti yang ditunjukkan di 1 Korintus
15:13-17. Disini Paulus membandingkan kebenaran yang satu dengan yang lain.
Untuk memahami alam kita yang sebenarnya, kita
harus mengingat apa yang Alkitab katakan tentang penciptaan manusia. Dicatat
dengan bahasa yang jelas, yang dapat diartikan secara harfiah sehingga kita
tidak ragu-ragu untuk mengetahui dengan tepat siapakah kita? (lihat
pertentangan 18 sehubungan dengan penerjemahan yang benar dari Kejadian).
”Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah...karena dari situlah
(tanah) engkau (adam) diambil: sebab engkau debu dan engkau akan kembali
menjadi debu.” (Kej. 2:7; 3:19). Disini sama sekali tidak ada petunjuk bahwa
manusia itu mewarisi keabadian, dan tidak ada bagian dari dirinya yang akan
hidup setelah kematian.
Alkitab menegaskan fakta bahwa manusia itu pada
intinya terbuat dari debu: ”kamilah tanah liat” (Yes. 64:8); ”manusia pertama
berasal dari debu tanah” dan bersifat jasmaniah (I Kor. 15:47); manusia
”dasarnya dalam debu” (Ayub 4:19); ”dan kembalilah manusia kepada debu” (Ayub
34:14,15). Abraham mengakui bahwa dirinya ”debu dan abu” (Kej. 18:27). Segera
setelah pembangkangan terhadap perintah Allah terjadi di Taman Eden, Allah
”menghalau manusia itu”; supaya ”jangan sampai ia mengulurkan tangannya dan
mengambil pula dari buah pohon kehidupan itu dan memakannya, sehingga ia hidup
untuk selama-lamanya” (Kej. 3:24,22). Hal ini tidak perlu dilkakukan jika
manusia memiliki unsur-unsur keanadian yang secara alami telah terdapat dalam
dirinya.
Keabadian yang bersyarat
Firman yang terus-menerus diulangi dalam Injil
adalah, bahwa manusia dapat menemukan jalan untuk memperoleh kehidupan abadi
melalui pekerjaan Kristus. Inilah satu-satunya jenis keabadian yang dijelaskan
dalam Alkitab. Dari sini, timbullah suatu gagasan tentang penderitaan abadi
karena melakukan hal-hal yang salah, yang sama sekali tidak didukung oleh
Alkitab. Satu-satunya cara untuk memperoleh keabadian adalah dengan mematuhi
perintah-perintah Allah, dan bagi mereka yang taat akan hidup abadi dalam
keadaan yang sempurna, sebagai upah bagi orang-orang yang benar. Ayat-ayat
berikut ini cukup untuk menjelaskan, bahwa keabadian adalah suatu hal yang
bersyarat, dan bukan sesuatu yang kita miliki secara alami;
-
”Kristus, yang oleh Injil telah mematahkan kuasa maut dan mendatangkan hidup
yang tidak dapat binasa” (II Tim. 1:10; I Yoh. 1:2)
-
”Sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darahNya,
kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu. Barangsiapa makan dagingku dan
minum darahku, Ia mempunyai hidup yang kekal dan aku akan membangkitkan dia
pada akhir zaman” untuk memberikannya ”kehidupan abadi” (Yoh. 6:53,54). Di
dalam Yohanes pasal 6, Kristus menjelaskan bahwa dia adalah ”roti hidup” dan
hanya yang percaya kepadanya yang akan memperoleh keabadian (Yoh.
6:47,50,51,57,58)
-
”Allah telah mengaruniakan hidup yang kekal kepada kita, dan hidup itu ada di
dalam AnakNya” (I Yoh. 5:11). Tidak ada harapan untuk mendapatkan keabadian
bagi mereka yang tidak ”di dalam Kristus.” Hanya melalui Kristus keabadian akan
diberikan, karena Dia adalah ”Pemimpin kepada hidup (abadi)” (Kis. 3:15), ”Ia
menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepadanya”
(Ibr. 5:9). Oleh karena itu keabadian bagi manusia berasal dari pekerjaan
Kristus.
-
Orang-orang percaya yang benar yang mencari keabadian akan dikaruniai kehidupan
abadi yang tidak dimiliki oleh mereka secara alami (Rm. 2:7; 6:23; Yoh. 10:28).
Tubuh kita yang berkematian ”harus mengenakan yang tidak dapat binasa” pada
saat kedatangan Kristus (I Kor. 15:53), karena itu keabadian adalah sesuatu
yang dijanjikan, bukan sesuatu yang sudah dimiliki (I Yoh. 2:25).
-
Hanya Allah satu-satunya yang memiliki keabadian (I Tim. 6:16).
4.2 Jiwa
Melalui penjelasan sebelumnya, seharusnya sudah
dapat dipahami bahwa manusia tidak memiliki “jiwa yang abadi” atau unsur-unsur
keabadian yang terdapat dalam dirinya secara alami. Sekarang kami akan berusaha
untuk menjernihkan masalah seputar kata “jiwa.”
Didalam Alkitab, kata Ibrani dan Yunani yang
diterjemahkan sebagai “jiwa” (“nefes” dan “psykhe”) juga diterjemahkan sebagai:
Tubuh
Nafas
Ciptaan
Hati
Pikiran
Orang
Diri sendiri
Oleh karena itu kata “jiwa” menunjuk kepada orang,
tubuh, atau diri sendiri. Isyarat darurat yang terkenal, “Save Our Souls”
(SOS), dengan jelas sekali mengartikan “Selamatkan kami dari kematian!” Kata
jiwa diartikan sebagai kami, atau segala sesuatu yang menyangkut seorang
manusia. Karena itu dapat dimengerti jika banyak terjemahan Alkitab modern
(misalnya NIV) yang jarang menggunakan kata “jiwa” untuk menerjemahkan kata
itu, tapi kata yang digunakan adalah “manusia” atau “makhluk hidup.”
Binatang-binatang yang diciptakan Allah, disebut: “makhluk yang hidup…segala
jenis makhuk hidup yang bergerak” (Kej. 1:20,21). Pada ayat ini, kata Ibrani
yang dterjemahkan sebagai “makhluk hidup” adalah “nefes”, yang juga
diterjemahkan sebagai “jiwa”; sebagai contoh; Kejadian 2:7;”…demikianlah
manusia itu menjadi makhluk yang hidup.” Jadi, manusia disebut sebagai makhluk
hidup, sama seperti binatang. Perbedaan antara manusia dan binatang adalah;
secara rohani manusia lebih unggul daripada binatang, diciptakan menurut rupa
secara fisik dari Allah (Kej. 1:26, lihat pelajaran 1.2), kepada manusia
diberitakan Injil, yang melaluinya harapan akan hidup abadi terbuka bagi mereka
(II Tim. 1:10). Dalam hal pokok, sehubungan dengan hidup dan mati, tidak ada
perbedaan antara manusia dengan binatang;
“Karena nasib manusia adalah sama dengan nasib
binatang, nasib yang sama menimpa mereka (sekali lagi ditegaskan); sebagaimana
yang satu mati, demikian juga yang lain…dan manusia tak mempunyai kelebihan
atas binatang…Kedua-duanya terjadi dari debu dan kedua-duanya (manusia dan
binatang) menuju satu tempat (kuburan); kedua-duanya terjadi dari debu dan
kedua-duanya kembali kepada debu” (Pkh. 3:19,20). Penulis kitab Pengkhotbah yang
terilham berdoa kepada Allah agar membantu manusia menerima fakta yang sulit
untuk diterima ini, “bahwa mereka (manusia) hanyalah binatang” (Pkh. 3:18).
Oleh karena itu sangat diharapkan agar banyak orang menerima fakta yang sulit
diterima ini; tentu saja hal ini memalukan, untuk menyadari bahwa secara
alamiah kita hanyalah binatang; menggunakan naluri yang sama untuk bertahan
hidup dan berkembang biak. Terjemahan Alkitab NIV, pada Pengkhotbah 3:18,
mengatakan Allah “menguji” manusia dengan memperlihatkan kepada mereka bahwa
mereka hanyalah binatang; yaitu bagi mereka yang dengan rendah hati menjadi
umatNya, akan menyadari kebenaran tentang hal ini. Bagi mereka yang tidak, akan
gagal dalam melalui “ujian” ini. Filsafat humanisme, yaitu gagasan bahwa keberadaan
manusia sangat penting dan, nilainya jauh lebih unggul daripada makhluk lain;
telah menyebar ke seluruh dunia selama periode abad-20. Kita harus sedapat
mungkin membersihkan pikiran kita dari pengaruh humanisme. Firman yang cukup
jelas di Mazmur 39:6 dapat membantu; “setiap manusia hanyalah kesia-siaan!”
“Manusia tidak berkuasa untuk menentukan jalannya” (Yer. 10:23).
Satu dari hal-hal yang paling mendasar yang kita
ketahui adalah bahwa seluruh tubuh manusia, termasuk semua “makhluk hidup”
pasti akan mati. Karena itu “jiwa” juga akan mati; hal ini dengan tepat
menentang hal-hal yang bersifat abadi. Tidak mengherankan bahwa sekitar 1/3
dari Alktiab menggunakan kata “jiwa” sehubungan dengan kematian dan pembinasaan
atas jiwa. Faktanya, kata ”jiwa” yang digunakan pada ayat-ayat berikut ini
menunjukkan bahwa hal itu bukanlah sesuatu yang tidak dapat binasa dan abadi;
-
”Orang (jiwa) yang berbuat dosa, itu yang harus mati” (Yer. 18:4)
-
Allah dapat membinasakan jiwa (Mat. 10:28). Referensi lain tentang jiwa yang
dapat dibinasakan terdapat di Yeh. 22:27, Ams. 6:32, Im. 23:30
-
Semua ”jiwa” yang berada di Hazor dibunuh dengan pedang (Yos. 11:11
bandingkan Yos. 10:30-39)
-
”...matilah segala yang bernyawa (berjiwa)” (Why. 16:3 bandingkan Mzm. 78:50)
-
Dalam Hukum Musa seringkali diperintahkan kepada setiap ”jiwa” yang tidak
menaati hukum, haruslah dihukum mati (Ams. 18:7; 22:25; Ayub 7:15)
-
”orang-orang yang tidak dapat menyambung hidup”(Mzm. 22:29)
-
Kristus ”telah menyerahkan nyawanya (jiwanya) ke dalam maut” sebagai korban
penebus salah (Yes. 53:10,12)
Kata ”jiwa” menunjuk kepada manusia atau tubuh
daripada mengarah kepada suatu hal yang bersifat abadi di dalam diri kita.
Sebagian besar dari ayat-ayat yang didalamnya terdapat kata tersebut,
menunjukkan hal ini. Beberapa contoh yang jelas sekali adalah;
-
”darah orang-orang” (Yer. 2:34)
-
”Apabila seseorang berbuat dosa, yakni jika ia mendengar seorang
mengutuki...tetapi ia tidak mau memberi keterangan...atau bila sesorang kena
kepada sesuatu yang najis...atau apabila seseorang (jiwa) bersumpah teledor
dengan bibirnya” (Im. 5:1-4)
-
”hai jiwaku...hai segenap batinku...Pujilah Tuhan, hai jiwaku...Dia yang
memuaskan hasratmu dengan kebaikan” (Mzm. 103:1,2,5).
-
”siapa yang mau menyelamatkan nyawanya(jiwanya), ia akan kehilangan nyawanya
(jiwanya): tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya (jiwanya) karena Aku...ia
akan menyelamatkannya” (Mrk. 8:35).Ini adalah buktui yang cukup untuk menyatakan
bahwa kata jiwa tidak menunjuk kepada elemen spiritual di dalam diri manusia;
pada ayat ini, kata ”jiwa” (Yunani ”psykhe”) mengartikan kehidupan dari
seseorang, sebagaimana hal tersebut diterjemahkan.
-
Bilangan 21:4 menunjukkan bahwa suatu kelompok dapat disebut sebagai ”jiwa”,
karena itu ”jiwa” tidak menunjuk kepada suatu keabadian yang terdapat di dalam
diri kita.
4.3 Roh Manusia
Banyak orang yang bingung mengenai perbedaan antara
jiwa dan roh. Hal ini semakin menjengkelkan karena dalam beberapa bahasa dan
terjemahan Alkitab, penerjemahan kata dalam bahasa Inggris “soul” dan “spirit”
hanya diterjemahkan ke dalam satu kata. Kata “jiwa” secara umum menunjuk kepada
semua unsur dalam diri seseorang, dan kadang-kadang juga bisa menunjuk kepada
roh. Bagaimanapun juga, pada umumnya terdapat perbedaan antara “jiwa” dan “roh”
yang digunakan dalam Alkitab. Karena jiwa dan roh dapat dipisahkan (Ibr. 4:12).
Kata Ibrani dan Yunani untuk “roh” (ruakh” dan
“pneuma”) juga diterjemahkan sebagai;
Hidup
Roh
Pikiran
Angin
Nafas
Kita telah mempelajari tentang pengertian dari
“roh” pada pelajaran 2.1, Allah menggunakan rohNya untuk menciptakan seluruh
alam semesta, dan juga manusia. Oleh karena itu, Roh Allah yang terdapat di
dalam manusia adalah daya kehidupan yang berada dalam dirinya. “Tubuh tanparoh
adalah mati” (Yak. 2:26). “(Allah) menghembuskan nafas (roh) hidup ke dalam
hidungnya (adam); demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup” (Kej.
2:7). Ayub juga berbicara tentang “Roh Allah” yang “masih di dalam lubang
hidungku” (Ayub 27:3 bandingkan Yes. 2:22). Karena itu, roh kehidupan yang
terdapat dalam diri kita, diberikan pada waktu kita lahir, dan akan tetap ada
selama kita masih hidup. Ketika Roh Allah tidak lagi bekerja, maka segala
sesuatu akan berakhir, karena rohlah yang menghidupkan segala sesuatu. Jika
Allah “menarik kembali RohNya, dan mengembalikan nafasNya kepadaNya maka
binasalah bersama-sama segala yang hidup, dan kembalilah manusia kepada debu.
Jikalau engkau berakal budi, dengarkanlah ini” (Ayub 34:14-16). Pada kalimat
terakhir ditunjukkan bahwa manusia akan menemui kesulitan dalam memahami alam
mereka yang sebenarnya.
Ketika Allah menarik kembali RohNya pada waktu kita
mati, tidak hanya tubuh fisik kita yang mati, tapi seluruhnya juga akan mati.
Pengetahuan Daud tentang hal ini telah membimbingnya untuk percaya kepada Allah
daripada makhluk-makhluk ciptaan yang lemah seperti manusia. Mazmur 146:3-5
adalah alasan yang kuat untuk menangkis klaim dari humanisme; “Janganlah
percaya kepada para bangsawan, kepaa anak manusia yang tidak dapat memberikan
keselamatan. Apabila nyawanya (roh) melayang, ia kembali ke tanah (karena
dibuat dari debu); pada hari itu juga lenyaplah maksud-maksudnya. Berbahagialah
orang yang mempunyai Allah Yakub sebagai penolong.”
Pada waktu kematian, “debu (akan) kembali menjadi
tanah seperti semula dan roh kembali kepada Allah yang mengaruniakannya” (Pkh.
12:7). Di awal pelajaran ini kamu telah menjelaskan bahwa Allah hadir dimana
saja melalui rohNya. Dalam konteks “Allah adalah roh” (Yoh. 4:24). Pada waktu
kita mati, kita “menghirup nafas terakhir”, yaitu dalam arti bahwa Roh Allah
yang berada dalam diri kita akan meninggalkan kita. Roh itu akan terhisap ke
dalam Roh Allah yang berada di sekeliling kita. Jadi, pada waktu kematian “roh
akan kembali kepada Allah.”
Karena Roh Allah yang menopang seluruh ciptaan,
maka proses kematian yang terjadi pada manusia juga terjadi pada binatang.
Manusia dan binatang mempunyai roh, atau daya kehidupan yang sama di dalam diri
mereka. “Karena nasib manusia adalah sama dengan nasib binatang, nasib yang
sama menimpa mereka; sebagaimana yang satu mati, demikian juga yang lain.
Kedua-duanya mempunyai nafas (roh) yang sama, dan manusia tak mempunyai
kelebihan atas binatang, karena segala sesuatu adalah sia-sia” (Pkh. 3:19).
Penulis buku Pengkhotbah mengatakan, bahwa tak terlihat perbedaan tentang
kemana roh manusia dan binatang pergi (Pkh. 3:21). Penjelasan tentang manusia
dan binatang memiliki roh yang sama dan juga mengalami proses kematian yang
sama, muncul untuk menyinggung kembali penjelasan tentang manusia dan binatang,
yang keduanya memiliki roh kehidupan dari Allah (Kej. 2:7; 7:15), dibinasakan
dengan kematian yang sama melalui air bah: “Lalu mati binasalah segala yang
hidup, yang bergerak di bumi, burung-burung, ternak dan binatang liar dan
segala binatang merayap, yang berkeriapan di bumi serta semua manusia. Matilah
segala yang ada nafas (roh) hidup dalam hidungnya…semuanya itu dihapuskan dari
atas bumi” (Kej. 7:21-23). Catat, sebagai tambahan, Mazmur 90:5 menyamakan
kematian dengan air bah. Catatan pada Kejadian 7 dengan jelas menunjukkan bahwa
dalam pengertian umum, manusia termasuk dalam kategori “segala yang hidup, yang
bergerak di bumi.” Dikatakan seperti ini karena manusia mempunyai roh kehidupan
yang sama seperti makhluk ciptaan yang lain.
4.4 Kematian adalah Ketidaksadaran
Dari apa yang telah kita pelajari sejauh ini
tentang jiwa dan roh, seharusnya sudah dimengerti bahwa ketika seseorang mati,
ia betul-betul tidak sadarkan diri sepenuhnya. Semua perbuatan mereka yang akan
dipertanggungjawabkan kepada Allah, diingat oleh Nya (Mal. 3:16, Why. 20:12,
Ibr. 6:10). Alkitab sama sekali tidak mencatat bahwa dalam kematian kita masih
sadarkan diri di dalam bentuk yang lain. Sulit sekali untuk membantah
pernyataan-pernyataan yang jelas berikut ini sehubungan dengan hal tersebut;
-
“Apabila nyawanya (manusia) melayang, ia kembali ke tanah; pada hari (kejadian)
itu juga lenyaplah maksud-maksudnya” (Mzm. 146:4)
-
“orang yang mati tak tahu apa-apa…Baik kasih mereka, maupun kebencian dan
kecemburuan mereka sudah lama hilang” (Pkh. 9:5,6). Tidak ada “hikmat dalam
dunia orang mati” (Pkh. 9:10). Karena tidak ada pemikiran maka tidak ada
kesadaran.
-
Ayub mengatakan bahwa jika dia mati sama halnya dengan dia “tidak pernah ada”
(Ayub 10:18,19), Dia memandang kematian sebagai keadaan tidak sadarkan diri,
dan sama sekali tidak tahu menahu tentang segala sesuatu, seperti yang terjadi
sebelum seseorang dilahirkan.
-
Sebagaimana manusia mati, demikian juga binatang (Pkh. 3:18); baik di dalam
tulisan kudus maupun ilmu pengetahuan tidak akan menyatakan hal ini jika
manusia secara sadar dapat dengan selamat melalui kematian dan berada di suatu
tempat.
-
Allah tahu, “bahwa kita ini debu. Adapun manusia, hari-harinya seperti rumput,
seperti bunga di padang demikianlah ia berbunga…maka tidak ada lagi ia, dan
tempatnya tidak mengenalnya lagi” (Mazmur 103:14-16)
Kematian adalah ketidaksadaran sepenuhnya, bahkan
orang-orang yang benar juga mengalaminya. Hal ini dapat diketahui melalui
permohonan yang diulang-ulang oleh hamba-hamba Allah agar memperpanjang hidup
mereka. Karena mereka tahu jika mereka mati, mereka tidak dapat lagi memuji dan
memuliakan Allah, dengan melihat bahwa kematian adalah ketidaksadaran. Hezekiah
(Yes. 38:17-19) dan Daud (Mzm. 6:4,5; 30:9; 39:13; 115:17) adalah contoh yang
tepat tentang hal ini. Kematian seringkali diartikan seperti keadaan sedang
tidur atau beristirahat, bagi orang-orang yang benar maupun orang yang jahat
(Ayub 3:11,13,17; Dan. 12:13).
Sekarang kita mempunyai bukti yang cukup untuk
menyatakan bahwa pendapat tentang orang-orang yang benar yang hidup bahagia di
surga sebagai upahnya setelah kematian mereka, sama sekali tidak terdapat di
dalam Alkitab. Dengan memahami doktrin yang benar tentang kematian dan alam
manusia, akan membuat kita memahami arti dari kedamaian yang sesungguhnya.
Setelah mengalami berbagai masalah dan penderitaan dalam hidupnya, kuburan
adalah satu-satunya tempat dimana manusia akan dilupakan. Bagi mereka yang
tidak mengetahui syarat-syarat yang ditetapkan Allah, mereka akan terus
dilupakan sampai selama-lamanya. Lembaran hidup lama yang tragis dan tidak
diharapkan terjadi, tidak akan muncul kembali; segala harapan yang sia-sia dan
segala ketakutan yang berada di dalam pikiran tidak akan menganacam lagi, atau
tidak akan diingat lagi.
Sewaktu mempelajari Alkitab kita dapat menemukan
suatu sistem kebenaran; tapi sayang sekali ada orang yang salah memahami hal
tersebut. Karena kurang memperhatikan Alkitab. Usaha mereka yang menyedihkan
ini akhirnya membuat mereka salah memahami arti dari kematian, sehingga
terciptalah gagasan “jiwa abadi” sekali gagasan ini diterima, yaitu tentang
elemen-elemen keabadian yang terdapat dalam diri manusia, maka hal ini akan
menjadi alasan penting untuk mengetahui kemana perginya roh tersebut setelah
kematian. Dan terciptalah pemikiran bahwa pada waktu kematian perbedaan nasib
antara orang-orang yang benar dan yang jahat. Untuk mendukung hal ini, maka
tersiptalah gagasan bahwa ada tempat baigi “jiwa-jiwa abadi yang baik” untuk
dituju, yaitu surga; dan tempat bagi “jiwa-jiwa abadi yang jahat”, yaitu
neraka. Sejak permulaan kami telah menunjukkan bahwa “jiwa yang abadi” adalah
mustahil ajaran dari Alkitab. Mengenai gagasan lain yang salah, yang cukup
populer dalam bertukar pikiran, akan kita analisa sekarang;
Pada waktu kematian kita akan ditempatkan di tempat
tertentu, dalam bentuk “jiwa yang abadi” sebagai upah atas segala perbuatan
kita.
Pada waktu kematian ada pemisahan antara
orang-orang yang baik dan yang jahat.
Upah bagi orang-orang yang benar adalah pergi ke
surga
Jika setiap orang mempunyai ”jiwa yang abadi”, maka
setiap orang dapat pergi menuju ke surga maupun neraka.
”jiwa-jiwa” yang jahat akan pergi ke tempat
penghukuman yang disebut neraka.
Tujuan kami menganalisa hal-hal ini adalah bukan
suatu hal yang negatif ; karena dengan memperhatikan hal-hal ini lebih detail
lagi, kami yakin dapat menjelaskan berbagai elemen kebenaran dari Alkitab yang
merupakan bagian-bagian penting dari gambaran yang benar sehubungan dengan alam
manusia.
4.5 Kebangkitan
Alkitab menegaskan, bahwa upah bagi orang-orang
yang benar akan diberikan pada saat kebangkitan, yaitu pada saat kedatangan Kristus
(I Tes. 4:16). Kebangkitan dari kematian untuk mempertanggungjawabkan perbuatan
yang telah dilakukan (lihat pelajaran 4.8) adalah hal yang pertama yang akan
dilakukan Kristus, kemudian disusul dengan penghakiman. Jika ”jiwa” telah pergi
ke surga pada waktu kematian, maka kebangkitan tidak diperlukan lagi. Paulus
mengatakan, bahwa jika tidak ada kebangkitan, maka semua usaha untuk menjadi
taat kepada Allah adalah sia-sia (I Kor. 15:32). Tentunya dia tidak akan
berpikir seperti ini jika dia percaya bahwa jiwanya akan pergi ke surga pada
waktu ia mati, sebagai upah bagi dirinya. Pengertian yang di dapat dari hal ini
adalah, ia percaya bahwa kebangkitan daging adalah satu-satunya cara untuk
memberikan upah. Kristus membesarkan hati kita sehubungan dengan penantian upah
bagi orang-orang yang hidup dengan benar, yang akan diberikan pada saat
”kebangkitan” (Luk. 14:14).
Kembali kepada intinya, bahwa Alkitab tidak
mengajarkan keberadaan dalam bentuk apapun yang terpisah dari tubuh, hal ini
juga dapat diterapkan kepada Allah, Kristus, para malaikat dan manusia. Pada
saat kedatangannya kembali, Kristus ”akan mengubah tubuh kita yang hina ini,
sehingga serupa dengan tubuhnya yang mulia” ( Flp. 3:20,21). Sebagaimana bentuk
tubuhnya yang nyata pada saat ini, yang digerakkan murni oleh roh, lebih dari
sekedar darah, maka kita juga akan mendapat upah yang serupa. Pada waktu
penghakiman, kita akan menerima upah sesuai dengan yang dilakukan tubuh kita (
II Kor. 5:10). Bagi mereka yang hidup menuruti keinginan dagingnya, akan
ditinggalkan bersama tubuh mereka yang tidak abadi yang kemudian akan kembali
menjadi debu, bagi mereka yang sewaktu hidup berusaha untuk mengatasi keinginan
dagingnya dengan Roh, ”maka ia akan menuai hidup yang kekal dari Roh itu” (Gal.
6:8) dalam bentuk tubuh yang dipenuhi Roh.
Ada bukti lebih lajut mengenai upah bagi
orang-orang benar yang akan diberikan kepada mereka dalam keadaan yang memiliki
tubuh yang nyata. Sekali hal ini diterima, maka inti dari kebangkitan akan
jelas. Tubuh kita yang sekarang ini dengan jelas menuju kepada kematian; jika
kita dapat merasakan kehidupan abadi dan keabadian dalam bentuk tubuh yang
nyata, maka dapat dipahami bahwa kematian adalah keadaan tidak sadarkan diri
hingga pada saat tubuh kita diciptakan kembali dan kemudian ditempatkan pada
alam yang sama dengan Allah.
Seluruh I Korintus 15 berbicara dengan terperinci
mengenai kebangkitan, untuk itu harus dibaca dengan hati-hati. I Kor. 15:35-44
menjelaskan, sebagaimana benih ditabur kemudian muncul dari tanah sebagai suatu
tubuh yang diberikan oleh Allah, demikian halnya dengan orang mati yang
dibangkitkan untuk diupahi dengan suatu tubuh. Seperti halnya Kristus yang
bangkit dari kubur dan tubuhnya yang berkematian diubah menjadi tubuh yang
tidak dapat binasa, maka begitu jugalah upah yang akan diberikan kepada
orang-orang percaya yang benar (Flp. 3:21). Melalui pembaptisan, diri kita
disatukan dengan kematian dan kebangkitan Kristus; m; dengan menunjukkan iman
kita bahwa kita juga akan mendapat upah seperti yang Dia terima pada waktu
kebangkitannya (Rm. 6:3-5). Dengan turut merasakan penderitaannya pada saat
ini, maka kita juga akan mendapat upah yang sama dengannnya: ”Kami senantiasa
membawa (saat ini) kematian Yesus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus
juga menjadi nyata di dalam tubuh kami” (II Kor. 4:10). ”Maka Ia, yang telah
membangkitkan Kristus Yesus dari antara orang mati, akan menghidupkan juga
tubuhmu yang fana itu oleh RohNya” (Rm. 8:11). Oleh karena itu, dengan harapan
ini, kita menantikan ”pembebasan tubuh kita” (Rm. 8:23), dengan cara
mengabadikan tubuh kita.
Pengharapan akan tubuh yang nyata sebagai upah
telah dipahami oleh umat Allah sejak awal. Abraham dijanjikan, bahwa ia secara
pribadi akan mewarisi tanah Kanaan selamanya, sebagaimana ia telah menjalani
negeri itu menurut panjang dan lebarnya (Kej. 13:17, lihat pelajaran 3.4).
Imannya akan janji tersebut membuat ia percaya, bahwa tubuhnya pada suatu saat,
di masa yang akan datang, akan dibangkitkan, dan benar-benar akan terjadi.
Ayub dengan jelas menyatakan pengertiannya,
walaupun tubuhnya dimakan cacing di dalam kubur, dia akan menerima upahnya
dalam bentuk tubuh yang nyata: ”Penebus hidupku...akan bangkit di atas debu:
juga sesudah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa dagingkupun aku akan melihat Allah,
yang aku sendiri akan melihat memihak kepadaku; mataku sendiri
menyaksikannya dan bukan orang lain. Hati sanubariku merana karena rindu” (Ayub
19:25-27). Harapan Yesaya juga mirip: ”mayat-mayat mereka akan bangkit pula”
(Yes. 26:19).
Kata-kata serupa juga dapat ditemukan pada catatan
tentang kematian Lazarus, sahabat Yesus. Daripada menghibur saudara
perempuannya dengan mengatakan bahwa jiwanya telah pergi ke surga, sebaliknya
yesus mengatakan bahwa pada hari kebangkitan saudaranya akan bangkit.
Marta, saudara perempuan Lazarus, dengan cepat merespon kata-kata Yesus, dan
dari penjelasannya dapat dipahami bahwa orang-orang Kristen yang mula-mula
memahami: ”kata Marta kepadanya, ” Aku tahu bahwa ia akan bangkit pada waktu
orang-orang bangkit pada akhir zaman” (Yoh. 11:23,24). Seperti halnya Ayub,
Marta tidak memahami kematian sebagai pintu gerbang menuju kebahagiaan di
surga. Tapi sebaliknya, lebih memandang ke depan akan kebangkitan yang akan
terjadi ”pada hari terakhir.” Allah berjanji: ”Ia akan kubangkitkan pada akhir
zaman...setiap orang yang telah mendengar dan menerima pengajaran dari Bapa,
datang kepadaku” (Yoh. 6:44,45).
4.6 Penghakiman
Alkitab mengajarkan bahwa penghakiman adalah salah
satu dari prinsip-prinsip dasar dari iman yang benar, yang harus dipahami
dengan jelas sebelum pembaptisan (Kis. 24:25, Ibr. 6:2). Tulisan Kudus sering
kali berbicara tentang “Hari Penghakiman” (misalnya II Ptr. 2:9; 3:7; I Yoh.
4:17, Yud. 6), waktu dimana mereka yang telah diberikan pengetahuan
tentang Allah akan menerima upah mereka. Mereka semua harus “menghadap takhta
pengadilan Allah” (Rm. 14:10). Kita “harus menghadap takhta pengadilan Allah”
(II Kor. 5:10) untuk menerima upah demi kehidupan kita, dalam bentuk tubuh yang
nyata.
Dalam penglihatan Daniel, sehubungan dengan
kedatangan Kristus yang kedua, termasuk yang dilihat adalah kursi penghakiman
yang terdiri dari takhta-takhta. (Dan. 7:9-14). Perumpamaan dapat membantu
menjelaskan penglihatan tersebut. Hal ini sama dengan talenta-talenta yang
dipertanggungjawabkan pada saat kedatangan sang Tuan, ketika ia meminta
pertanggungjawaban dari hamba-hambanya, sehubungan dengan cara mereka
menggunakan harta tersebut sewaktu ditinggal olehnya. (Mat. 25:14-29).
Perumpamaan tentang nelayan disamakan dengan panggilan Injil untuk menjala
ikan, mengumpulkan segala jenis orang, lalu duduklah mereka (bandingkan dengan
kursi penghakiman) dan memisahkan ikan yang baik dari yang tidak baik (Mat.
13:47-49). Tafsiran dari hal ini sangat jelas; “Pada akhir dunia, malaikat-malaikat
akan datang untuk memisahkan orang-orang yang jahat dari yang baik.”
Dari apa yang telah kita pelajari sejauh ini, wajar
jika kita menyimpulkan bahwa setelah kedatangan Kristus dan kebangkitan,
orang-orang yang telah terpanggil kepada Injil akan dikumpulkan di suatu tempat
pada waktu yang spesifik, pada waktu mereka akan bertemu dengan Kristus. Sebuah
catatan akan diberikan kepada mereka, kemudian Ia akan menentukan apakah mereka
layak atau tidak untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah. Hanya melalui peristiwa
inilah, orang-orang yang benar akan menerima upah mereka. Semua ini dijelaskan
melalui perumpamaan tentang domba dan kambing: “Apabila Anak Manusia datang
dalam kemulianNya, dan semua malaikat bersama-sama dengan Dia, maka Ia akan
bersemayam di atas takhta kemuliaanNya (takhta Dau di Yerusalem Luk. 1:32,33).
Lalu semua bangsa akan dikumpulkan di hadapanNya dan Ia akan memisahkan mereka
seorang demi seorang, sama seperti gembala memisahkan domba dari kambing, dan
Ia akan menempatkan domba-domba di sebelah kananNya: Mari, hai kamu yang
diberkati oleh BapaKu, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak
dunia dijadikan” (Mat. 25:31-34).
Mewarisi Kerajaan Allah sama dengan menerima
janji-janji kepada Abraham sehubungan dengan hal tersebut, ini adalah upah bagi
orang-orang yang benar. Dan hanya akan diberikan setelah penghakiman pada saat
kedatangan Kristus. Oleh karena itu tidak masuk akal untuk menerima upah yang
dijanjikan itu sebelum kedatangan Kristus. Maka kami menyimpulkan bahwa sejak
waktu kematian hingga kebangkitan, orang-orang percaya yang telah mati, tidak
terus hidup di dalam bentuk yang lain, karena mustahil untuk hidup tanpa
memiliki tubuh yang nyata.
Ketika Kristus datang kembali, upah akan diberikan
(bukan sebelum kedatangannya), adalah prinsip Alkitab yang sering diulangi;
-
“apabila Gembala Agung (Yesus) datang, kamu akan menerima mahkota
kemuliaan yang tidak dapat layu” (I Ptr. 5:4 bandingkan 1:13).
-
“Kristus Yesus yang akan menghakimi orang yang hidup dan yang mati…mahkota
kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada
hariNya” (II Tim. 4:1,8).
-
Pada waktu Mesias datang, “banyak dari antara orang-orang yang telah tidur di
dalam debu tanah (bandingkan Kej.3:19), akan bangun, sebagian untuk mendapat
hidup yang kekal, sebagian untuk menjalani kehinaan dan kengerian yang kekal”
(Dan 12:2)
-
Pada waktu Kristus datang untuk menghakimi, “orang-orang mati…akan hidup…dan
mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit untuk hidup yang kekal,
tetapi mereka yang telah berbuat jahat akan bangkit untuk dihukum” (Yoh.
5:25-29).
-
“Aku (Yesus) datang segera dan Aku membawa upahKu untuk membalaskan kepada
setiap orang menurut perbuatannya” (Why. 22:12). Kita tidak pergi ke surga
untuk menerima upah tersebut, Tetapi Kristus akan membawanya dari surga untuk
kita.
Yesus akan membawa upah yang telah disiapkan bagi
kita di surga, tapi akan diberikan kepada kita di bumi, pada waktu
kedatangannya yang kedua; yaitu tanah “warisan” yang telah dijanjikan kepada
Abraham, “yang tersimpan di surga bagi kamu, yang dipelihara dalam kekuatan
Allah karena imanmu sementara kamu menantikan keselamatan yang telah tersedia
untuk dinyatakan pada zaman akhir” sewaktu Kristus datang (I Ptr. 1:4,5)
Dengan memahami hal ini, akan menyanggupi kita
untuk menafsirkan dengan benar dari sejumlah ayat yang disalah mengerti di
Yohanes 14:2,3: “Aku (Yesus) pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Dan
apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan
datang kembali dan membawa kamu ke tempatku, supaya tempat dimana Aku berada,
kamupun berada.” Yesus mengatakan bahwa Ia akan datang kembali ke suatu tempat
untuk memberikan upah kepada kita (Why. 22:12), dan seperti yang kita pelajari,
hal ini terjadi pada saat Dia menghakimi dari takhtaNya. Dia akan memerintah
dari takhta Daud di Yerusalem untuk “selamanya” (Luk. 1:32,33). Dia akan hidup
abadi di bumi, dimana Kerajaan Allah juga akan didirikan. Oleh karena itu,
janjinya akan “membawa kamu ke tempatku” dapat diartikan sebagai pernyataan
diterimanya pertanggungjawaban kita di hadapanNya pada waktu penghakiman. Dalam
bahasa Yunani, kalimat “membawa kamu ke tempatku” juga terdapat di Matius 1:20,
sehubungan dengan Yusuf “mengambil” Maria, sebagai istrinya. Karena itu,
kalimat ini tidak mengartikan kegiatan yang dilakukan oleh Yesus secara fisik.
Karena upah hanya akan diberikan pada waktu
penghakiman, ketika Kristus datang, maka, baik orang yang benar maupun yang
jahat akan menuju ke tempat yang sama, sewaktu mereka mati, yaitu kuburan.
Tidak ada perbedaan diantara mereka dalam hal kematian. Ayat-ayat berikut
membuktikan hal ini;
-
Yonatan adalah orang yang benar, tapi Saul orang yang jahat, walaupun begitu
”dalam hidup dan matinya (mereka) tidak terpisah” (II Sam. 1:23).
-
Saul, Yonatan, dan Samuel, semuanya menuju ke tempat yang sama pada waktu
mereka mati (I Sam. 28:19).
-
Abraham orang yang benar, tetapi ”dikumpulkan kepada kaum leluhurnya” sewaktu
ia mati, padahal leluhurnya adalah penyembah berhala (Kej. 25:8, Yos. 24:2).
-
Orang yang bijaksana dan orang yang bodoh mengalami nasib yang sama pada waktu
kematian (Pkh. 2:15,16).
Semua hal ini dengan jelas bertolak belakang dengan
apa yang diklaim oleh orang-orang ”Kristen.” Ajaran mereka tentang orang benar
yang akan pergi ke surga pada waktu mereka mati, membuat kebangkitan dan
penghakiman menjadi tak berarti sama sekali. Padahal, seperti yang telah kita
pelajari, dua periatiwa ini merupakan peristiwa penting sehubungan dengan
rencana keselamatan Allah yang terdapat di dalam Injil. Ada juga yang
menyatakan suatu gagasan bahwa jika satu orang benar mati, dan ia pergi ke
surga sebagai upahnya, maka pada hari, bulan, tahun berikutnya, hal yang serupa
juga dialami oleh orang-orang benar yang lain. Hal ini sangat bertolak belakang
dengan Alkitab, yang mengajarkan bahwa semua orang yang benar akan diberi upah
secara bersamaan, dan pada waktu yang sama;
-
Pada penghakiman, domba-domba akan dipisahkan dari kambing-kambing satu demi
satu. Ketika penghakiman berakhir, Kristus akan mengatakan kepada seluruh domba
untuk berkumpul di sebelah kananNya, ”Mari, hai kamu yang diberkati oleh BapaKu
terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan” (Mat.
25:34). Karena itu seluruh domba akan mewarisi Kerajaan Allah pada waktu yang
sama (bandingkan I Kor. 15:52).
-
Pada waktu ”penuaian” ketika Kristus datang untuk menghakimi, mereka yang telah
bekerja demi Injil akan ”sama-sama bersukacita” (Yoh. 4:35,36 bandingkan Mat.
13:39).
-
Wahyu 11:18 mendefinisikan ”saat bagi orang-orang mati untuk dihakimi” sebagai
waktu dimana Allah akan ”memberi upah kepada hamba-hambaNya...orang-orang
kudus...mereka yang takut akan namaNya”, semuanya akan diberi upah
bersama-sama.
-
Di dalam Ibrani 11 terdapat daftar dari sejumlah orang-orang yang benar di
Perjanjian Lama. Ayat 13 mengatakan, ”Dalam iman mereka semua ini telah mati
sebagai orang-orang yang tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu”, yang
diberikan kepada Abraham, yaitu tentang Keselamatan melalui Kerajaan Allah
(Ibr. 11:8-12). Karena itu sewaktu mereka mati, mereka tidak pergi ke surga
seorang demi seorang untuk menerima upah. Alasan untuk hal ini terdapat pada
ayat 39, 40; ”Mereka semua tidak menerima apa yang dijanjikan itu sebab Allah
telah menyediakan sesuatu yang lebih baik bagi kita; tanpa kita mereka tidak
dapat sampai kepada kesempurnaan.” Ditundanya waktu untuk memberikan upah
kepada mereka disebabkan oleh rencana Allah yang akan ”menyempurnakan” semua
orang beriman bersama-sama, dan pada peristiwa yang sama, yaitu pada
penghakiman ketika Kristus datang kembali.
4.8 Pertanggunganjawab kepada Allah
Jika manusia telah memiliki “jiwa yang abadi”
secara alami, maka ia telah dipaksa untuk memiliki takdir abadi di suatu
tempat, baik itu tempat untuk diberi upah atau untuk dihukum. Secara tidak
langsung hal ini menyatakan, bahwa setiap orang tidak perlu bertanggung jawab
kepada Allah. Kontras sekali dengan apa yang telah kami tunjukkan mengenai
ajaran Alkitab tentang alam manusia yang sama dengan alam binatang, yang tidak
abadi. Walaupun begitu, beberapa orang telah ditawarkan prospek untuk hidup
abadi dalam Kerajaan Allah. Seharusnya sudah jelas, bahwa tidak setiap orang
yang pernah hidup akan dibangkitkan; seperti halnya binatang, manusia hidup,
lalu mati, dan membusuk di dalam debu. Tetapi, karena adanya penghakiman untujk
menghukum dan memberi upah kehidupan abadi, kita harus menambahkan bahwa ada
kategori tertentu diantara manusia yang akan dibangkitkan untuk dihakimi dan
diupahi.
Seseorang akan dibangkitkan atau tidak, tergantung
pada apakah mereka bertanggung jawab pada penghakiman atau tidak. Dasar dari
penghakiman kita adalah bagaimana kita menggunakan pengetahuan kita tentang
firman Allah. Kristus menjelaskan: “Barangsiapa menolak Aku, dan tidak menerima
perkataanKu, ia sudah ada hakimnya, yaitu firman yang telah Kukatakan, itulah
yang akan menjadi hakimnya pada akhir zaman” (Yoh. 12:48), bagi mereka yang
tidak mengetahui atau memahami firman dari Kristus, dan tidak mempunyai
kesempatan untuk menerima atau menolak Dia, tidak akan dicatat dalam
penghakiman. “Sebab semua orang yang berdosa tanpa hukum taurat akan binasa
tanpa hukum taurat; dan semua orang yang berdosa dibawah hukum taurat akan
dihakimi oleh hukum taurat” (Rm.2:12). Maka, mereka yang tidak mengetahui
persyaratan dari Allah, akan lenyap seperti binatang; dan bagi mereka yang
mengetahui kemudian melanggar hukum Allah, akan dihakimi, karena itu, mereka
akan dibangkitkan untuk dihadapkan pada penghakiman.
Dalam pandangan Allah “dosa itu tidak
diperhitungkan jika tidak ada hukum taurat”; “sebab dosa ialah pelanggaran
hukum Allah”; “oleh hukum taurat orang mengenal dosa” (Rm. 5:13; I Yoh. 3:4;
Rm. 3:20). Tanpa mengetahui hukum Allah seperti yang telah dinyatakan dalam
firmanNya, “dosa tidak diperhitungkan” kepada seseorang. Oleh karena itu mereka
tidak akan dihakimi atau dibangkitkan. Mereka yang tidak mengetahui firman
Allah akan tetap mati seperti halnya binatang dan tumbuhan, karena mereka
berada dalam posisi yang sama. “Manusia, yang…tidak mempunyai pengertian, boleh
disamakan dengan hewan yang dibinasakan” (Mzm. 49:20), “Seperti domba mereka
meluncur ke dalam dunia orang mati” (Mzm. 49:14).
Dengan memiliki pengetahuan tentang cara-cara yang
digunakan Allah, membuat kita bertanggungjawab kepadaNya atas segala perbuatan
kita, dan harus dibangkitkan untuk dihadapkan pada penghakiman. Karena itu,
harus dipahami bahwa tidak hanya orang-orang benar atau mereka yang dibaptis
yang akan dibangkitkan. Tetapi juga prang-orang yang bertanggungjawab atas
pengetahuan mereka tentang Dia. Ini adalah tema tulisan kudus yang sering kali
diulangi;
-
Yohanes 15:22 menunjukkan bahwa pengetahuan tentang firman membawa
pertanggungjawaban; “sekiranya Aku (Yesus) tidak datang dan tidak berkata-kata
kepada mereka, mereka tentu tidak berdosa. Tetapi sekarang mereka tidak
mempunyai dalih bagi dosa mereka!” Roma 1:20-21 juga mengatakan hal yang sama,
bahwa dengan mengenal Allah akan membuat orang “tidak dapat berdalih.”
-
“Dan setiap orang, yang telah mendengar dan menerima pengajaran dari Bapa…; Ia
akan kubangkitkan pada akhir zaman” (Yoh. 6:45,44)
-
Hanya kepada mereka yang betul-betul tidak mengetahui jalan-jalanNya, Allah “pura-pura
tidak melihat.” Bagi mereka yang mengetahui jalan-jalanNya, Dia memperhatikan
dan menanti jawaban (Kis. 17:30).
-
“Adapun hamba yang tahu akan kehendak tuannya, tetapi yang tidak mengadakan
persiapan atau tidak melakukan apa yang dikehendaki tuannya, ia akan menerima
banyak pukulan. Tetapi barangsiapa tidak tahu akan kehendak tuannya dan
melakukan apa yang harus mendatangkan pukulan, ia akan menerima sedikit
pukulan. Setiap orang yang kepadanya banyak diberi, daripadanya akan banyak dituntut,
dan kepada siapa yang banyak dipercayakan, daripadanya akan lebih banyak lagi
dituntut” (Luk. 12:47,48). Tetapi, seberapa banyak yang akan dituntut Allah?
-
“jadi jika seseorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak
melakukannya, ia berdosa” (Yak. 4:17)
-
Pertanggungjawaban yang khusus dari bangsa Israel kepada Allah, terdapat pada
catatan dari wahyuNya kepada mereka sehubungan dengan diriNya (Amos 3:2).
-
Maka, berdasarkan doktrin pertanggungjawaban ini, “karena itu, bagi mereka
adalah lebih baik jika mereka tidak pernah mengenal Jalan Kebenaran daripada
mengenalnya, tetapi kemudian berbalik dari perintah kudus yang disampaikan
kepada mereka” (II Ptr. 2:21). Ayat-ayat yang lain, yang berkaitan dengan hal
ini adalah; Yoh. 9:41; 3:19, I Tim. 1:13, Hos. 4:14, Ul. 1:39.
Karena itu, memiliki pengetahuan tentang Allah akan
membuat kita bertanggungjawab dihadapan kursi penghakiman; dan bagi mereka yang
tidak memiliki pengetahuan ini, tidak akan dibangkitkan, karena mereka tidak
perlu dihakimi. Dan karena kekurangan pengetahuan mereka akan hal ini, mereka
akan “dibinasakan sama seperti binatang” (Mzm. 49:21). Ada contoh yang
mengindikasikan bahwa tidak semua orang yang pernah hidup akan dibangkitkan;
-
Orang-orang dari babilon purbakala “tidak akan bangkit” setelah kematian
mereka, karena mereka tidak mengenal Allah yang benar (Yer. 51:39, Yes. 43:17).
-
Yesaya membesarkan hatinya sendiri dengan mengatakan; “Ya Tuhan, Allah kami,
tuan-tuan lain pernah berkuasa atas kami (filistin dan babilon)…Mereka sudah
mati, tidak akan hidup pula, sudah menjadi arwah, tidak akan bangkit pula;…dan
meniadakan segala ingatan kepada mereka” (Yes. 26:13,14). Catat, ada tiga kali
penegasan bahwa mereka tidak akan dibangkitkan; “tidak akan hidup…tidak akan
bangkit…meniadakan segala ingatan kepada mereka.” Sebaliknya, Israel memiliki
prospek untuk dibangkitkan di dalam catatan mengenai mereka tentang Allah yang
benar: “orang-orangMu (Israel) yang mati akan hidup pula, mayat-mayat mereka
akan bangkit pula” (Yes. 26:19).
-
Berbicara tentang orang-orang Israel milik Allah, kita diberitahu bahwa pada
waktu kedatangan Kristus, “Banyak dari antara orang-orang yang telah tidur di
dalam debu tanah, akan bangun, sebagian untuk mendapat hidup yang kekal,
sebagian untuk mengalami kehinaan dan kengerian yang kekal” (Dan. 12:2).
Walaupun “banyak”, tapi tidak semua orang-orang Yahudi akan dibangkitkan,
sehubungan dengan tanggung jawab mereka kepada Allah, sebagai umat pilihanNya.
Mereka yang betul-betul tidak mengenal Allah mereka yang benar “akan jatuh” dan
tidak akan bangkit lagi, karena mereka tidak sanggup untuk menemukan “firman
Tuhan” (Amos 8:12,14).
Kita telah mempelajari tentang:
1. Pengetahuan
tentang firman Allah akan membawa pertanggungjawaban kepadaNya
2. Hanya mereka
yang dimintai tanggung jawab yang akan dibangkitkan dan dihakimi
3. Mereka yang
tidak mengetahui Allah yang benar akan tetap mati seperti halnya binatang.
Pengertian dari kesimpulan-kesimpulan ini akan
membuat harga diri manusia jatuh, hal tersebut adalah murni berasal dari
Alkitab, yang kami yakini; ribuan orang yang hidup pada saat ini dan masa lalu,
yang tidak mengetahui kebenaran Injil, yang mentalnya terganggu, yang tidak
dapat memahami ajaran-ajaran Alkitab, bayi dan kanak-kanak yang telah mati
sebelum mencapai usia yang cukup untuk menghargai Injil; mereka semua termasuk
dalam kelompok orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan yang benar tentang
Allah dan tidak bertanggung jawab kepada Allah. Hal ini mengartikan bahwa
mereka tidak akan dibangkitkan, tanpa memperhatikan status rohani dari orang
tua mereka. Hal ini sungguh bertentangan dengan inti dari humanisme dan segenap
perasaan dan keinginan daging kita. Sikap rendah hati yang benar terhadap firman
Allah, yang merupakan kebenaran, ditambah dengan pendapat yang tepat mengenai
alam kita, akan membimbing kita untuk menerima kebenaran ini. Pemeriksaan yang
jujur terhadap fakta-fakta sejarah manusia, bahkan tanpa petunjuk dari tulisan
kudus, juga akan menuntun kita pada kesimpulan bahwa tidak ada harapan di masa
yang akan datang bagi kelompok orang-orang yang telah disebutkan diatas.
Mengenai hal ini, tidak sepantasnya kita bertanya
kepada Allah, karena; “Siapakah kamu, hai manusia, maka kamu membantah Allah?”
(Rm. 9:20). Kita boleh mengakui bahwa kita tidak memahami hal ini, tapi jangan
pernah menuduh bahwa Allah tidak adil atau jahat. Pendapat bahwa Allah dapat
menjadi jahat pada saat tertentu atau salah dalam memutuskan harapan yang
menakutkan bagi manusia; sebagai Allah yang maha perkasa, Bapa, dan Sang
Pencipta yang memperlakukan ciptaanNya dengan cara yang tidak adil dan tidak
beralasan; dapat diklarifikasi dengan membaca catatan mengenai Raja Daud yang
kehilangan anaknya. II Samuel 12:15-24 menceritakan tentang bagaimana Daud
berdoa dengan sungguh-sungguh agar mungkin anaknya dapat hidup kembali,
akhirnya, dengan realistis dia dapat menerima kematian anaknya: “Selagi anak
itu hidup, aku berpuasa dan menangis, karena pikirku: siapa tahu Tuhan mengasihani
aku, sehingga anak itu tetap hidup. Tetapi sekarang ia sudah mati, mengapa aku
harus berpuasa? Dapatkah aku mengembalikannya lagi? Aku yang akan pergi
kepadanya, tetapi ia tidak akan kembali kepadaku.” Kemudian Daud menghampiri
istrinya, dan mempunyai anak yang lain segera setelah peristiwa itu.
Akhirnya, harus diakui bahwa banyak orang yang
telah mengenal prinsip pertanggungjawaban kepada Allah, tidak ingin lagi
mempelajari pengetahuan yang lain tentang Dia karena harus
mempertanggungjawabkan pengetahuan tersebut kepada Allah pada penghakiman.
Tetapi dalam tingkat tertentu, orang-orang seperti mereka, yang
bertanggungjawab kepada Allah, dengan berdasarkan pengetahuan yang mereka
miliki tentang firman Allah, menyadari, bahwa Allah turut bekerja dalam
kehidupan mereka, dan juga menawarkan persahabatan yang nyata kepada mereka.
Harus selalu diingat, bahwa “Allah adalah kasih”, “Ia mengehendaki supaya
jangan ada yang binasa” dengan “mengaruniakan anakNya yang tunggal, supaya
setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang
kekal” (I Yoh. 4:8; II Ptr. 3:9; Yoh. 3:16). Sesungguhnya, Allah ingin kita
berada di dalam KerajaanNya.
Kehormatan dan hak istimewa seperti itu akan
mendatangakan pertanggungjawaban. Bahkan hal-hal ini tidak dirancang untuk
menjadi beban yang berat bagi kita; J\jika kita sungguh mengasihi Allah, kita
akan memahami bahwa keselamatan yang ditawarkan olehNya bukanlah suatu upah
yang otomatis diberikan karena telah mengerjakan sesuatu, tetapi adalah
kasihNya untuk melakukan apapun yang ia dapat lakukan demi anak-anakNya. Dengan
memberikan mereka kebahagiaan yang abadi atas penghargaan mereka terhadap
karakterNya yang menakjubkan.
Sebagaimana kita menghargai dan mendengarkan
panggilan Allah kepada kita melalui firmanNya, maka kita akan menyadari bahwa
selagi kita berjalan diantara kumpulan orang banyak, Allah memperhatikan kita
dengan perhatian khusus dan minat yang besar untuk menanti jawaban kita atas
kasihNya, daripada menanti kegagalan kita untuk bertindak sehubungan dengan
pertanggungjawaban kita kepadaNya. MataNya tidak pernah berpaling dari kita,
dan kita tidak tidak dapat melupakan atau membatalkan pengetahuan yang kita
miliki tentang Dia, dengan tujuan agar kita dapat menuruti keinginan daging
kita, dan tidak perlu bertanggungjawab kepadaNya. Sebaliknya, kita harus
bersukacita atas kedekatan kita dengan Dia, dan percaya pada ketulusan
kasihNya, yang pernah kita cari untuk mengenal Dia lebih jauh lagi daripada
sebelumnya. Kasih kita untuk mengetahui jalan-jalan dan kehendak Allah, membuat
kita dapat meniruNya dengan akurat, dan menyingkirkan ketakutan kita yang
secara alami atas ke-Maha SucianNya.
5.1 Penegasan Kerajaan
Pada pelajaran yang sebelumnya telah ditunjukkan
bahwa, adalah tujuan Allah untuk mengupahi umatNya yang beriman dengan
memberikan kehidupan abadi pada saat kedatangan Kristus. Pengulangan
janji-janji Allah sehubungan dengan hal ini tidak pernah dinyatakan secara
tidak langsung bahwa orang-orang beriman akan pergi ke surga. “Injil Kerajaan Allah”
(Mat. 4:23) telah diberitakan kepada Abraham melalui janji-janji Allah
sehubungan dengan kehidupan abadi di bumi (Gal. 3:8). Oleh karena itu
janji-janji tentang “Kerajaan Allah” akan digenapi setelah kedatangan Kristus.
Walaupun pada akhirnya Allah akan menjadi Raja atas seluruh ciptaanNya, saat
ini ia telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memerintah dunia dan
menentukan nasib mereka sendiri seperti yang mereka inginkan. Karena itu dunia
yang sekarang terdir idari “kerajaan manusia” (Dan. 4:17).
Pada saat kedatanganKristus, “Pemerintahan atas
dunia (akan) dipegang oleh Tuhan kita dan Dia yang diurapinya, dan Ia akan
memerintah sebagai Raja sampai selama-lamanya” (Why. 11:15). Karena seluruh
kehendak Allah akan dilaksanakan sepenuhnya di atas bumi, maka Yesus
memerintahkan kita untuk berdoa agar “jadilah kehendakMu di bumi seperti di
surga” (Mat. 6:10). Berdasarkan ayat ini, kita dapat mengetahui bahwa “Kerajaan
Allah” juga dapat disebut dengan “Kerajaan Surga” (Mat. 13:11 bandingkan Mrk.
4:11). Catat, bukan “Kerajaan di Surga.” Tetapi adalah Kerajaan Surga
yang akan didirikan di bumi pada saat kedatangan Kristus. Sebagaiman kehendak
Allah yang ditaati sepenuhnya oleh para malaikat di surga (Mzm. 103:19-21),
maka begitu juga dengan Kerajaan Allah di masa depan ketika bumi hanya dihuni
oleh orang-orang yang benar, yang “sama seperti malaikat” (Luk. 20:36).
Oleh karena itu, dengan memasuki Kerajaan Allah
pada saat kedatangan Kristus, adalah akhir dari perjuangan hidup kita sebagai
orang Kristen dalam kehidupan ini (Mat. 25:34, Kis. 14:22). Untuk itu penting
sekali memahami dengan benar tentang hal tersebut. Pemberitaan Filipus tentang
Kristus didefinisikan sebagai pemberitaan “tentang Kerajaan Allah dan tentang
nama Yesus Kristus” (Kis. 8:5,12). Ayat demi ayat mengingatkan kita bagaimana
“Kerajaan Allah” menjadi tema utama dari pemberitaan Paulus (Kis. 19:8; 20:5;
28:23,31). Oleh karena itu sangat penting untuk memahami dengan baik doktrin
Kerajaan Allah, mengingat hal ini adalah inti dari pemberitaan Injil, “bahwa
untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah kita harus mengalami sengsara” (Kis.
14:22); Itulah cahaya diakhir perjalanan hidup kita, yang memotivasi kita untuk
memberikan korban-korban di dalam hidup kita sebagai orang Kristen yang benar.
Raja Babilon, Nebukadnezar ingin mengetahui tentang
masa depan dari dunia ini (lihat Daniel 2). Ia bermimpi melihat patung yang
besar, yang terbuat dari logam-logam yang berbeda. Daniel menafsirkan mimpinya,
kepala patung yang terbuat dari emas adalah Raja Babilon (Dan. 2:38). Setelah
itu akan datang kerajaan besar yang menaklukan daerah-daerah di sekeliling
Israel, “tetapi sebagaimana jari-jari kaki itu sebagian dari besi dan sebagian
lagi dari tanah liat, demikianlah kerajaan itu akan menjadi keras sebagian dan
rapuh sebagian” (Dan. 2:42).
Keseimbangan kekuasaan di dunia ini terbagi-bagi
diantara bangsa-bangsa, ada yang kuat dan ada yang lemah. Kemudian Daniel
melihat batu kecil yang menghantam kaki dari patung itu. Setelah
menghancurkannya, batu itu tumbuh menjadi gunung yang besar, yang memenuhi
seluruh bumi (Dan. 2:34,35). Batu itu melambangkan Yesus (Mat. 21:42; Kis.
4:11; Ef. 2:20; I Ptr. 2:4-8), dan “gunung” itu melambangkan Kerajaan Allah
yang abadi, yang akan didirikan pada saat kedatangannya yang kedua. Nubuat ini
membuktikan bahwa Kerajaan Allah akan didirikan di bumi, dan bukan di surga.
Bahwa Kerajaan itu akan didirikan pada saat
kedatangan Kristus, adalah tema pada bagian-bagian lain dari Alkitab. Paulus
mengatakan bahwa Yesus menghakimi orang yang hidup dan yang mati “demi
pernyataannya dan demi kerajaannya” (2 Tim. 4:1). Mikha 4:11 mengutip ayat di
buku Daniel sehubungan dengan Kerajaan Allah, yang disamakan dengan gunung yang
besar; “Akan terjadi pada hari-hari yang terakhir: gunung rumah Tuhan akan berdiri
tegak mengatasi gunung-gunung dan menjulang tinggi di atas bukit-bukit.”
Selanjutnya dijelaskan bahwa kerajaan itu akan didirikan di bumi (Mi. 4:1-4).
Karena itu Allah akan menyerahkan takhta Daud kepada Yesus di Yerusalem: “Ia
akan menjadi Raja…sampai selama-lamanya dan Kerajaannya tidak akan
berkesudahan” (Luk. 1:32,33). Hal ini ditetapkan sebagai poin tersendiri
sebelum Yesus mulai memerintah dari takhta Daud; yang akan terjadi pada saat
kedatangan Kristus, berdasarkan; “Kerajaannya tidak akan berkesudahan”
dikaitkan dengan Daniel 2:44; “Allah semesta langit akan mendirikan suatu
kerajaan yang tidak akan binasa sampai selama-lamanya, dan kekuasaan tidak akan
beralih lagi kepada bangsa lain.” Wahyu 11:15 juga menggunakan bahasa yang sama
sewaktu menjelaskan tentang kedatangan Kristus yang kedua, “Pemerintahan atas
dunia dipegang oleh Tuhan kita dan Dia yang diurapiNya, dan Ia akan memerintah
sebagai Raja sampai selama-lamanya.” Sekali lagi ditegaskan, bahwa ada waktu
yang spesifik bagi Kerajaan Kristus untuk memulai pemerintahannya di bumi,
yaitu pada saat kedatangannya.
5.2 Kerajaan itu belum didirikan pada saat ini
Ada suatu kepercayaan yang diakui secara luas,
bahwa Kerajaan Allah telah sepenuhnya didirikan pada saat ini, melalui
sekumpulan orang-orang percaya yang benar sebagai suatu ”Gereja.” Sebagaimana
tujuan Allah untuk ”menyelamatkan” orang-orang percaya yang benar dan
memberikan mereka tempat di Kerajaan, maka tidak dapat dibantah jika pada saat
ini kita belum berada di dalam Kerajaan itu, dengan mengingat bahwa Kristus
belum datang kembali untuk mendirikannya.
Seharusnya sudah jelas, dari apa yang telah kita
pelajari sejauh ini, bahwa ”daging dan darah tidak mendapat bagian dalam
Kerajaan Allah (I Kor. 15:50). Kita adalah ”ahli waris dari Kerajaan yang telah
dijanjikanNya kepada barangsiapa yang mengasihi Dia” (Yak. 2:5), dengan
mengingat bahwa melalui pembaptisan, kita menjadi ahli waris dari janji-janji
kepada Abraham, yaitu dasar dari Injil Kerajaan. (Mat. 4:23; Gal. 3:8, 27-29).
Oleh karena itu, pada umumnya kita akan menjumpai janji-janji untuk mewarisi
Kerajaan pada saat Kristus datang, yaitu pada saat janji-janji kepada Abraham
akan digenapi (Mat. 25:34; I Kor. 6:9,10; 15:50; Gal. 5:21; Ef. 5:5). Seringnya
digunakan bahasa seperti ini untuk menjelaskan tentang warisan di masa depan,
menunjukkan bahwa Kerajaan tersebut bukanlah keberadaan dari sekumpulan
orang-orang percaya pada saat ini.
Yesus menjelaskan suatu perumpamaan untuk
mengoreksi mereka yang berpikir ”bahwa Kerajaan Allah akan segera kelihatan.
Maka Ia berkata; ”Ada seorang bangsawan berangkat ke sebuah negeri yang jauh
untuk dinobatkan menjadi Raja disitu dan setelah itu baru kembali.” Untuk
sementara waktu ia meninggalkan pelayan-pelayannya dengan tanggung jawab
masing-masing. ”ketika ia kembali, setelah ia dinobatkan menjadi Raja, ia
menyuruh memanggil hamba-hambanya,” kemudian menghakimi mereka (Luk. 19:11-27).
Bangsawan itu melambangkan Kristus yang pergi ke
”negeri yang jauh” di langit untuk menerima Kerajaan, dan kembali pada saat
penghakiman, yaitu pada saat kedatangannya yang kedua. Oleh karena itu mustahil
bagi ”hamba-hambanya” untuk menerima Kerajaan itu pada saat ini, yaitu pada
masa ketidakhadiran tuan mereka.
Berikut ini adalah bukti-bukti sehubungan dengan
hal tersebut;
-
”Kerajaanku bukan dari dunia (zaman) ini” dengan jelas dinyatakan oleh Yesus
(Yoh. 18:36). Pada waktu yang sama ia juga mengatakan, ”Aku adalah Raja” (Yoh.
18:37), yang menunjukkan bahwa kepemimpinan Kristus pada saat ini tidak
mengartikan bahwa Kerajaannya telah didirikan. Bahkan orang-orang beriman pada
abad pertama dijelaskan sedang MENANTIKAN ”Kerajaan Allah” (Mrk. 15:43).
-
Kristus mengatakan kepada murid-muridnya bahwa ia tidak akan minum lagi hasil
dari pokok anggur ”sampai pada hari Aku meminumnya, yaitu yang baru,
bersama-sama dengan kamu dalam Kerajaan BapaKu” (Mat. 26:29). Ayat ini dengan
jelas menyatakan secara tidak langsung bahwa Kerajaan itu akan didirikan pada
masa depan, sebagaimana yang dipahami oleh orang-orang pada saat itu sehubungan
dengan pemberitaan Kristus mengenai ”Injil Kerajaan Allah” (Luk. 8:1).
”Berbahagialah orang yang akan (pada masa depan) dijamu dalam Kerajaan Alah”
(Luk. 14:15).
-
Lukas 22:29, 30 melanjutkan tema ini: ”Aku menentukan hak-hak Kerajaan bagi
kamu...bahwa kamu akan makan dan minum semeja dengan Aku di dalam KerajaanKu.”
-
Yesus menjelaskan tanda-tanda yang akan menyertai kedatangannya, dan
menambahkan komentar, ”jika kamu melihat hal-hal itu terjadi ketahuilah, bahwa
Kerajaan Allah sudah dekat” (Luk. 21:31). Omong kosong ayat ini, jika Kerajaan
itu sudah ada sebelum kedatangannya yang kedua.
-
”Untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah kita harus mengalami banyak sengsara”
(Kis. 14:22) Tidak mengherankan jika setiap orang percaya yang menderita,
dengan sungguh-sungguh berdoa agar Kerajaan itu segera datang (Mat. 6:10)
-
Allah telah ”memanggil kamu ke dalam Kerajaan” (I Tes. 2:12); sebagai jawaban,
kita harus mencari jalan untuk masuk ke dalam Kerajaan itu melalui kehidupan
rohani kita pada saat ini (Mat. 6:33).
Apakah Kerajaan Allah ada di dalam diri anda?
Walaupun segala hal yang menyangkut tentang
Kerajaan ditegaskan, banyak orang-orang “Kristen” Ortodoks memilih untuk
mempercayai bahwa Kerajaan itu ada di dalam hati setiap orang yang percaya.
Keyakinan ini hanya didasari satu ayat, “Sebab sesungguhnya Kerajaan Allah ada
di antara kamu” (Luk. 17:21). Konteks ayat ini menunjukkan bahwa Yesus sedang
berbicara dengan orang-orang Farisi (ayat 20); oleh karena itu, kata “kamu”
menunjuk kepada mereka. Tentu saja mereka bukan orang Kristen, sehingga
Kerajaan Allah tidak akan ada di hati mereka.
Orang-orang Yahudi mengadakan pertunjukkan umum
yang besar, karena begitu bersemangat dalam mencari Mesias. Pada ayat tersebut,
“Kerajaan Allah” lebih menunjuk kepada gelar dari Mesias, dengan mengingat
bahwa Dialah yang akan menjadi Raja di dalam Kerajaan itu. Oleh karena itu,
ketika Yesus memasuki Yerusalem orang-orang berteriak, “Diberkatilah dia
(Mesias) yang datang dalam nama Tuhan, diberkatilah Kerajaan yang datang,
Kerajaan bapak kita Daud, hosana ditempat yang maha tinggi” (Mrk. 11:9,10).
Mesias dihubungkan dengan “Kerajaan.” Karena itu Yohanes pembaptis mengajarkan
bahwa “Kerajaan Surga sudah dekat, Sesungguhnya dialah yang dimaksudkan Nabi
Yesaya” (Mat. 3:2,3). Dalam pemahaman kami di Lukas 17:20-24, Yesus telah
menjawab pertanyaan orang-orang Farisi tentang “kedatangan Kerajaan Allah,”
dengan menjelaskan tentang kedatangan “Anak Manusia.”
Tujuan Yesus adalah untuk menyatakan bahwa
penantian orang Yahudi atas Mesias, dengan menantikannya sebagai orang yang
perkasa, adalah salah. Mereka tidak menyadari bahwa Mesias “Kerajaan Allah,”
yaitu Yesus, telah hadir diantara mereka dengan kerendahan hatinya. Karena itu
ia memperingatkan mereka; “Kerajaan Allah datang tanpa tanda-tanda
lahiriah...Sebab sesungguhnya Kerajaan Allah ada di antara kamu” (Luk.
17:20,21).
5.3 Kerajaan Allah di Masa Lalu
Kerajaan Allah adalah upah di masa depan bagi
orang-orang percaya. Hal itu tentunya menjadi motivasi bagi mereka untuk hidup
menurut teladan Kristus, yang meliputi penderitaan jangka pendek atau hal-hal
yang tidak menyenangkan. Oleh karena itu, diharapkan agar di dalam hari-hari
kehidupan mereka, takkan pernah berkurang keinginan untuk menghargai dan
memahami keajaiban di masa depan Kerajaan Allah, yang juga merupakan tujuan
akhir dari perjuangan rohani dan pernyataan sepenuhnya atas Allah yang mereka
kasihi seperti orang tua mereka sendiri.
Tulisan-tulisan kudus penuh dengan penjelasan
terperinci mengenai Kerajaan Allah, dan akan menghabiskan waktu seumur hidup
hanya untuk menemukan sebagian kecil darinya. Salah satu cara untuk dapat
memahami beberapa prinsip Alkitab mengenai Kerajaan di masa depan ini adalah
dengan mengakui bahwa Kerajaan Allah pernah berdiri di masa lalu, melalui
perwujudan bangsa Israel. Kerajaan ini akan didirikan lagi pada saat kedatangan
Kristus. Alkitab memberikan kita banyak informasi tentang bangsa Israel, dengan
tujuan agar kita dapat memahami dengan luas bagaimana Kerajaan Allah di masa
depan diorganisir.
Allah seringkali disebut sebagai “Raja Israel”
(Yes. 44:6 bandingkan Yes. 41:27; 43:15, Mzm. 48:2; 89:18; 149:2); karena
bangsa Israel adalah KerajaanNya. Mereka mulai menjadi Kerajaan Allah, pada
saat mereka memasuki Perjanjian dengan Allah di gunung Sinai, segera setelah
mereka dibebaskan dari Mesir, dengan melalui laut merah. Sebagai jawaban atas
kebersediaan mereka untuk menjaga Perjanjian itu, mereka dijadikan “Kerajaan
Imam dan Bangsa yang Kudus” (Kel. 19:5,6). Maka, “Pada waktu Israel keluar dari
Mesir…maka Yehuda menjadi tempat KudusNya, Israel wilayah kekuasaanNya” atau
KerajaanNya (Mzm. 114:1,2). Setelah memasuki Perjanjian ini, Israel mengadakan
perjalanan melewati padang gurun Sinai dan menetap di tanah perjanjian Kanaan.
Walaupun Allah adalah Raja mereka, tetapi mereka diperintah oleh “hakim-hakim”
(Gideon, Samson, dll.). Hakim-hakim ini bukanlah Raja, tetapi pemimpin-pemimpin
yang berada dibawah bimbingan Allah, yang memerintah hanya di beberapa daerah
di Israel, tidak seluruhnya. Mereka dipilih Allah untuk tujuan tertentu,
misalnya untuk menyerahkan Israel ke tangan musuh-musuh mereka, agar mereka
bertobat. Ketika bangsa Israel meminta kepada Gideon untuk menjadi Raja mereka,
ia menjawab; “Aku tidak akan memerintah kamu…Tuhan yang memerintah kamu.” (Hak.
8:23).
Hakim yang terakhir adalah Samuel. Pada masanya,
bangsa Israel meminta diberikan seorang Raja dari kalangan manusia, agar sama
seperti bangsa-bangsa disekitar mereka (I Sam. 8:5,6). Sepanjang sejarah, umat
Allah yang benar seringkali tergoda untuk merendahkan kedekatan hubungan mereka
dengan Allah, dan mengorbankannya hanya karena penampilan, agar kelihatan sama
dengan dunia di sekitar mereka. Allah mengeluh kepada Samuel; “Akulah yang
mereka tolak, supaya jangan Aku menjadi raja atas mereka” (I Sam. 8:7).
Walaupun begitu, Allah tetap memberikan mereka Raja, dimulai dengan Saul yang
jahat. Setelah dia Daud, dan raja-raja berikutnya berasal dari garis
keturunannya. Raja-raja yang memiliki pemahaman rohani yang baik menyadari
bahwa Israel tetap Kerajaan milik Allah, tetapi walaupun begitu mereka tetap
menolak kepemimpinanNya. Mereka juga menyadari kepemimpinan mereka atas Israel
atas kehendak Allah dan bukan atas kehendak mereka sendiri.
Dengan memahami prinsip ini, dapat membuat kita
memahami penjelasan dari Salomo, anak Daud, yang memerintah ”diatas takhtaNya
(Allah), sebagai Raja untuk Tuhan, Allahmu!” (II Taw. 9:8; I Taw. 28:5; 29:33).
Pemerintahan Salomo penuh dengan kedamaian, yang merupakan gambaran dari Kerajaan
Allah di masa depan. Inilah sebabnya mengapa ia disebut Raja yang memerintah
Israel dengan mengatasnamakan Allah, seperti Yesus yang juga duduk di takhta
Allah sebagai Raja Israel untuk Allah (Mat. 27:37,42; Yoh. 1:49; 12:13).
Perjanjian Lama mencatat banyak dari raja-raja yang
baik yang menikmati pemerintahannya, yang serupa dengan Kerajaan Kristus di
masa depan. Sebagaimana halnya Salomo membangun Bait Allah di Yerusalem,
demikian juga Kristus akan membangun Kerajaan di masa depan (lihat Yeh. 40-48).
Dan Seperti Hizkia dan Salomo yang menerima pemberian-pemberian dan upeti dari
bangsa-bangsa disekeliling mereka (I Raj. 10:1-4; II Raj. 20:12) dan melihat
tanah Israel diberkati dengan kesuburan yang menakjubkan dan kemakmuran (I Raj.
10:5-15, Yes. 37:30), hal yang sam juga akan terjadi pada Kerajaan Kristus,
tetapi dengan skala yang lebih besar.
Perkawinan
Walaupun Salomo memulai pemerintahannya dengan
baik, karena umurnya yang masih muda, ia membuat kesalahan dalam hal
perkawinan, yang membuat imannya semakin melemah seiring ia bertumbuh menjadi
dewasa. ”Raja salomo mencintai banyak perempuan asing...perempuan-perempuan
Moab, Amon, Edom, Sidon, Het, padahal tentang bangsa-bangsa itu Tuhan telah
berfirman kepada orang Israel: ”Janganlahkamu bergaul dengan mereka dan
merekapun janganlah bergaul dengan kamu, sebab sesungguhnya mereka akan
mencondongkan hatimu kepada allah-allah merela.” Hati Salomo telah terpaut
kepada mereka dengan cinta...istri-istrinya itu menarik hatinya daripada Tuhan.
Sebab pada waktu Salomo sudah tua, istri-istrinya itu mencondongkan hatinya
kepada allah-allah lain, sehingga ia tidak dengan sepenuh hati berpaut kepada
Tuhan, Allahnya...dan Salomo melakukan apa yang jahat di mata Tuhan, dan ia
tidak dengan sepenuh hati, mengikuti Tuhan...Sebab itu Tuhan menunjukkan
murkaNya kepada Salomo...Lalu berfirmanlah Tuhan kepada Salomo...Aku akan
menggoyahkan kerajaan itu daripadamu” (I Raj. 11:1-11).
Jatuhnya Salomo ke dalam kemurtadan memakan waktu
yang cukup lama. Hubungannya dengan wanita-wanita yang tidak ia ajarkan
pengetahuan tentang Allah Israel, membuat ia menjadi simpati kepada allah-allah
palsu mereka. Cintanya kepada istri-istrinya membuat ia tidak lagi memandang
penyembahan allah-allah ini sebagai perbuatan yang tidak wajar kepada Allah
yang benar. Dan seiring waktu berjalan, ia tidak lagi menyembah kepada Allah
Israel. ”ia tidak dengan sepenuh hati mengikuti Tuhan,” hati nuraninya tidak
lagi merasa terganggu terhadap penyembahan allah-allah palsu. Hatinya yang
tidak sepenuh hati dalam mengadakan perjanjian dengan Allah sama dengan
”melakukan apa yang jahat di mata Tuhan,” sebagai akibatnya, Allah yang benar
memutuskan hubungannya dengan Salomo. Bangsa Israel seringkali diberitahu Allah
agar jangan mengambil istri-istri dari bangsa-bangsa yang berada di sekeliling
mereka (Kel. 34:12-16; Yos. 23:12,13; Ul. 7:3).
Melalui pembaptisan di dalam Kristus kita menjadi
bangsa Israel rohani. Jika kita belum menikah, kita hanya boleh menikahi
orang-orang Israel rohani, “di dalam Yesus” (I Kor. 7:39), yaitu orang-orang
percaya yang dibaptis ”di dalam Kristus.” Jika kita sudah menikah sebelum
dibaptis, kita tidak boleh berpisah dengan pasangan kita; karena hubungan
perkawinan kita dikuduskan oleh iman kita (I Kor. 7:12-14). Dengan sadar
memilih untuk mengawini mereka yang tidak mengetahui kehendak dari Allah yang
benar, dalam jangka panjang akan menuntun kita kepada kemurtadan. Jelas sekali
bahwa Salomo telah gagal dalam menghargai kebenaran dari peringatan Allah akan
istri-istrinya, “sebab sesungguhnya mereka akan mencondongkan hatimu” (I Raj.
11:2; Kel. 34:16). Hanya dengan pengendalian diri pada tingkat yang luar biasa,
dan pertobatan yang sungguh-sungguh, dapat membuat kita menerima perintah ini.
Dari permulaan kami telah menujukkan, bahwa Kristen
Ortodoks tidak menghargai ajaran orang-orang Yahudi yang merupakan dasar dari
pengharapan orang Kristen; mereka tidak mengenal Allah Israel yang benar.
Perkawinan campur dengan orang-orang seperti itu pada umumnya akan membuat kita
secara berangsur-angsur menolak kebenaran dari doktrin-doktrin yang mulia, yang
merupakan dasar dari keselamatan kita. Untuk alasan inilah Ishak dan Yakub
menempuh jarak yang sangat jauh untuk menikahi wanita yang memiliki iman yang
benar, bahkan Ishak harus menunggu sampai ia berusia 40 tahun untuk mendapatkan
wanita yang tepat (Kej. 24:3,4; 28:1). Kesedihan Ezra dan Nehemia saat
mendengar ada beberapa dari orang-orang Yahudi yang mengawini orang-orang yang
bukan Yahudi menunjukkan betapa pentingnya masalah ini (Ezra 9:12; Neh.
10:29,30).
Kami menyinggung masalah ini pada bagian ini, untuk
memberikan gambaran lebih jauh tentang perkawinan; untuk lebih jelas lagi dapat
dilihat di pelajaran 11.4
Penghakiman Allah
Sebagai akibat dari kemurtadan Salomo, Kerajaan
Israel terbagi menjadi dua; Rehabeam, anak Salomo, memerintah atas suku Yehuda
dan Benyamin, dan setengah dari suku Manasye; dan Yerobeam memerintah atas
sepuluh suku yang lain. Kerajaan sepuluh suku ini disebut Israel atau Efraim,
dan Kerajaan dua suku itu disebut Yehuda. Orang-orang dari semua suku ini
sebagian besar mengikuti kejahatan yang dilakukan Salomo, mereka mengaku
percaya kepada Allah yang benar, tetapi pada saat yang bersamaan mereka juga
menyembah berhala-berhala dari bangsa-bangsa yang ada di sekeliling mereka.
Berulang kali dengan perantaraan nabi-nabi, Allah memperingati mereka agar
bertobat, tetapi selalu diabaikan. Karena inilah maka Allah menghukum mereka
dengan mengeluarkan mereka dari Kerajaan Israe, dan menyerahkan mereka ke dalam
tangan musuh-musuh mereka, yaitu Asyur dan Babilon, yang menyerang mereka dan
membawa mereka ke dalam penawanan; ”Namun bertahun-tahun lamanya Engkau
melanjutkan sabarMu terhadap mereka dengan RohMu (Firman) Engkau memperingatkan
mereka, yakni dengan perantaraan para nabiMu, tetapi mereka tidak
menghiraukannya, sehingga Engkau menyerahkan mereka ke tangan bangsa-bangsa
segala negeri” (Neh. 9:30).
Kerajaan sepuluh suku Israel sama sekali tidak
memiliki raja yang baik. Yerobeam, Ahab, Yoahas, dll. Semuanya tercatat dalam
buku Raja-raja sebagai penyembah berhala. Raja mereka yang terakhir adalah
Hosea, dalam masa pemerintahannya, Israel dikalahkan oleh Asyur dan sepuluh
suku Isarel dibawa ke dalam penawanan (II Raj. 17). Sejak itu mereka tidak
pernah kembali lagi ke Israel.
Kerajaan dua suku Yehuda memiliki beberapa raja
yang baik (Hizkia, Yosia), meskipun sebagian besar dari antara raja-raja mereka
jahat. Karena umatNya terus mengulangi perbuatan-perbuatan jahat, Allah
menggulingkan Yehuda sebagai KerajaanNya pada masa pemerintahan raja mereka
yang terakhir, Zedekia. Mereka dikepung oleh orang-orang Babilon dan dibawa ke
Babilon sebgai tawanan (II Raj. 25). Mereka berada di sana selama 70 tahun,
setelah itu beberapa dari mereka kembali ke Israel dibawah pimpinan Ezra dan
Nehemia. Mereka tidak lagi memiliki raja sejak saat itu, selanjutnya mereka
diperintah oleh bangsa-bangsa; Babilon, Yunani, dan Roma. Yesus lahir pada masa
pemerintahan Roma. Karena Orang Yahudi menolak Yesus, maka atas kehendak Allah,
Roma menyerang Yerusalem pada tahun 70 M, dan mereka tercerai-berai ke segala
penjuru dunia. Dalam waktu kurang lebih 100 tahun hingga saat ini, mereka telah
mulai kembali ke negeri mereka, yang juga merupakan tanda dari kedatangan
Kristus (Tambahan 3).
Yehezkiel 21:25-27 menubuatkan akhir dari Kerajaan
Allah ini seperti yang terlihat pada bangsa Israel; ”Dan hai engkau, raja
Israel (Zedekia), orang fasik yang durhaka, yang saatmu sudah tiba...beginilah
firman Tuhan Allah; Jauhkanlah serbanmu dan buangkanlah mahkotamu; Tiada yang
tetap seperti keadaannya sekarang...Puing, puing, puing akan kujadikan dia!
Inipun tidak akan tetap. Sampai Ia datang yang berhak atasnya, dan kepadanya
akan Kuberikan itu.” Ayat demi ayat dari kitab nabi-nabi meratapi akhir dari
Kerajaan Allah (Hos. 10:3; Rat. 5:16; Yer. 14:21; Dan. 8:12-14).
Pengulangan kata ”puing” sebanyak tiga kali pada
Yehezkiel 21:25-27, menunjukkan bahwa penyerangan yang dilakukan oleh
Nebukadnezar, Raja Babilon, akan dilakukan sebanyak tiga kali. Pelajar yang
membaca dengan cermat akan menemukan contoh yang lain pada ayat-ayat ini,
tentang bagaimana Kerajaan Allah dan Rajanya dikaitkan, yaitu kejatuhan
Kerajaan Allah sama dengan kejatuhan dari Zedekia (lihat pelajaran 5.2). Maka
Kerajaan Allah, yaitu bangsa Israel, berakhir; ”Aku akan mengakhiri
pemerintahan kaum Israel” (Hos. 1:4). ”Sampai ia datang yang berhak atasnya,
dan kepadanya akan kuberikan itu.” Allah akan ”mengaruniakan kepadanya (Yesus)
takhta daud...dan Kerajaannya tidak akan berkesudahan” (Luk. 1:32,33), yang
akan didirikan pada saat kedatangan Kristus, dimana janji tentang pembangunan
kembali Kerajaan itu akan digenapi.
Pemulihan Israel
Ada suatu tema besar yang disampaikan oleh para
nabi-nabi di dalam Perjanjian Lama tentang Pemulihan Kerajaan Allah pada saat
kedatangan Kristus. Murid-murid Kristus menanyakan tentang hal ini; ”Tuhan,
maukah Engkau pada masa ini memulihkan Kerajaan bagi Israel?” atau akankah
Yehezkiel 21:27 akan digenapi pada saat ini? Yesus menjawabnya dengan
mengatakan bahwa mereka tidak perlu mengetahui dengan pasti waktu kedatangannya
yang kedua; sesudah itu malaikat segera mengangkatnya, dan meyakinkan mereka
bahwa dengan cara yang sama Ia akan datang kembali” (Kis. 1:6-11).
Oleh karena itu pemulihan Kerajaan Allah/Israel,
akan dilakukan pada saat kedatangannya yang kedua. Karena itu Petrus
mengajarkan bahwa Allah akan mengutus ”Yesus Kristus...di surga sampai waktu
pemulihan segala sesuatu, seperti yang difirmankan Allah dengan perantaraan
nabi-nabiNya yang kudus di zaman dahulu” (Kis. 3:20,21). Pada saat
kedatangannya yang kedua ia akan mendirikan kembali Kerajaan Allah dan
memulihkan Kerajaan Israel di masa lalu.
Pemulihan Kerajaan Allah adalah tema yang
sebenarnya dari firman ”nabi-nabiNya yang kudus”;
-
”Maka sautu takhta akan ditegakkan dalam kasih setia dan diatasnya, dalam kemah
Daud (pada kedatangan Yesus yang kedua Luk. 1:32,33), akan duduk senantiasa
seorang hakim (Yesus) yang menegakkan keadilan dan yang segera melakukan
kebenaran” (Yes. 16:5).
-
”Pada hari itu Aku akan mendirikan kembali pondok Daud (”takhta” Daud
Luk. 1:32,33) yang telah roboh; Aku akan menutup pecahan dindingnya, dan
akan mendirikan kembali reruntuhannya” (Amos 9:11) kata-kata terakhir dengan
jelas mengartikan pemulihan.
-
”Anak-anak mereka (Israel) akan menjadi seperti dahulu kala, dan perkumpulan
mereka akan tinggal tetap di hadapanKu” (Yer. 30:20)
-
”dan Ia akan memilih Yerusalem pula” (Za. 2:12), dengan menjadikannya sebagai
ibukota dari Kerajaannya (bandingkan Mzm. 48:2; Yes. 2:2-4)
-
”Aku akan memulihkan keadaan Yehuda dan Israel dan akan membangun mereka
seperti dahulu...akan terdengar lagi suara kegirangan dan suara
sukacita...Sebab Aku akan memulihkan keadaan negeri ini (Yerusalem) seperti
dahulu...akan ada lagi padang rumput bagi gembala-gembala...kambing domba akan
lewat lagi...” (Yer. 33:7-13).
Kedatangan Kristus untuk mendirikan Kerajaan ini
benar-benar menjadi ”Pengharapan dari Israel” yang juga ada hubungannya dengan
pembaptisan kita.
5.4 Kerajaan Allah di Masa Depan
Pada bagian satu dan tiga dari pelajaran ini, telah
diberikan informasi yang cukup sehubungan dengan Kerajaan Allah. Kita telah
melihat bahwa Abraham dijanjikan melalui keturunannya, seluruh bangsa di
bumi akan diberkati; Roma 4:13 menjelaskan hal ini lebih lanjut dengan
mengatakan bahwa seluruh bumi akan diwarisi oleh orang-orang yang berada “di
dalam keturunan Abraham,” yaitu Yesus. Nubuat tentang patung besar di Daniel 2
menjelaskan bagaimana Kristus akan datang kembali seperti sebuah batu kecil,
kemudian secara berangsur-angsur Kerajaannya akan menyebar ke seluruh dunia
(bandingkan Mzm. 72:8). Hal ini mengartikan bahwa Kerajaan Allah tidak hanya
berlokasi di Yerusalem atau di tanah Israel, sebagai pusatnya, tetapi seluruh
negeri ini akan menjadi jantung dari Kerajaan itu.
Bagi mereka yang menjadi pengikut Kristus akan
“menjadi suatu Kerajaan dan menjadi imam-imam bagi Allah kita, dan mereka akan
memerintah sebagai Raja di bumi” (Why. 5:10). Kita akan memerintah atas
daerah-daerah dengan ukuran-ukuran dan jumlah yang berbeda; yang satu akan
memerintah atas sepuluh kota, dan yang lain atas lima kota (Luk. 19:17).
Kristus akan membagi kepemimpinannya atas bumi dengan kita (Why. 2:27; II Tim.
2:12). ”Seorang Raja (Yesus) akan memerintah menurut kebenaran dan pemimpin-pemimpin
(orang-orang yang percaya) akan memimpin menurut keadilan” (Yes. 32:1; Mzm.
45:16).
Kristus akan memerintah selamanya di atas takhta
Daud yang akan didirikan kembali (Luk. 1:32,33). Ia akan mewarisi singgasana
Daud dan kedudukkannya sebagai pemimpin, yang terletak di Yerusalem. Karena
dari Yerusalem ia akan memerintah. Karena itu Yerusalem akan menjadi ibukota
dari Kerajaan yang akan datang. Di tempat inilah Bait Allah akan dibangun
kembali (Yeh. 40-48). Tempat dimana orang-orang dari berbagai penjuru dunia
akan menyembah Allah (Mal 1:11). Bait ini akan menjadi pusat peribadatan dunia.
Bangsa-bangsa “akan datang tahun demi tahun untuk sujud menyembah kepada Raja,
Tuhan semesta alam, dan untuk merayakan hari raya Pondok Daun” (Za. 14:16).
Ziarah tahunan ke Yerusalem ini juga dinubuatkan di
Yesaya 2:2,3; “Akan terjadi pada hari-hari yang terakhir: gunung (kerajaan Dan.
2:35,44) tempat rumah Tuhan (bait) akan berdiri tegak di hulu gunung-gunung
(Kerajaan Allah dan baitNya akan mengatasi kerajaan-kerajaan manusia)…segala
bangsa akan berduyun-duyun kesana, dan banyak suku bangsa akan pergi serta
berkata: “Mari, kita naik ke gunung Tuhan, ke rumah Allah Yakub, supaya Ia
mengajar kita tentang jalan-jalanNya…sebab dari Sion akan keluar pengajaran dan
firman Tuhan dari Yerusalem.” Hal ini memberikan gambaran hari-hari pertama
dari Kerajaan itu, orang-orang menyebarkan pengetahuan tentang kepemimpinan
Kristus kepada yang lain, dan mereka naik ke “gunung” dari Kerajaan Allah, yang
secara perlahan akan menyebar ke seluruh dunia. Dari hal ini kita mendapat
gambaran mengenai penyembahan kepada Allah yang benar yang akan dilakukan
dengan semangat yang luar biasa.
Salah satu dari tragedi terbesar umat manusia pada
zaman kita adalah, bahwa kebanyakan orang “melayani” Allah karena alasan
politik, sosial, kebudayaan, dan emosional, daripada berdasarkan pemahaman yang
benar tentang Dia sebagai Bapa dan Sang Pencipta. Dalam Kerajaan Allah, akan
ada semangat yang besar untuk mempelajari jalan-jalan Allah; orang-orang akan termotivasi
oleh hal ini, dan mereka akan menempuh perjalanan dari segala penjuru bumi
menuju Yerusalem, dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang Allah.
Kebalikan dari kekacauan dan ketidakadilan yang
disebabkan oleh sistem perundang-undangan dan pelaksanaan keadilan oleh
manusia; maka akan ada satu hukum yang berlaku, yaitu “Hukum dan Firman Tuhan”
yang akan dinyatakan oleh Kristus dari Yerusalem. “Segala bangsa” akan
berkumpul mengikuti pengajaran ini, yang secara tidak langsung menyatakan keinginan
mereka yang sama untuk memperoleh pengetahuan yang benar tentang Allah, yang
akan mengurangi perselisihan di antara bangsa-bangsa dan juga diantara
individu-individu yang berusaha untuk memperoleh pengetahuan itu dalam hidup
ini.
Penjelasan tentang orang-orang yang berduyun-duyun
menuju Yerusalem sama dengan gambaran yang dijelaskan di Yes. 60:5, dimana
orang-orang Yahudi “bersama” dengan bangsa-bangsa (non-Yahudi) menyembah Allah
di Yerusalem. Hal ini ada hubungannya dengan nubuat tentang Kerajaan di Zakharia
8:20-23;
“Masih akan datang lagi bangsa-bangsa dan penduduk
banyak kota. Dan penduduk kota yang satu akan pergi kepada penduduk kota yang
lain, mengatakan: Marilah kita pergi untuk melunakkan hati Tuhan dan mencari
Tuhan semesta alam! Kamipun akan pergi! Jadi banyak bangsa dan suku-suku bangsa
yang kuat akan datang mencari Tuhan semesta alam di Yerusalem dan melunakkan
hati Tuhan...Pada waktu itu sepuluh orang dari berbagai bangsa dan bahasa akan
memegang kuat-kuat punca jubah seorang Yahudi dengan berkata: Kami mau pergi
menyertai kamu, sebab telah kami dengar, bahwa Allah menyertai kamu!”
Hal ini memberikan gambaran tentang orang-orang
Yahudi yang akan ”menjadi kepala dan bukan menjadi ekor” dari bangsa-bangsa,
yang disebabkan oleh pertobatan dan ketaatan mereka (Ul. 28:13); karena itu
ajaran dasar Yahudi tentang rencana keselamatan Allah akan dihargai oleh setiap
orang. Diabaikannya hal ini oleh orang-orang dari berbagai golongan Kristen,
akan segera berakhir. Orang-orang akan bersemangat sekali untuk mendiskusikan
hal-hal ini, karena itu mereka mengatakan kepada orang-orang Yahudi, ”telah
kami dengar bahwa Allah menyertai kamu.” Percakapan akan berkisar seputar
hal-hal rohani daripada membicarakan hal-hal kosong mengenai hantu-hantu dan
setan-setan, seperti yang terjadi di dunia saat ini.
Karena memberikan perhatian yang sangat besar
terhadap illah-illah ini, tidak mengherankan jika Kristus ”akan menjadi hakim
antara bangsa-bangsa dan akan menjadi wasit bagi banyak suku bangsa; maka
mereka akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak dan tombak-tombaknya
menjadi pisau pemangkas; bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap
bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang” (Yes. 2:4), yang akan
membuat bangsa-bangsa bersedia untuk merubah peralatan mereka menjadi alat-alat
pertanian, dan meniadakan latihan-latihan perang. ”Keadilan berkembang dalam
zamannya” (Mzm. 72:7). Hal-hal rohani akan menjadi sesuatu yang mulia, dan
kehormatan akan diberikan kepada mereka yang mencerminkan karakter Allah;
kasih, pengampunan, keadilan, dll. Kontras dengan kemuliaan yang dibanggakan
pada saat ini; kesombongan dan ambisi pribadi.
Kesediaan untuk menempa ”pedang-pedang menjadi mata
bajak” adalah bagian dari sistem pertanian besar-besaran yang akan meliputi seluruh
bumi. Sebagai akibat dari dosa Adam, tanah dikutuk (Kej. 3:17-19), karena itu
kita harus berusaha keras untuk memperoleh kebutuhan pangan kita dari tanah. Di
dalam Kerajaan ”tanaman gandum berlimpah-limpah di negeri bergelombang di
puncak pegunungan; biarlah buahnya mekar bagaikan Libanon” (Mzm. 72:16).
”Pembajak akan tepat menyusul penuai dan pengirik buah anggur penabur benih;
gunung-gunung akan meniriskan anggur baru” (Amos 9:13), yang akan meningkatkan
kesuburan tanah di bumi, dan mengurangi kutukan atas tanah yang diucapkan di
taman Eden.
Usaha pertanian besar-besaran seperti itu pastilah
melibatkan banyak orang. Nubuat-nubuat tentang Kerajaan memberikan kesan bahwa
orang-orang akan kembali kepada kesederhanaan hidup dengan bertani;
”mereka masing-masing akan duduk di bawah pohon
anggurnya dan di bawah pohon aranya dengan tidak ada yang mengejutkan” (Mi.
4:4).
Kesederhanaan ini akan mengakhiri
kesewenang-wenangan yang merupakan sifat dari segala cara untuk mempekerjakan
buruh demi uang. Menghabiskan waktu untuk bekerja agar orang lain menjadi kaya,
akan menjadi bagian dari masa lalu.
”Mereka akan mendirikan rumah-rumah dan mendiaminya
juga; mereka akan menanami kebun-kebun anggur dan memakan buahnya juga. Mereka
tidak akan mendirikan sesuatu, supaya orang lain mendiaminya, dan mereka tidak
akan menanam sesuatu, supaya orang lain memakan buahnya...orang-orang pilihanku
akan menikmati pekerjaan tangan mereka. Mereka tidak akan bersusah-susah dengan
percuma...” (Yes. 65:21-23).
Yesaya 35:1-7 memberikan penjelasan mengenai nubuat
yang menakjubkan tentang bagaimana tanah yang tidak subur akan dirubah, sebagai
hasil dari pancaran kegembiraan dan kebahagiaan yang hampir saja keluar dari
tanah, karena kerohanian dari mereka yang bekerja di atasnya. ”Padang
gurun...akan bergirang...padang belantara akan bersorak-sorak dan berbunga;
seperti bunga mawar ia akan berbunga lebat, akan bersorak-sorak...tanah pasir
yang hangat akan menjadi kolam, dan tanah gersang menjadi sumber-sumber air.”
Bahkan permusuhan diantara binatang-binatang akan dilenyapkan: ”Serigala dan
anak domba akan bersama-sama makan rumput,” dan anak-anak akan bermain dengan
ular (Yes. 65:25; 11:6-8).
Sebagaimana kutukan atas segala ciptaan akan
berkurang, demikian juga dengan manusia. Karena itu Wahyu 20:2,3 berbicara
dalam bahasa simbolis tentang Iblis (dosa dan akibatnya) yang ”dipenjara” atau
dikerangkeng selama 1000 tahun. Waktu kehidupan akan diperpanjang, jika ada
seseorang yang mati pada usia 100 tahun, masih dianggap terlalu muda (Yes.
65:20). Wanita-wanita tidak akan mengalami kesusahan dalam melahirkan anaknya
(Yes. 65:23). ”Pada waktu itu mata orang-orang buta akan dicelikkan, dan
telinga orang-orang tuli akan dibuka” (Yes. 35:5,6). Hal ini akan terjadi
melalui karunia-karunia roh yang menakjubkan, yang akan diberikan lagi
(bandingkan Ibr. 6:5).
Tidak bisa terlalu ditegaskan bahwa Kerajaan Allah
seharusnya tidak seperti surga di kepulauan tropis, yang dinikmati oleh
orang-orang benar sama seperti orang-orang menikmati sinar matahari di
tengah-tengah keindahan alam. Tujuan utama dari Kerajaan Allah adalah untuk
memberikan kemuliaan kepada Allah, hingga bumi dipenuhi dengan kemuliaanNya
”seperti air yang menutupi dasar laut” (Hab. 2:14). Hal ini merupakan tujuan
akhir dari Allah: ”demi Aku yang hidup dan kemuliaan Tuhan memenuhi seluruh
bumi” (Bil. 14:21). Kemuliaan kepada Allah mengartikan bahwa seluruh penduduk
bumi akan menghargai, memuji, dan meniru segala sifat kebenaranNya, karena
dunia akan dipenuhi dengan kemuliaanNya. Allah akan mengijinkan bumi untuk
merefleksikan hal-hal ini juga. Karena itu ”orang-orang yang rendah hati akan
mewarisi negeri (di dalam Kerajaan), dan bergembira karena kesejahteraan yang
berlimpah-limpah” (Mzm. 37:11), daripada menikmati kehidupan yang sederhana.
”Orang yang lapar dan haus akan kebenaran...akan dipuaskan” di dalam Kerajaan
(mat. 5:6).
Janji untuk menerima kehidupan abadi di Kerajaan
seringkali digunakan sebagai ”pemikat” untuk membujuk orang-orang agar tertarik
kepada Kekristenan. Bagaimanapun juga, hak kita atas janji itu ada hubungannya
dengan alasan yang sesungguhnya atas keberadaan kita di Kerajaan untuk
memuliakan Allah. Setelah pembaptisan, kita harus tetap memberikan penghargaan
atas hal ini.
Bagi penulis buku ini, hidup dengan memiliki hati
nurani yang baik dan kebahagiaan yang sempurna bersama Allah hanya selama
sepuluh tahun, lebih baik daripada hidup selamanya di dunia ini dengan penuh
penderitaan. Pernyataan yang mulia ini akan terus membingungkan karena di luar
jangkauan pemikiran manusia.
Jika kita memandang sedikit saja dari tujuan
utamanya, hidup di dalam Kerajaan Allah haruslah menjadi motivasi bagi kita
untuk memandang rendah segala hal duniawi, termsuk materialisme. Sebaliknya,
jika kita berlebihan dalam memandang hal ini, Yesus menyarankan ”carilah dahulu
Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepada
kamu” (Mat. 6:30-34). Kita tidak dapat membayangkan sepenuhnya, bagaimana
penggenapan yang sesungguhnya dari Kerajaan Allah yang akan datang.
Kita harus mencari ”kebenaran (dari Allah)” yaitu
dengan berusaha membangun karakter yang pengasih dari Allah, yang mengartikan
bahwa kita ingin hidup di dalam Kerajaan Allah, karena kebenaran akan
dimuliakan disana. Dan kita melakukannya untuk menjadi sempurna secara moral,
daripada hanya untuk diselamatkan dari kematian dan ingin hidup bahagia
selamanya.
Seringkali pengharapan dari Injil dijelaskan dengan
berbagai cara yang menarik minat secara perorangan. Karena itu motivasi kita
untuk berada di dalam Kerajaan Allah semakin hari harus semakin meningkat. Apa
yang kami tunjukkan disini adalah hal yang baik: prioritas utama kita dalam
mempelajari Injil dan menunjukkan ketaatan kita melalui pembaptisan adalah
tujuan untuk taat kepada Allah karena kita mengasihiNya. Penghargaan kita atas
tawaran yang diberikan Allah, dan alasan kita yang sesungguhnya untuk hidup di
dalam Kerajaan harus bertumbuh dan berkembang setelah pembaptisan.
5.5 Pemerintahan 1000 Tahun
Sehubungan dengan pelajaran kita mengenai kehidupan
di dalam Kerajaan, pembaca yang cermat mungkin akan bertanya, “Apakah gambaran
tentang kehidupan di dalam Kerajaan Allah ini sama dengan kehidupan
sebelumnya?” Orang-orang di dalam Kerajaan tetap akan melahirkan bayi-bayi
(Yes. 65:23) bahkan mati (Yes. 65:20). Orang-orangtetap akan berselisih selagi
Kristus memerintah (Yes. 2:4), dan tetap harus bekerja untuk bertahan hidup.
Walaupun begitu, kali ini keadaannya lebih mudah daripada sebelumnya. Semua
halk ini nampak jauh berbeda dari janji-janji bahwa orang-orang benar akan
menerima kehidupan abadi, dan akan dirubah ke dalam keadaan yang sama dengan
Allah, serupa dengan malaikat, yang tidak kawin atau melahirkan (Luk.
20:35,36). Jawabannya terletak pada fakta bahwa bagian pertama dari Kerajaan
Allah akan berlangsung selama 1000 tahun, Kerajaan 1000 tahun (lihat
Wahyu 20:2-7). Selama masa pemerintahan 1000 tahun ini, ada dua kelompok dari
manusia yang akan hidup di bumi:
Orang-orang kudus, mereka yang mengikuti Kristus
dengan sepenuhnya selama mereka hidup, yang akan dikaruniakan kehidupan abadi
pada saat penghakiman. Catat, kata “orang kudus” mempunyai arti “orang yang
terpanggil,” yang menunjuk kepada setiap orang percaya yang benar.
Orang-orang biasa, orang-orang yang berkematian,
yang tidak mengetahui Injil pada saat kedatangan Kristus, mereka tidak
bertanggung jawab di hadapan penghakiman.
Ketika Kristus datang, kalau ada dua orang di
ladang, yang seorang akan dibawa (kepada penghakiman) dan yang lain akan
ditinggalkan (Luk. 17:36); mereka yang “ditinggalkan” adalah kelompok yang
kedua.
Karena diubah ke dalam alam yang sama dengan Allah
pada waktu penghakiman, maka orang-orang kudus tidak akan mati atau melahirkan
anak-anak. Penjelasan tentang orang-orang yang mengalami hal-hal sebaliknya
dari ini, pastilah menunjuk kepada kelompok yang kedua, yaitu mereka yang hidup
pada saat kedatangan Kristus, tetapi tidak mengetahui persyaratan dari Allah.
Upah bagi orang-orang yang benar adalah menjadi raja dan imam yang akan
memerintah bumi (Why. 5:10). Karena seorang raja memerintah atas seseorang,
maka orang-orang yang tidak mengetahui Injil pada saat kedatangan Kristus yang
kedua akan dibiarkan hidup untuk diperintah. Dengan berada “di dalam Kristus”
maka kita juga menerima upah yang diberikan kepadanya, yaitu menjadi raja di dunia;
“barangsiapa menang…kepadanya akan kukaruniakan kuasa atas bangsa-bangsa; dan
ia akan memerintah dengan tongkat besi…sama seperti yang kuterima dari BapaKu”
(Why. 2:26,27).
Sekarang perumpamaan Kristus tentang uang mina
dapat ditafsirkan; hamba yang baik akan diupahi lima atau sepuluh kota
untuk diperintah di dalam Kerajaan (Luk. 19:12-19). Pengetahuan tentang
jalan-jalan Allah tidak akan menyebar secepatnya setelah Kristus dinyatakan
sebagai Raja di Yerusalem. Orang-orang akan berjalan menuju Yerusalem untuk
memperoleh pengetahuan tentang Allah (Yes. 2:2,3). Seperti gunung di Daniel
2:35,44 (yang melambangkan Kerajaan Allah) yang berangsur-angsur menyebar ke
seluruh bumi. Oleh karena itu adalah tugas bagi orang-orang kudus untuk
menyebarkan pengetahuan tentang Allah dan KerajaanNya.
Ketika Israel masih menjadi Kerajaan Allah, tugas
para imam adalah mengajarkan pengetahuan tentang Allah (Mal. 2:5-7). Untuk
tujuan ini, mereka ditempatkan di berbagai kota di Israel. Pada waktu Kerajaan
akan didirikan kembali, orang-orang kudus akan mengambil alih tugas para imam
(Why. 5:10).
Jika Kristus datang pada saat ini;
Orang-orang mati yang bertanggungjawab akan
dibangkitkan, bersama dengan mereka yang bertanggungjawab yang masih hidup,
mereka akan dibawa ke hadapan penghakiman.
Orang-orang jahat yang bertanggungjawab kepada
penghakiman akan dihukum mati, dan orang-orang yang benar akan dikaruniai
kehidupan abadi. Bangsa-bangsa yang menolak Kristus juga akan dihakimi.
Orang-orang benar akan memerintah atas orang-orang
yang hidup kemudian, yang tidak bertanggungjawab kepada Allah. Orang-orang
benar akan mengajarkan mereka Injil sebagai ”Raja dan Imam” (Why. 5:10).
Hal ini akan berlangsung selama 1000 tahun. Oleh
karena itu orang-orang yang tidak abadi yang dalam masa ini mempelajari
pengetahuan tentang Allah akan bertanggungjawab kepada Allah. Orang-orang ini
akan hidup lebih lama dan bahagia.
Pada akhir pemerintahan 1000 tahun akan ada
pemberontakkan melawan Kristus dan orang-orang kudus, dan Allah akan turun
tangan (Why. 20:8,9).
Pada akhir masa 1000 tahun, mereka yang mati pada
masa itu akan dibangkitkan dan dihakimi (Why. 20:5,11-15).
Selanjutnya tujuan Alah atas bumi akan digenapi.
Bumi akan dipenuhi dengan orang-orang benar yang abadi. Nama Allah ”Yahweh
Elohim“ (yang berarti “Ia akan dinyatakan di dalam kelompok yang perkasa“) akan
digenapi. Dosa dan kematian tidak akan ada lagi di bumi; janji bahwa keturunan
ular itu akan dibinasakan selamanya dengan memukul kepala ular itu, akan
sepenuhnya digenapi (Kej. 3:15). Selama pemerintahan 1000 tahun, Kristus akan
memerintah ’’sampai Allah meletakkan semua musuhnya dibawah kakinya. Musuh yang
terakhir, yang dibinasakan ialah maut...Tetapi kalau segala sesuatu telah
ditaklukkan di bawah Kristus, maka ia sendiri sebagai Anak akan menaklukkan
dirinya dibawah Dia (Allah), yang telah menaklukkan segala sesuatu dibawahnya,
supaya Allah menjadi semua di dalam semua“ (I Kor. 15:25-28).
Inilah ”kesudahannya, yaitu bilaman Ia menyerahkan
Kerajaan kepada Allah Bapa“ (I Kor. 15:24). Tentang selanjutnya yang akan
terjadi ketika Allah ada “di dalam semua“, tidak diberitahukan, yang kita
ketahui adalah bahwa kita akan hidup abadi, sama dengan Allah, dan kita akan
memuliakan dan menyenangkan Allah. Ini hanyalah dugaan mengenai apa yang terjadi
selanjutnya setelah pemerintahan 1000 tahun.
Memahami ’’Injil Kerajaan Allah“ adalah hal yang
sangat penting bagi keselamatan setiap pembaca yang membaca kata-kata ini. Kami
menyarankan anda untuk membaca kembali pelajaran ini dan melihat ayat-ayat yang
dikutip dari Alkitab.
Allah mengijinkan agar kita berada di dalam
KerajaanNya. Seluruh tujuannya dirancang sedemikian rupa agar kita turut
berperan di dalamnya, daripada hanya sekedar mengakui kemampuannya dalam
berkreasi. Pembaptisan menghubungkan kita dengan janji-janji tentang Kerajaan
ini. Memang, sulit untuk dipercaya bahwa pembaptisan yang telah diikuti oleh
orang-orang yang rendah hati yang taat kepada firman Allah dalam beberapa tahun
ini, dapat membawa kita ke dalam kemuliaan yang abadi. Untuk itulah maka iman
kita akan kasih Allah yang dalam, harus dinyatakan. Apapun masalah yang kita
hadapi, itu bukanlah alasan untuk menolak panggilan Injil.
”Jika Allah ada di pihak kita, siapakah yang akan
melawan kita?“ (Rm. 8:31).
“Penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat
dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita“ (Rm. 8:18).
“Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini,
mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, jauh lebih
besar daripada penderitaan kami“ (II Kor. 4:17).
6.1 Allah dan Kejahatan
Banyak agama-agama dan sekte-sekte Kristen
mempercayai keberadaan dari makhluk yang mengerikan, yang disebut Iblis atau
Setan. Yang menjadi penyebab dari berbagai masalah di dunia ini termasuk
masalah-masalah yang kita hadapi dalam kehidupan kita dan yang bertanggungjawab
atas dosa yang kita perbuat. Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa Allah
sangat berkuasa, dan seperti yangh kita lihat di pelajaran 1.4, para malaikat
tidak berdosa. Berdasarkan hal-hal ini, maka jika kita mempercayai keberadaan
makhluk yang mengerikan itu, sama dengan kita mempertanyakan kekuasaan Allah.
Begitu pentingnya masalah ini, sehingga kita perlu memahami dengan benar
doktrin tentang Iblis atau Setan. Ibrani 2:14 mengatakan bahwa Yesus membinasakan
Iblis melalui kematiannya, karena itu, kita tidak dapat memahami pekerjaan
Yesus yang sebenarnya kecuali kita memiliki pemahaman yang benar tentang Iblis.
Pada umunya di dunia ini, khususnya mereka yang
disebut “orang Kristen” mempercayai gagasan bahwa kebaikan berasal dari Allah
dan kejahatan berasal dari Iblis atau Setan. Ini bukanlah suatu gagasan yang
baru, dan tidak hanya terdapat di dalam Kekristenan yang murtad. Sebagai
contoh; orang-orang Babilon mempercayai keberadaan dua dewa, dewa terang dan kebaikan;
dan dewa kegelapan dan kejahatan, mereka berdua terlibat dalam perseteruan.
Kores, Raja Persia, mempercayai hal ini. Karena itu Allah berkata kepadanya,
“Akulah Tuhan dan tidak ada yang lain; kecuali Aku tidak ada Allah…yang
menjadikan terang dan menciptakan gelap, yang menjadikan nasib mujur dan nasib
malang; Akulah Tuhan yang membuat semuanya ini” (Yes. 45:5-7,22). Allah
menciptakan nasib mujur atau kebaikan dan juga menciptakan nasib malang atau
bencana. Berdasarkan ayat ini, Allah adalah penyebab, pencipta “nasib malang.”
Dalam pengertian ini, ada perbedaan antara “nasib malang” atau bencana, dengan
dosa, yang adalah kesalahan manusia; yang masuk ke dalam dunia sebagai akibat
dari perbuatan manusia, bukan Allah (Rm. 5:12).
Allah berkata kepada Kores dan orang-orang di
Babilon, ”Sebab Akulah Allah dan tidak ada yang lain.” Kata Ibrani “el” yang
diterjemahkan menjadi “Allah” mempunyai arti “kuasa” atau “sumber kuasa.” Allah
mengatakan bahwa tidak ada sumber kuasa selain dari diriNya. Inilah alasannya
mengapa orang-orang percaya yang benar di dalam Allah tidak dapat menerima
gagasan tentang hal-hal gaib yang berhubungan dengan Iblis atau roh-roh jahat.
Allah: Penyebab Malapetaka
Alkitab penuh dengan contoh-contoh yang menjelaskan
tentang Allah sebagai penyebab dari “malapetaka” atas manusia dan dunia ini.
Amos 3:6 mengatakan bahwa jika ada malapetaka di dalam suatu kota, pasti Allah
yang melakukannya. Sebagai contoh, jika terjadi gempa bumi di suatu kota.
Banyak orang yang menyangka “Iblis” yang menyebabkannya, sehingga malapetaka
itu terjadi. Setiap orang percaya yang benar harus memahami, bahwa sebenarnya
yang bertanggung jawab atas kejadian itu adalah Allah, karena itu Mikha 1:12
mengatakan, bahwa “malapetaka turun dari pada Tuhan sampai ke pintu gerbang
Yerusalem.” Di dalam buku Ayub dikatakan bahwa Ayub adalah orang yang benar,
yang kehilangan banyak hal di dalam kehidupannya. Buku itu memberitahukan bahwa
pengalaman “buruk” dalam kehidupan seseorang tidak ada hubungannya dengan
ketaatan atau ketidaktaatan seseorang kepada Allah. Ayub menyadari, bahwa Tuhan
yang memberi dan, Tuhan yang mengambil” (Ayub 1:21). Ia tidak mengatakan “Allah
yang memberi, dan Setan yang mengambil.” Ia berkata kepada istrinya; “Apakah
kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?”
(Ayub 2:10). Pada akhir buku itu, sahabat-sahabat Ayub “menghibur dia oleh
karena segala malapetaka yang telah ditimpakan Tuhan kepadanya” (Ayub 42:11
bandingkan 19:21; 8:4). Karena itu, Allah adalah sumber dari “kejahatan”, dalam
pengertian bahwa Ia menghendaki berbagai masalah terjadi di dalam kehidupan
kita.
“Karena Tuhan menghajar orang yang dikasihinya…Jika
kamu harus menanggung ganjaran…tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran
yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya” (Ibr. 12:6-11), ayat
ini menunjukkan bahwa masalah-masalah yang diberikan Allah kepada kita, akan
membuat kerohanian kita bertumbuh. Akan bertentangan dengan firman Allah jika
dikatakan bahwa Iblislah yang membuat kita berdosa dan menjadi orang yang tidak
benar, yang pada waktu bersamaan ia juga dianggap sebagai penyebab dari
masalah-masalah yang kita alami, yang “menghasilkan buah kebenaran.” Hal ini
menentang Gagasan dari Kristen Ortodoks, khususnya pada ayat-ayat yang mereka yakini
tentang penyerahan manusia kepada Iblis, “agar rohnya diselamatkan” atau
“supaya jera mereka menghujat” (I Kor. 5:5; I Tim. 1:20).
Jika Setan adalah penyebab yang sebenarnya atas
dosa-dosa manusia, yang dampak negatifnya juga dirasakan oleh orang lain.
Mengapa ayat-ayat ini berbicara tentang “Setan” sebagai kegelapan yang dapat
mengasilkan hal yang baik? Jawabannya terletak pada fakta bahwa musuh, “Setan”
atau masalah dalam kehidupan, seringkali dapat menghasilkan pertumbuhan rohani
yang baik bagi orang-orang percaya yang benar.
Jika kita menerima bahwa kejahatan berasal dari
Allah, maka kita dapat berdoa kepada Allah agar melakukan sesuatu terhadap
masalah-masalah yang kita hadapi, misalnya memohon kepada Dia supaya menjauhkan
hal itu dari kita. Jika Ia tidak mengabulkannya, maka kita harus tahu bahwa
masalah-masalah yang kita hadapi adalah demi kebaikan pertumbuhan rohani kita.
Jika anda percaya bahwa ada sesuatu yang jahat, yang disebut Iblis atau Setan,
yang menyebabkan masalah-masalah yang kita hadapi. Kami tidak memberikan
penjelasan lebih lanjut mengenai hal itu. Yang dianggap sebagai nasib buruk
adalah, cacat jasmani, penyakit, kematian mendadak atau musibah. Jika Iblis
adalah malaikat berdosa yang sangat kuat, jauh lebih kuat daripada kita;maka,
ia dapat mengendalikan kita, dan kita tidak punya pilihan lain, selain
menderita di tangannya. Tetapi jika kita berada dibawah pengaturan Allah, maka
“segala sesuatu (yang terjadi dalam kehidupan) untuk mendatangkan kebaikan”
(Rm. 8:28). Oleh karena itu tidak ada kata “mujur” di dalam hidup orang-orang
yang percaya.
Sumber dari Dosa
Harus ditekankan, bahwa dosa berasal dari diri kita
sendiri. Karena kesalahan kitalah, maka kita berdosa. Tentu saja, lebih mudah
untuk mempercayai bahwa bukanlah kesalahan kita sendiri, sehingga kita berdosa.
Kita bebas melakukan dosa, dan setelah itu memaafkan diri kita sendiri dengan
berpikir bahwa hal itu terjadi karena disebabkan oleh Iblis, dan menyalahkan
sepenuhnya kepadanya atas segala dosa-dosa yang kita perbuat. Sangat aneh jika
dalam kasus-kasus yang nyata tentang kejahatan yang dilakukan oleh seseorang,
orang yang bersalah memohon pengampunan dan mengatakan bahwa pada saat kejadian
itu ia berada dibawah kuasa Iblis, sehingga tidak bertanggung jawab atas
perbuatan yang ia lakukan. Pernyataan-pernyataan yang tidak mempunyai bukti
yang kuat seperti itu akan dihakimi tanpa ada penghalang sama sekali, dan
hukuman akan dijatuhkan ke atas orang itu.
Kita harus ingat bahwa ”upah dosa ialah maut” (Rm.
6:23); dosa menuntun kita kepada kematian. Jika bukan karena kesalahan kita
sendiri sehingga kita berdosa, maka Allah seharusnya menghukum Iblis daripada
menghukum kita. Tetapi faktanya adalah bahwa kita akan dihakimi karena
dosa-dosa kita, yang menunjukkan bahwa kita bertanggungjawab atas dosa-dosa
kita. Menciptakan Gagasan tentang keberadaan Iblis sebagai suatu pribadi, dan
prinsip bahwa dosa bukan berasal dari kita; adalah usaha untuk menghindar dari
pertanggungjawaban atas dosa-dosa yang kita perbuat. Dan merupakan contoh dari orang-orang
yang menolak untuk mengakui ajaran Alkitab tentang keadaan manusia yang
sebenarnya, yaitu penuh dengan dosa.
”Apapun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang,
tidak dapat menajiskannya...Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang
menajiskannya, sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat,
percabulan, pencurian, pembunuhan...kesombongan, kekebalan. Semua hal-hal ini
timbul dari dalam dan menajiskan orang” (Mrk. 7:15-23).
Gagasan tentang sesuatu makhluk yang berdosa yang
dapat masuk ke dalam diri kita, sehingga kita melakukan dosa; bertentangan
dengan ajaran Yesus yang sangat jelas pada ayat-ayat diatas. ”Sebab dari dalam
hati orang timbul segala pikiran jahat.” Inilah sebabnya mengapa pada waktu
peristiwa air bah Allah mempertimbangkan manusia dengan hal ini, ”sekalipun
yang ditimbulkan hatinya adalah jahat sejak kecilnya” (Kej. 8:21). Yakobus 1:14
memberitahukan bagaimana sehingga kita dapat tergoda; ”Tetapi tiap-tiap orang
dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya.” Kita
tergoda oleh karena keinginan kita, hasrat kita yang jahat, bukan oleh suatu
pengaruh dari luar diri kita. ”Darimanakah datangnya sengketa dan pertengkaran
di antara kamu?” ”Bukankah datangnya dari hawa nafsumu yang saling berjuang di
dalam tubuhmu?” (Yak. 4:1). Setiap orang mengalami godaan yang berbeda-beda,
yang dibangkitkan oleh hasrat mereka yang jahat, yang sudah menjadi kepribadian
manusia. Memang benar pernyataan bahwa musuh terbesar kita adalah diri kita
sendiri.
Buku Roma penuh dengan penjelasan tentang dosa,
asalnya, dan bagaimana mengatasinya. Penting sekali untuk mengetahui bahwa di
dalam buku itu Iblis atau Setan, hampir tidak pernah disebutkan. Dan dalam
konteks tentang awal mula dosa, Paulus tidak menyebutkan Iblis atau Setan.
Dengan cara yang sama, kata ”Iblis” digunakan di dalam Perjanjian Baru sebagai
suatu konsep untuk menjelaskan tentang dosa. Jika ada sesuatu dari luar tubuh
kita yang dapat membuat kita berdosa, pastilah akan dijelaskan secara luas
hingga di Perjanjian Lama. Tetapi hal-hal tersebut tidak pernah dijelaskan sama
sekali. Catatan dari masa pemerintahan Hakim-hakim, atau mengenai perjalanan
bangsa Israel di padang gurun, menunjukkan bahwa pada masa itu Israel berdosa
atas suatu perjanjian yang besar. Tetapi Allah tidak memperingatkan mereka
tentang keberadaan dari sesuatu kekuatan supranatural yang dapat masuk ke dalam
tubuh mereka dan membuat mereka berdosa. Sebaliknya, Ia menganjurkan mereka
untuk menerapkan firmanNya agar mereka tidak jatuh ke dalam keinginan daging
mereka (Ul. 27:9,10; Yos. 22:5).
Paulus meratapi dirinya dengan berkata, ”di dalam
aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik...aku
berbuat apa yang tidak aku kehendaki, maka bukan lagi aku yang memperbuatnya,
tetapi dosa yang diam di dalam aku” (Rm. 7:18-21). Ia tidak menyalahkan
dosa-dosa yang ia lakukan kepada sesuatu yang disebut Iblis. Ia menunjukkan
bahwa sifat jahat yang ada di dalam dirinya adalah sumber dari dosa yang
sesungguhnya; ”maka bukan lagi aku yang memperbuatnya, tetapi dosa yang diam di
dalam aku. Demikianlah aku dapati hukum ini: jika aku menghendaki berbuat apa
yang baik, yang jahat itu ada padaku.” Setiap orang yang bijaksana yang
mempunyai pandangan rohani yang baik akan berpendapat sama tentang pengetahuan
ini. Perlu dicatat, bahwa Paulus setelah menjadi pengikut Kristus tidak
mengalami perubahan apapun atas dirinya yang dapat membuat ia menjadi tidak
berdosa atau tidak dapat melakukan dosa lagi. Gerakan ”Evangelis” modern
mengklaim hal yang sebaliknya; dengan demikian mereka telah menempatkan Paulus
dalam daftar dari orang-orang yang tidak ”diselamatkan” sehubungan dengan
pernyataan Paulus di Roma 7:15-21, dimana terdapat ayat-ayat yang merupakan
bukti untuk menentang klaim mereka. Begitu juga dengan Daud, yang tidak
diragukan lagi sebagai orang yang benar. Ia juga mengakui dosa-dosa yang
terdapat di dalam dirinya; ”Sebab aku sendiri sadar akan pelanggaranku, aku
senantiasa bergumul dengan dosaku” (Mzm. 51:5).
Penjelasan di dalam Alkitab tentang sifat manusia
yang sebenarnya, sangat jelas sekali. Yaitu, secara umum mereka penuh dengan
kejahatan. Jika hal ini dapat diterima, maka tidak perlu menciptakan suatu
bayangan dari seseorang yang berada di luar alam manusia yang bertanggung atas
dosa-dosa kita. Yeremia 17:19 mengatakan bahwa hati manusia sangat licik, dan
karena begitu licik, kita tidak dapat mengetahuinya. Di Matius 7:11 Yesus juga
menilai bahwa sifat manusia pada dasarnya adalah jahat. Kata-kata di
Pengkhotbah 9:3 tidak dapat disangkal lagi; ”Hati anak-anak manusiapun penuh
dengan kejahatan. Efesus 4:18 memberikan alasan mengapa sifat manusia dapat
menjauhkan dirinya dengan Allah, yang disebabkan ”karena kebodohan yang ada di
dalam mereka dan karena kedegilan hati mereka.” Karena buta secara rohani dan
memiliki hati nurani yang suka membangkang, maka jalan pikiran kita menjadi
jauh dari Allah. Sehubungan dengan hal ini Galatia 5:19 berbicara tentang dosa
kita sebagai ”Perbuatan daging”; karena tubuh kita sendiri yang menyebabkan
kita berbuat dosa. Tidak satupun dari ayat-ayat ini menjelaskan bahwa dosa
berasal dari Iblis yang membawanya ke dalam diri kita. Kecenderungan untuk
berbuat dosa memang sudah ada di dalam diri kita sejak kita dilahirkan, yang
sudah menjadi suatu bagian yang pokok di dalam diri manusia.
6.2 Iblis dan Setan
Adakalanya kata-kata di dalam Alkitab tidak
diterjemahkan dan tetap dibiarkan dalam bahasa aslinya (contoh, “Mammon” dalam
bahasa Aramaik di Mat. 6:24). Kata “setan” berasal dari kata Ibrani yang tidak
dapat diterjemahkan, yang mempunyai arti “musuh.” Sedangkan kata “iblis”
diterjemahkan dari bahasa Yunani “diabolos”, yang mempunyai arti pendusta,
musuh, atau pemfitnah. Jika kita percaya bahwa setan dan iblis adalah sesuatu
yang berada di luar diri kita, yang bertanggungjawab atas dosa, maka dimanapun
kita menemukan kata-kata tersebut di dalam Alkitab, kita akan mengartikan kata
tersebut sebagai suatu pribadi yang jahat. Penggunaan kata-kata tersebut di
dalam Alkitab menunjukkan bahwa kata-kata tersebut digunakan untuk menjelaskan
sifat yang terdapat di dalam diri manusia. Karena itu kata iblis dan setan yang
terdapat di dalam Alkitab tidak menunjuk kepada suatu pribadi yang jahat, yang
berada di luar diri kita.
Kata “setan” di dalam Alkitab
I Raja-raja 11:14 mencatat, “Tuhan membangkitkan
seorang ”lawan” (kata Ibrani yang juga diterjemahkan sebagai “setan”) Salomo,
yakni Hadad, orang Edom.” “Allah membangkitkan pula seorang “lawan” (dari kata
yang sama)…yakni Rezon…Dialah yang menjadi “lawan” (setan) Israel” (I Raj. 11:23,25).
Ayat-ayat ini tidak mengartikan bahwa Allah membangkitkan suatu makhluk
supranatural atau seorang malaikat, untuk menjadi setan/musuh bagi Salomo; ia
hanya membangkitkan sifat jahat yang terdapat di dalam diri manusia. Matius
16:22,23 memberikan contoh yang lain sehubungan dengan hal ini; ketika Petrus
berusaha menghalangi Yesus pergi ke Yerusalem untuk mati di kayu salib. Yesus
berbalik dan mengatakan kepada Petrus, “Enyahlah Iblis…sebab engkau bukan
memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.”
Karena itu Petrus disebut sebagai setan. Catatan tersebut dengan jelas
mengatakan bahwa Yesus tidak sedang berbicara kepada seorang malaikat atau
suatu makhluk yang mengerikan, ketika ia mengucapkan kata-kata itu, tetapi ia
sedang berbicara dengan Petrus.
Karena kata “setan” mempunyai arti; musuh, orang
baik, bahkan Allah juga dapat disebut “setan.” Pada intinya, kata tersebut sama
sekali tidak mengartikan sesuatu yang penuh dengan dosa. Konotasi dari penuh
dengan dosa, yaitu kata ”setan”, menjelaskan tentang keadaan kita yang
sebenarnya yang penuh dengan dosa, yang merupakan musuh terbesar kita, yaitu
setan; dan penggunannya di dalam kalimat menunjuk kepada sesuatu yang
berhubungan dengan dosa. Allah juga dapat disebut setan bagi kita, dalam
pengertian bahwa Ia yang menyebabkan masalah-masalah di dalam kehidupan kita,
atau memberikan jalan yang salah kepada kita sewaktu sedang mengahadapi
masalah. Fakta bahwa Allah dapat disebut sebagai setan tidak mengartikan bahwa
Ia penuh dengan dosa.
Di dalam buku Samuel dan Tawarikh, terdapat catatan
yang berkaitan tentang suatu peristiwa yang sama. Seperti empat buku Injil yang
mencatat peristiwa-peristiwa yang sama, dalam bahasa penulisan yang berbeda. II
Samuel 24:1 mencatat, “Bangkitlah pula murka Tuhan terhadap orang Israel; Ia
menghasut Daud melawan mereka” agar ia menghitung bangsa Israel. Catatan
mengenai peristiwa yang sama juga terdapat di I Tawarikh 21:1; ”Iblis bangkit
melawan Israel dan membujuk Daud untuk menghitung orang Israel.” Pada ayat yang
pertama dijelaskan bahwa Allah yang menghasut Daud, tetapi pada ayat kedua
disebutkan bahwa setanlah yang melakukan hal itu. Kesimpulan dari hal ini
adalah, Allah bertindak sebagai “setan” atau musuh bagi Daud. Ia juga melakukan
hal yang sama kepada Ayub, dengan membawa sejumlah penderitaan ke dalam
kehidupan Ayub. Karena itu Ayub berkata kepada Allah; “Engkau memusuhi aku
dengan kekuatan tanganMu” (Ayub 30:21); sama dengan mengatakan, “Engkau
bertindak sebagai setan dengan memusuhi aku.”
Kata “iblis” di dalam Alkitab
Begitu juga dengan kata “iblis”, Yesus mengatakan,
“Bukankah Aku sendiri yang telah memilih kamu yang dua belas ini? Namun seorang
diantaramu adalah iblis. Yang dimaksudkannya ialah Yudas…” (Yoh. 6:70,71).
Yaitu manusia biasa yang berkematian. Ia tidak berbicara tentang suatu pribadi
yang memiliki tanduk, yang disebut “makhluk roh.” Kata “iblis” pada ayat ini
menunjuk kepada sifat manusia yang jahat. I Timotius 3:11 memberikan contoh
yang lain sehubungan dengan hal ini; istri dari penatua gereja haruslah bukan
seorang “pemfitnah”, yang berasal dari kata Yunani “diabolos”, yang juga
diterjemahkan menjadi “iblis.” Karena itu Paulus memperingatkan Titus agar
perempuan-perempuan tua yang melayani bukanlah seorang “pemfitnah” atau “iblis”
(Tit. 2:3). Dan ia juga mengatakan hal yang sama kepada Timotius (II Tim.
3:1,3); ”pada hari-hari terakhir...manusia akan...menjadi pemfitnah (iblis).”
Hal ini tidak mengartikan bahwa manusia akan berubah bentuk menjadi makhluk
super, tetapi mengartikan, bahwa mereka akan bertambah jahat. Dari semua
penjelasan ini, sangat jelas sekali bahwa kata “iblis” dan “setan” tidak
menunjuk kepada keberadaan dari Malaikat yang berdosa di luar diri kita.
Dosa, Setan, dan Iblis
Kata “setan” dan “iblis” digunakan dalam bentuk
kiasan untuk menjelaskan kecenderungan secara alami melakukan dosa yang
terdapat di dalam diri manusia. Hal ini telah dibahas di pelajaran 6.1. Inilah
musuh atau “setan” yang sebenarnya. Selain disebut sebagai “iblis” atau musuh
kita, mereka juga merupakan lambang dari pemfitnah kebenaran. Inilah sifat
manusia yang sebenarnya, sangat jahat. Hubungan antara iblis dengan hasrat kita
yang jahat adalah, sama-sama merupakan dosa di dalam diri kita. Yang sangat
jelas terlihat di dalam beberapa ayat; ”Karena anak-anak itu (kita) adalah
anak-anak dari darah dan daging, maka ia (Yesus) juga menjadi sama dengan
mereka dan mendapat bagian dalam keadaan mereka, supaya oleh kematiannya ia
memusnahkan dia, yaitu iblis, yang berkuasa atas maut” (Ibr. 2:14). Kata iblis
pada ayat ini dijelaskan sebagai pihak yang bertanggungjawab atas kematian,
tapi ”upah dosa ialah maut” (Rm. 6:23). Oleh karena itu, dosa dan iblis
pastilah berkaitan. Hal yang serupa juga terdapat di Yakobus 1:14, yang
mengatakan bahwa hasrat kita yang jahatlah yang menggoda kita, dan menuntun
kita untuk melakukan dosa, yang upahnya adalah kematian. Tetapi di Ibrani 2:14
dikatakan bahwa iblis yang menyebabkan kematian. Ayat yang sama juga mengatakan
bahwa Yesus menjadi sama dengan manusia untuk membinasakan iblis. Bandingkan
dengan Roma 8:3 yang mengatakan bahwa Allah ”mengutus anakNya sendiri dalam
daging, yang serupa dengan daging yang dikuasai dosa karena dosa.” Hal ini
menunjukkan bahwa iblis dan kecenderungan untuk melakukan dosa adlah sifat
alami yang terdapat di dalam diri manusia, yang bekerja dengan efektif pada
waktu yang bersamaan. Sangat penting untuk dipahami, bahwa Yesus juga digoda
seperti kita. Tidak memahami dengan benar doktrin tentang iblis, akan membuat
kita tidak dapat menghargai dengan sepantasnya atas pekerjaan-pekerjaan yang
Yesus lakukan. Karena Yesus menjadi sama dengan manusia, dimana ”iblis” berada
di dalamnya, maka kita mempunyai harapan untuk diselamatkan (Ibr. 2:14-18;
4:15). Dengan mengatasi hasratnya yang alami, yaitu iblis, Yesus membinasakan
iblis pada kayu salib (Ibr. 2:14). Jika betul iblis adalah suatu pribadi, maka
ia tidak akan ada lagi, tetapi faktanya tidak demikian. Ibrani 9:26 mengatakan
bahwa manifestasi Kristus adalah untuk ”menghapuskan dosa oleh korbannya.”
Ibrani 2:14 membenarkan hal ini dengan menyatakan bahwa melalui kematiannya,
Kristus membinasakan iblis yang berada di dalam dirinya. Melalui kematiannya,
Yesus bertujuan untuk membinasakan ”tubuh dosa” (Rm. 6:6), yaitu sifat manusia,
yang dalam berbagai macam keinginan dagingnya menimbulkan dosa.
”Barangsiapa yang tetap berbuat dosa, berasal dari
iblis” (I Yoh. 3:8), karena dosa adalah hasil dari menuruti keinginan-keinginan
kita yang jahat (Yoh. 1:14,15), yang disebut Alkitab sebagai ”iblis.” ”Untuk
inilah anak Allah menyatakan dirinya, yaitu supaya ia membinasakan
perbuatan-perbuatan iblis itu” (I Yoh. 3:8). Jika benar bahwa iblis adalah
segala hasrat kita yang jahat, maka dengan menuruti hasrat kita yang jahat,
berarti kita melakukan dosa. Hal ini dibenarkan I Yohanes 3:5; ”Ia telah
menyatakan dirinya supaya ia menghapus segala dosa” dan membenarkan bahwa
”dosa-dosa” kita sama dengan ”pekerjaan-pekerjaan iblis.” Kisah para Rasul 5:3
memberikan bukti yang lain tentang hubungan antara dosa-dosa kita dengan iblis;
Petrus berkata kepada Ananias: ”mengapa hatimu dikuasai iblis?” Kemudian di
ayat 4 Petrus mengatakan ”Mengapa engkau merencanakan perbuatan itu di dalam
hatimu?” Merencanakan sesuatu yang jahat di dalam hati kita disamakan dengan
iblis menguasai hati kita. Jika kita merencanakan sesuatu, misalnya rencana
jahat, maka hal itu dimulai dari dalam diri kita. Jika seorang wanita berencana
untuk mempunyai seorang anak, hal tersebut tidak terjadi di luar dirinya,
tetapi dari dalam dirinya. Yakobus 1:14,15 menggunakan gambaran yang sama untuk
menjelaskan bagaimana rancangan kita yang penuh dengan hawa nafsu yang membawa
kita ke dalam dosa, dan menuntun kita pada kematian. Mazmur 109:6 mengkaitkan
seseorang yang berdosa dengan ”setan”; ”Angkatlah seorang fasik atas dia, dan
biarlah seorang pendakwa (setan) berdiri di sebelah kanannya”, yaitu kekuatan
yang ada di dalam dirinya sendiri (bandingkan ayat 31).
Personifikasi
Sebagai tanggapan, mungkin anda akan mengatakan;
”Tetapi hal itu berbicara dalam pengertian jika iblis adalah suatu pribadi.”
Memang betul, Ibrani 2:14 mengatakan ”yaitu iblis yang berkuasa atas maut. Jika
kita membaca beberapa bagian saja dari Alkitab, kita akan mengetahui bahwa
bahasa personifikasi sering kali digunakan untuk menjelaskan sesuatu yang
abstrak seperti menjelaskan suatu pribadi. Seperti yang terdapat di Amsal 9:1,
yang berbicara tentang wanita yang disebut ”hikmat”, yang mendirikan sebuah
rumah. Dan Roma 6:23 yang menyamakan kematian dengan alat pembayaran, yaitu
sebagai upah dari dosa. Menganai hal ini, telah dibahas sebelumnya di
Pertentangan 5. Iblis yang ada di dalam diri kita ”diabolos”, seringkali
menjadi gambaran dari hasrat kita yang jahat. Tetapi tidak dapat diartikan
secara abstrak. Karena hasrat yang jahat yang terdapat di dalam hati kita,
bukanlah suatu bagian yang terpisah dari diri kita. Oleh karena itu kata
”iblis” adalah bahasa personifikasi. Begitu juga dengan dosa, yang sering
dipersonifikasikan sebagai tuan (Rm. 5:21; 6:6,17; 7:3). Dengan mengingat bahwa
kata ”iblis” juga menunjuk kepada dosa, maka dapat dipahami bahwa kata ”iblis”
dipersonifikasikan. Karena dengan cara yang sama Paulus mengatakan bahwa kita
mempunyai dua kehidupan, jasmani dan rohani (Rm. 7:15-21); tubuh jasmani; yaitu
”iblis” melawan tubuh rohani. Jelas sekali hal ini tidak dapat diartikan secara
harfiah, bahwa ada dua pribadi yang berseteru di dalam tubuh kita. Bagian yang
penuh dosa dari diri kita dipersonifikasikan sebagai ”yang jahat”(Mat. 6:13)
yaitu iblis. Ungkapan Yunani yang diterjemahkan sebagai ”yang jahat” di dalam I
Korintus 5:13 diterjemahkan menjadi ”orang yang melakukan kejahatan”, hal ini
menunjukkan bahwa ketika seseorang memberikan jalan kepada dosa, bagian dari
dirinya ”yang jahat” atau ia sendiri, menjadi ”iblis” atau orang ”yang jahat.”
Kata ”Iblis” dan ”Setan” dalam Konteks Politik
Kata ”iblis” dan ”setan” juga digunakan untuk
menggambarkan kejahatan dari dunia yang penuh dengan dosa, tempat dimana kita
hidup. Sosial, politik, agama-agama palsu, dan sistem pemerintahan manusia,
dapat disebut dengan satu istilah, yaitu ”iblis.” Dalam Perjanjian Baru, iblis
dan setan seringkali menunjuk kepada kuasa dari sistem politik dan sosial dari
orang-orang Yahudi atau Roma. Karena itu tertulis bahwa iblis dilemparkan ke
dalam penjara (Why. 2:10), yang menunjuk kepada kekuasaan Roma yang telah
menindas orang-orang yang percaya. Dalam konteks yang sama, tertulis bahwa
gereja di Pergamus terletak di takhta iblis. Hal ini tidak mengartikan bahwa
setan yang duduk di takhta itu. Pergamus adalah daerah koloni Roma yang
dipimpin oleh seorang Gubernur, dimana terdapat komunitas dari orang-orang yang
percaya.
Dosa pribadi dijelaskan sebagai pelanggaran terhadap hukum Allah (I Yoh. 3:4). Tetapi, kadang-kadang dosa yang ditunjukkan secara bersama-sama melalui kekuatan politik dan sosial yang menentang Allah, juga dipersonifikasikan sebagai Iblis. Dalam pengertian inilah maka Iran dan negara-negara Islam lainnya menyebut Amerika sebagai ”setan besar”, yaitu musuh terbesar mereka yang menimbulkan berbagai masalah dalam bidang politik dan agama. Dengan cara seperti inilah, seringkali kata ”iblis” dan ”setan” digunakan di dalam Alkitab.
Sebagai kesimpulan, mungkin benar jika dikatakan,
bahwa pembahasan tentang hal ini lebih penting dari yang lain. Karena penting
sekali untuk melandasi pemahaman kita dengan pandangan yang selaras dengan
seluruh isi Alkitab, daripada membuat sesuatu doktrin yang hanya didasari atas
beberapa ayat, dimana terdapat kata-kata tersebut, yang mendukung kepercayaan
yang pada umumnya diakui sehubungan dengan Iblis. Bagian ini dan pelajaran 6.1,
perlu dibaca kembali, berdoalah sebelum membacanya. Adalah satu-satunya jalan
dalam menyampaikan doktrin ini dengan penguraian yang lebih dalam, tujuannya
ialah agar anda dapat memiliki pemahaman berdasarkan semua ayat yang menunjuk
kepada iblis dan setan. Kata-kata tersebut dapat digunakan sebagai kata sifat,
atau sesuatu yang menunjuk kepada dosa yang terdapat di dalam diri manusia.
Beberapa pihak dari sekian banyak golongan yang keliru dalam memahami ayat-ayat
ini, mengutipnya untuk mendukung gagasan yang diketahui secara umum, yang akan
kita bahas di dalam Pertentangan-pertentangan di dalam pelajaran ini.
6.3 Roh-roh Jahat
Dua bagian sebelumnya dari pelajaran ini
menjelaskan mengapa kami tidak mempercayai iblis atau setan sebagai suatu
pribadi atau makhluk yang mengerikan. Jika hal ini dapat diterima, maka
demikian juga dengan roh-roh jahat, yang dianggap sebagai pelayan-pelayan dari
iblis, mereka juga tidak ada. Banyak orang berpikir Allah memberikan kita
hal-hal yang baik di dalam hidup kita, dan iblis beserta pelayan-pelayannya
memberikan kita hal-hal yang buruk, dan merampas hal-hal yang baik, yang
diberikan Allah kepada kita.
Alkitab dengan jelas sekali mengajarkan, bahwa
Allah adalah sumber dari segala kuasa (lihat pelajaran 6.1), dan ia
bertanggungjawab atas hal-hal yang baik maupun hal-hal yang buruk di dalam
hidup kita;
“yang menjadikan terang dan menciptakan gelap, yang
menjadikan nasib mujur dan menciptakan nasib malang; Akulah Tuhan yang membuat
semuanya ini” (Yes. 45:7).
“Sebab malapetaka turun daripada Tuhan sampai ke
pintu gerbang Yerusalem” (Mi. 1:12).
“Adakah sangkakala ditiup di suatu kota, dan
orang-orang tidak gemetar? Adakah terjadi malapetaka di suatu kota, dan Tuhan
tidak melakukannya?” (Amos 3:6).
Oleh karena itu, jika kita mendapat masalah, kita
harus menerima bahwa hal itu berasal dari Allah, dan tidak menyalahkan iblis
atau roh-roh jahat. Seperti Ayub yang kehilangan hal-hal baik yang diberikan
Allah kepadanya sebagai berkat; ia tidak mengatakan, “Roh-roh jahatlah yang
telah mengambil semua yang diberikan Allah kepadaku.” Perhatikan apa yang dia
katakan;
“Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil,
terpujilah nama Tuhan” (Ayub 1:21)
“Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk” (Ayub 2:10).
“Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk” (Ayub 2:10).
Jika kita memahami bahwa segala hal berasal dari
Allah, maka ketika kita menemui masalah di dalam kehidupan, kita dapat berdoa
kepada Allah supaya ia menjauhkannya dari kita. Tapi, jika Ia tidak
melakukannya, berarti Ia memberikan masalah itu kepada kita, agar kita dapat
membangun karakter yang baik dan demi kebaikan kita di waktu yang akan datang;
“Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan,
dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkanNya; karean Tuhan (bukan
roh-roh jahat!) menghajar orang yang dikasihinya, dan Ia menyesah orang yang
diakuinya sebagai anak.” Jika kamu harus menanggung ajaran; Allah memperlakukan
kamu seperti anak. Dimanakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya?
Tetapi jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka
kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang.” (Ibr. 12:5-8).
Allah sumber dari segala kuasa
Allah adalah sumber dari segala kuasa;
“Akulah Tuhan dan tidak ada yang lain, kecuali Aku
tidak ada Allah” (kata Ibrani yang diterjemahkan menjadi ”Allah”, mempunyai
arti ”kuasa”) (Yes. 45:5)
“Adakah Allah selain daripadaku? Tidak ada gunung
batu yang lain, tidak ada kukenal!” (Yes. 44:8)
”Tuhanlah Allah, tidak ada yang lain kecuali Dia”
(Ul. 4:35)
Ayat-ayat tersebut muncul berulangkali di dalam
Alkitab. Karena Allah adalah sumber dari segala kuasa satu-satunya. Oleh
karenanya Ia adalah Allah yang pencemburu, seperti yang seringkali ia ingatkan
kepada kita (Kel. 20:5, Ul. 4:24).
Allah menjadi cemburu ketika umatNya mulai percaya
kepada allah-allah lain, yang secara tidak langsung dengan mengatakan; ”Engkau
adalah Allah yang mulia, maha kuasa, tetapi sebenarnya aku juga mempercayai
bahwa ada allah-allah lain selain Engkau, walaupun mereka tidak sekuat Engkau.”
Inilah alasannya mengapa kami tidak mempercayai keberadaan dari iblis atau
setan sama seperti keberadaan Allah yang benar.Seperti yang tercatat di dalam
Perjanjian Lama, Israel melakukan kesalahan ini. Sebagian besar dalam catatan
itu menceritakan tentang sikap bangsa Israel yang tidak menyenangkan Allah,
dengan mempercayai allah-allah lain seperti Dia. Berdasarkan Alkitab, kita
dapat mengetahui bahwa ”roh-roh jahat” yang dipercayai oleh banyak orang pada
saat ini, hanyalah allah-allah palsu seperti yang dipercayai oleh bangsa
Israel.
Roh-roh jahat adalah berhala
Di dalam I Korintus, Paulus menjelaskan mengapa
orang-orang Kristen tidak boleh terlibat dalam penyembahan berhala atau
mempercayai hal-hal yang serupa. Pada waktu masa penulisan Alkitab, banyak
orang mempercayai bahwa roh-roh jahat adalah allah-allah yang dapat mereka
sembah agar menghentikan masalah-masalah di dalam kehidupan mereka. Karena itu
mereka membuat patung-patung roh jahat sebagai berhala, dan menyembahnya. Hal
ini menjelaskan mengapa Paulus menggunakan kata ”roh-roh jahat” dan ”berhala”
secara bergantian di dalam suratnya;
”persembahan mereka adalah persembahan kepada
roh-roh jahat, bukan kepada Allah. Dan aku tidak mau, bahwa kamu bersekutu
dengan roh-roh jahat...Tetapi kalau seorang berkata kepadamu; ”itu persembahan
berhala!” janganlah engkau memakannya...” (I Kor. 10:20,28). Jadi, berhala sama
dengan roh-roh jahat. Catat, Paulus mengatakan kepada mereka, bahwa mereka
mempersembahkan korban ”kepada roh-roh jahat (berhala), bukan kepada Allah.”
Karena roh-roh jahat bukan Allah dan hanya ada satu Allah, maka roh-roh jahat
sama sekali tidak memiliki kuasa apapun, dan mereka bukan allah-allah.
Pengertian yang jelas terdapat di I Korintus 8:4;
”Tentang hal makan daging persembahan berhala kita
tahu: ”tidak ada berhala di dunia dan tidak ada Allah lain daripada Allah yang
esa.” Berhala atau roh-roh jahat, sama sekali tidak ada. Hanya ada satu Allah
yang benar, atau yang berkuasa di dunia. Paulus meneruskan penjelasannya di
(ayat 5,6);
”Sebab sungguhpun ada apa yang disebut ”allah”,
baik di surga, maupun di bumi-dan memang benar ada banyak ”allah” dan banyak
”tuhan” yang demikian-namun bagi kita (orang-orang percaya yang benar) hanya
ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang daripadanya berasal segala sesuatu (yang
baik dan yang jahat, seperti yang kita lihat pada referensi-referensi
sebelumnya).”
Keterangan-keterangan lain mengenai orang-orang di
Perjanjian Baru yang mempercayai roh-roh jahat sebagai berhala atau ”allah-allah”,
dapat ditemukan di Kisah para Rasul 17:16-18; yang menceritakan tentang
penginjilan Paulus di Atena, daerah yang ”penuh dengan patung-patung berhala”,
karena begitu banyak berhala-berhala yang disembah. Setelah mendengar
penginjilan Paulus, orang-orang itu berkata; ”Rupa-rupanya ia adalah pemberita
ajaran dewa-dewa (roh-roh jahat) asing (baru).” Sebab ia memberitakan Injil
tentang Yesus dan tentang kebangkitannya.” karena itu mereka mengira bahwa
”Yesus” dan ”kebangkitannya” adalah roh-roh jahat atau berhala yang baru,
sebagaimana yang telah dijelaskan kepada mereka. Jika anda membaca bagian akhir
dari pasal ini, dijelaskan bahwa Paulus mengajarkan kebenaran kepada mereka,
lalu di ayat 22 ia mengatakan; ”kamu sangat beribadah kepada dewa-dewa.” Kemudian
ia menjelaskan bahwa Allah tidak terdapat di dalam berhala-berhala atau roh-roh
jahat. Dengan mengingat bahwa Allah adalah satu-satunya sumber dari segala
kuasa, maka jika Ia tidak terdapat di dalam roh-roh jahat, berarti roh-roh
jahat itu tidak mempunyai kuasa, karena tidak ada sumber kuasa lain di dunia
ini. Kesimpulannya, mereka itu tidak ada.
”Roh-roh jahat” di dalam Perjanjian Lama adalah
berhala-berhala
Kembali ke Perjanjian Lama, terdapat
keterangan-keterangan yang lebih banyak, bahwa ”roh-roh jahat” sama dengan
berhala. Ulangan 28:22-28, 59-61, menjelaskan tentang penyakit mental sebagai
salah satu dari hukuman-hukuman bagi para penyembah berhala/roh-roh jahat. Hal
ini menjelaskan hubungan antara roh-roh jahat dengan penyakit mental di dalam
Perjanjian Baru. Perlu dicatat, roh-roh jahat ada hubungannya dengan penyakit,
bukan dosa. Tidak catatan bahwa Yesus mengusir roh-roh jahat keluar dari
seseorang yang iri hati, pembunuh, dll. Dan juga harus menjadi catatan bahwa
Alkitab mencatat orang-orang yang memiliki penyakit/roh-roh jahat, bukan
mencatat roh-roh jahat yang menyebabkan penyakit. Di dalam Alkitab Perjanjian
Lama berbahasa Yunani (Septuaginta), menggunakan kata ”daimonion” untuk
”berhala” pada Ulangan 32:17 dan Mazmur 106:37; kata ini diterjemahkan menjadi
”roh-roh jahat” di dalam Perjanjian Baru. Mazmur 106:36-39 menceritakan tentang
dosa-dosa bangsa Israel dan menyamakan berhala-berhla Kanaan dengan roh-roh
jahat;
”Mereka (Israel) beribadah kepada berhala-berhala
mereka, yang menjadi perangkap bagi mereka. Mereka mengorbankan anak-anak
lelaki mereka, dan anak-anak perempuan mereka kepada roh-roh jahat, dan
menumpahkan darah orang yang tak bersalah, darah anak-anak lelaki dan anak-anak
perempuan mereka, yang mereka korbankan kepada berhala-berhala Kanaan...Mereka
menajiskan diri dengan apa yang mereka lakukan, dan berzinah dalam
perbuatan-perbuatan mereka.”
Jelas sekali, bahwa roh-roh jahat hanyalah istilah
lain dari berhala-berhala. Penyembahan kepada roh-roh jahat yang mereka
lakukan, dikatakan Allah sebagai penyembahan ”kepada apa yang mereka
lakukan...dalam perbuatan-perbuatan mereka” karena mereka percaya kepada
roh-roh jahat yang adalah hasil dari imajinasi manusia; berhala-berhala yang
mereka ciptakan adalah hasil dari ”perbuatan-perbuatan mereka.” Jadi, mereka
yang mempercayai roh-roh jahat pada saat ini berarti mempercayai hal-hal yang
merupakan hasil imajinasi manusia, buatan manusia, daripada mempercayai apa
yang telah diajarkan Allah kepada kita.
Ulangan 32:15-24 menceritakan tentang bagaimana
kemarahan Allah ketika mendapati umatNya percaya kepada roh-roh jahat; bangsa
Israel ”memandang rendah gunung batu keselamatannya. Mereka membangkitkan
cemburuNya dengan allah asing, mereka menimbulkan sakit hatiNya dengan dewa
kekejian. Mereka mempersembahkan korban kepada roh-roh jahat uyang bukan Allah,
kepada Allah yang tidak mereka kenal...yang kepadanya nenek moyangmu tidak
gentar...Ia (Allah) berfirman: Aku hendak menyembunyikan wajahKu terhadap
mereka...sebab mereka itu suatu angkatan yang bengkok, anak-anak yang tidak
mempunyai kesetiaan. Mereka membangkitkan cemburuKu dengan yang bukan Allah,
mereka menimbulkan sakit hatiku dengan berhala mereka...Aku akan menimbun
malapetaka ke atas mereka.”
Jadi, Allah menjelaskan bahwa roh-roh jahat sama
dengan berhala-berhala dan dewa kekejian; hal yang sia-sia untuk dipercayai
karena keberadaannya yang sama sekali tidak ada. Percaya kepada roh-roh jahat
menunjukkan kurangnya iman kepada Allah. Memang tidak mudah untuk mempercayai
bahwa Allah yang menyebabkan hal-hal yang baik dan hal-hal yang jahat terjadi
di dalam hidup kita. Lebih mudah untuk berpikir bahwa hal-hal yang jahat tidak
berasal dari Allah. Karena, jika kita mengatakan segala sesuatu berasal dari
Allah, maka kita juga harus mempercayai bahwa Allah yang akan mengambilnya dari
kita, atau hal-hal tersebut akan bermanfaat bagi kita dikemudian hari.
Roh-roh jahat Perjanjian Baru
Mungkin anda bertanya; ”Bagaimana dengan ayat-ayat
di dalam Perjanjian Baru yang dengan jelas berbicara tentang roh-roh jahat?”
Satu hal yang harus kita pahami: ayat-ayat di dalam
Alkitab tidak saling bertentangan, karena itu adalah firman dari Allah yang
Maha kuasa. Jika Alkitab memberitahu kita bahwa Allah yang menyebabkan
masalah-masalah di dalam kehidupan kita, dan Ia adalah sumber dari segala
kuasa, maka pada bagian lain, Alkitab tidak akan mengatakan bahwa roh-roh
jahat, allah-allah yang menentang Allah, sebagai penyebab dari masalah-masalah
kita. Sepertinya ada hal yang penting, karena kata ”roh-roh jahat” hanya muncul
empat kali di dalam Perjanjian Lama (Alkitab dalam bahasa Inggris) dan selalu
menjelaskan tentang penyembahan berhala. Tetapi di dalam catatan Injil, kata
itu muncul banyak kali. Kami menyimpulkan hal ini karena pada waktu Injil
dicatat, bahasa yang digunakan adalah bahasa pada waktu itu. Ketika menjelaskan
berbagai penyakit yang tidak mereka pahami, mereka menganggap roh-roh jahat
sebagai penyebabnya. Jika roh-roh jahat benar-benar ada, dan bertanggung jawab
atas semua penyakit dan masalah kita, maka pasti ada penjelasan lebih lanjut
tentang hal itu di dalam Perjanjian Lama. Tetapi, tidak ada penjelasan mengenai
hal itu dalam konteks yang kita bahas.
Roh-roh jahat di dalam Perjanjian Baru
Dengan mengatakan bahwa roh-roh jahat dikeluarkan
dari seseorang, sama dengan mengatakan bahwa ia disembuhkan dari penyakit
mental atau kegilaan. Yang tidak dipahami pada masa itu. Orang-orang yang hidup
pada abad pertama lebih cenderung menyalahkan segala sesuatu yang tidak mereka
pahami, kepada sesuatu yang abstrak, yang disebut ”roh-roh jahat.” Pada saat
itu penyakit mental sulit untuk dipahami, karena tingkat ilmu kedokteran mereka
yang masih rendah. Oleh karenanya, orang-orang yang hidup pada masa itu
mengatakan, bahwa orang-orang yang mengidap penyakit mental, ”dikuasai roh-roh
jahat.” Pada masa Perjanjian Lama, kata roh jahat atau roh najis, menunjuk
kepada keadaan mental seseorang (Hak. 9:23; 1 Sam. 16:14; 18:10). Dalam masa
Perjanjian Baru, bahasa ”dikuasai iblis/roh-roh jahat” menunjuk kepada penyakit
mental yang diderita seseorang. Hubungan antara roh-roh jahat dan penyakit
ditunjukkan dalam ayat berikut ini; ”Menjelang malam dibawalah kepada Yesus
banyak orang yang kemasukkan setan dan dengan sepatah kata Yesus mengusir
roh-roh itu...Hal itu terjadi supaya genaplah firman yang disampaikan oleh nabi
Yesaya; ”Dialah yang memikul kelemahan kita dan menanggung penyakit kita” (Mat.
8:16,17). Jadi, kelemahan dan penyakit kita sama dengan dirasuki oleh ”roh-roh
jahat” dan ”roh-roh setan.”
Banyak orang mengira bahwa Yesus sedang marah, dan
mengatakan bahwa ia dirasuki setan/roh-roh jahat, ”Ia kerasukan setan dan gila”
(Yoh. 10:20; 7:19,20; 8:52). Pastilah mereka mempercayai bahwa roh-roh jahat
yang menyebabkan kegilaan.
Menyembuhkan orang sakit
Ketika mereka sudah disembuhkan, orang-orang yang
”dirasuki oleh roh-roh jahat”, dikatakan telah kembali ke keadaan yang ”waras”
– Mrk. 5:15; Luk. 8:35. Yang secara tidak langsung menyatakan bahwa ”dirasuki
oleh roh-roh jahat” adalah istilah lain untuk mengatakan keadaan mental seseorang
yang terganggu, yaitu tidak waras.
Orang-orang yang ”dirasuki oleh roh-roh jahat”
dikatakan telah ”disembuhkan” atau ”diobati” – Mat. 4:24; 12:22; 17:18 – Yang
secara tidak langsung menyatakan bahwa dirasuki oleh roh-roh jahat adalah
istilah lain untuk menjelaskan suatu penyakit.
Dalam Lukas 10:9, Yesus berkata kepada 70
murid-muridnya untuk pergi dan ”menyembuhkan orang-orang sakit” sebagai tugas
yang harus mereka lakukan. Ketika mereka kembali, ayat 17; ”Tuhan, juga
setan-setan takluk kepada kami demi namamu”- sekali lagi, roh-roh jahat dan
penyakit dikaitkan. Kadang-kadang para murid mengobati orang-orang sakit dalam
nama Yesus, dari kisah ini kita mendapatkan contoh dari hal-hal yang kita
bahas. (lihat juga Kis. 3:6; 9:34).
Bahasa pada waktu itu
Jadi, seperti yang telah dijelaskan, Perjanjian
Baru ditulis dalam bahasa yang dipahami pada waktu itu, untuk menjelaskan
seseorang yang dirasuki oleh roh-roh jahat; yang sebenarnya adalah penyakit
mental. Karena tidak ada yang dapat memahaminya pada saat itu. Kebudayaan pada
zaman pemerintahan Roma dan Yunani, memepercayai bahwa roh-roh jahat dapat
merasuki seseorang, sehingga menyebabkan penyakit mental. Orang-orang ”Kristen”
yang mempercayai keberadaan dari roh-roh jahat, sama dengan mengatakan bahwa
kebudayaan dari para penyembah berhala pada saat itu, sangat betul sekali.
Alkitab ditulis dalam bahasa yang dapat dipahami pada masa itu, tetapi tidak
mengartikan bahwa Alktiab atau Yesus mempercayai keberadaan roh-roh jahat. Sama
seperti ungkapan ”makan garam”, yang digunakan untuk menjelaskan seseorang yang
berpengalaman, yang sama sekali tidak mengartikan bahwa, seseorang bisa menjadi
berpengalaman, karena ia banyak makan garam.
Jika ungkapan ini ditulis pada selembar kertas,
kemudian dibaca kembali 2000 tahun kedepan – jika Yesus tidak datang kembali –
mungkin orang-orang akan mengira, bahwa dengan makan garam mereka dapat menjadi
berpengalaman. Jelas sekali, mereka salah, karena kita menulisnya berdasarkan
bahasa yang dimengerti pada zaman kita, seperti yang dilakukan oleh Yesus 2000
tahun yang lalu. Sama halnya dengan perayaan hari natal. Telah terbukti bahwa
Yesus Kristus tidak dilahirkan pada tanggal 25 Desember, tetapi penulis buku
ini masih menyebut hari tersebut adalah hari natal, walaupun saya tidak percaya
bahwa kita diharuskan untuk merayakan hari tersebut sebagai hari kelahiran
Kristus. Nama-nama hari dalam satu minggu dibuat berdasarkan kebudayaan para
penyembah berhala, misalnya ”Sunday” (hari minggu) yang berarti ”hari yang
dikhususkan untuk menyembah matahari”; ”Saturday” (hari sabtu) hari dimana
planet saturnus harus disembah; ”Monday” (hari senin) hari untuk bulan, dst.
Dengan menggunakan nama-nama hari ini, tidak berarti kita mempercayai
penyembahan berhala, karena nama-nama hari tersebut dibuat berdasarkan bahasa
yang kita gunakan pada saat ini. Seperti kata ”influenza” yang sering digunakan
pada saat ini; kata tersebut sebenarnya berasal dari ”influenced by demons”
(yang disebabkan oleh roh-roh jahat). Begitu juga dengan Daniel, yang namanya dirubah
menjadi ”Beltsazar”, nama ini adalah cerminan dari dewa-dewa berhala. Alkitab
mencatatnya di Daniel 9:14. Ketika Daniel dipanggil ”Beltsazar”, tidak ada
keterangan yang menjelaskan bahwa nama itu merupakan cerminan dari pemikiran
yang salah. Sama halnya dengan menyebut ”Paus” untuk mengidentifikasikan
seseorang, walaupun saya tahu yang sebenarnya adalah salah dengan menyebut dia
sebagai ”Paus” atau Bapa (Mat. 23:9).
Pada zaman Yehezkiel, ada mitos bahwa tanah Israel
bertanggungjawab atas nasib malang yang menimpa mereka yang tinggal diatasnya.
Hal ini tidak benar, walaupun Allah memberikan jawaban kepada Israel dengan
menggunakan gagasan yang kemudian menjadi populer; ”Beginilah firman Tuhan
Allah: Oleh karena orang berkata tentangmu: engkau memakan orang dan engkau
memunahkan bangsamu, oleh karena itu engkau (tanah Israel) tidak akan makan
orang lagi...demikianlah firman Tuhan Allah” (Yeh. 36:13,14). Ada suatu gagasan
yang berasal dari para penyembah berhala, bahwa di dalam laut terdapat makhluk
mengerikan yang sangat besar, yang ingin menelan bumi. Walaupun hal ini tidak
terbukti benar, tetapi Alkitab sering menggunakan hal ini sebagai gambaran agar
yang membacanya dapat memahami hal yang sedang dijelaskan; lihat Ayub 7:12;
Amos 9:13; Yeremia 5:22; Mazmur 89:9; Habakuk 3:10; Matius 14:24; Markus 4:30.
Mitos orang-orang Asyur menyebutkan bahwa makhluk laut yang suka memberontak
ini bernama ”Rahab” dan nama ini juga diberikan kepada makhluk laut yang
mengerikan dari bangsa Mesir – Yesaya 51:9.
Dengan mengingat bahwa Alkitab diilhamkan Allah
maka, mustahil Alkitab terpengaruh dengan hal-hal yang berkaitan dengan
penyembahan berhala pada waktu penulisannya. Pastilah Allah dengan sengaja
menyinggung kepercayaan yang diyakini pada masa itu, dengan tujuan untuk
menunjukkan bahwa Ia adalah sumber dari segala kuasa; Ia yang mengendalikan
”makhluk mengerikan” di laut, sehingga Ia berkuasa atasnya. Oleh karena itu,
Allah kemudian mengoreksi kepercayaan yang salah dari orang-orang itu, yang
mengakui bahwa ada kuasa-kuasa di dalam dunia ini yang tidak berada di bawah
pengaturan Allah, sehingga disimpulkan bahwa kuasa-kuasa itu berasal dari
iblis. Walaupun begitu, dalam hal ini, Alkitab tidak menentang pemahaman
mereka, dan mengutuknya sebagai suatu kebodohan untuk mempercayai keberadaan
makhluk raksasa yang bersembunyi di dalam laut, atau laut disebut sebagai
makhluk yang mengerikan.
Contoh yang lain terdapat didalam penjelasan
tentang halilintar dan awan badai, yang disebut sebagai ”ular yang tangkas”
(Ayub 26:13; Yes. 17:1). Hal ini dengan jelas menyinggung kebudayaan para
penyembah berhala yang mempercayai bahwa halilintar dan gumpalan awan yang
menakutkan adalah ular raksasa. Ayat-ayat ini tidak menyebutkan bahwa gagasan
tersebut adalah suatu hal yang bodoh, atau dijelaskan secara ilmiah.
Sebaliknya, ayat-ayat tersebut mengatakan bahwa Allah yang mengendalikan semua
itu. Sama dengan sikap Kristus sewaktu menanggapi kepercayaan yang secara umum
diyakini pada masa itu, yakni tentang roh-roh jahat. Mujizat-mujizat yang ia
lakukan dengan jelas menunjukkan bahwa kuasa mutlak dan sempurna, tidak
dibatasi oleh tahayul-tahayul tentang ”roh-roh jahat.” Bagi mereka yang
percaya, bahwa catatan-catatan dalam Perjanjian Baru tentang ”roh-roh jahat”
membuktikan bahwa hal-hal tersebut memang betul-betul ada; maka, mereka juga
harus mempercayai bahwa laut adalah makhluk yang mengerikan, dan halilintar
adalah ular raksasa. Sebagai dasar, kita harus memahami tentang penggunaan
bahasa yang dimengerti pada masa penulisan Alkitab, dan menghormatinya tanpa
harus mempercayai kepercayaan-kepercayaan yang mendasarinya. Seperti yang telah
kami jelaskan tentang contoh-contoh penggunaan bahasa pada saat ini, begitu
juga dengan yang dilakukan Alkitab, dengan tujuan untuk membenarkan beberapa
dari dasar-dasar kebenaran yang telah kita bahas dalam pelajaran 6.1 dan 6.2,
yaitu; Allah maha kuasa; Ia bertanggungjawab atas masalah-masalah kita; dosa
berasal dari kita sendiri. Semua hal-hal ini dapat kita pahami dengan
menghargai kebesaran dari kuasa Allah untuk menyelamatkan kita. Mereka yang
disebut ”pengkritik tajam” tidak henti-hentinya berusaha menemukan hubungan
antara bahasa yang digunakan Alkitab dengan kepercayaan dan konsep dari
kebudayaan setempat, dimana Alkitab dicatat. Hal ini tidak dapat dimengerti,
karena penggunaan bahasa di dalam Alkitab yang menyinggung
kepercayaan-kepercayaan setempat bertujuan untuk mengarahkan kepada Yahweh,
satu-satunya Allah yang benar. Tidak seperti yang dipahami oleh orang-orang
yang berpikiran picik, yang mengatakan bahwa firman-firman terilham yang
didengar langsung dari mulut nabi-nabi, firman itulah yang benar.
Dengan didasari atas pemahaman yang telah
dijelaskan, akan mengejutkan jika kita menemukan banyak contoh di dalam
Perjanjian Baru tentang penggunaan bahasa pada waktu itu yang sama sekali tidak
dikoreksi, berikut ini ada beberapa contoh;
- Orang-orang Farisi menuduh Yesus melakukan mujizat-mujizat dengan kuasa dari allah palsu yang disebut Beelzebul. Yesus mengatakan, ”jadi, jika aku mengusir setan dengan kuasa Beelzebul, dengan kuasa siapakah pengikut-pengikutmu mengusirnya?” (Mat. 12:27). II Raja-raja 1:2 dengan mengatakan bahwa Beelzebul adalah allah palsu dari bangsa Filistin. Tetapi, Yesus tidak mengatakan, ”lihat, II Raj. 1:2 mengatakan Beelzebul adalah allah palsu, jadi tuduhan kalian tidak benar.” Tetapi dia malah menjawab seakan-akan Beelzebul betul-betul ada. Karena dia ingin pesan yang ingin ia sampaikan dapat dipahami oleh orang-orang yang ia ajar. Yesus menjawab dengan cara yang sama ketika ia mengusir roh-roh jahat, tetapi ia tidak mengatakan, ”sebenarnya mereka tidak ada.” Dia memberitakan Injil dengan menggunakan bahasa yang dipahami pada waktu itu.
- Kisah para Rasul 16:16-18 adalah kata-kata dari
Lukas yang berada di bawah ilham; ”kami bertemu dengan seorang hamba perempuan
yang mempunyai roh tenung.” Sebagaimana yang dijelaskan pada catatan kaki dalam
Alkitab interlinear (Diaglott version), Phyton (roh tenung) adalah nama allah
palsu yang dipercayai pada masa abad pertama, kemungkinan sama dengan dewa
Apollo. Jadi, Phyton sebenarnya tidak ada. Dan Lukas tidak mengatakan bahwa
perempuan itu ”dirasuki oleh Phyton (roh tenung), yang adalah allah palsu, yang
keberadaannya sama sekali tidak ada.” Dengan cara yang sama, Injil mencatat
tentang peristiwa Yesus ”mengusir roh-roh jahat.” yang sebenarnya tidak
betul-betul ada. Kata-kata tersebut hanyalah bahasa yang digunakan pada masa
itu untuk menjelaskan penyakit-penyakit.
- Lukas 5:32 menceritakan tentang Yesus yang sedang
berbicara dengan orang-orang Yahudi yang jahat; ”Aku datang bukan untuk
memanggil orang benar...” sebenarnya, ia harus mengatakan; ”Aku datang bukan
untuk memanggil orang-orang yang merasa dirinya benar.” Tetapi, Yesus
mengatakannya menurut jalan pikiran mereka, yang sebenarnya tidak benar
demikian. Lukas 19:20-23 menjelaskan tentang perumpamaan uang mina, dimana
Yesus menggunakan kata-kata yang tidak benar, ketika menjelaskan jawaban yang
diberikan kepada hamba yang ketiga, tetapi ia tidak mengoreksi kata-kata
tersebut.
- Alkitab sering kali berbicara tentang matahari
”terbit” dan ”tenggelam”; ini adalah cara manusia untuk menjelaskan peristiwa
itu. Tetapi secara ilmiah hal ini tidak benar. Seperti penjelasan tentang
penyakit-penyakit, yang dijelaskan dengan menggunakan kata-kata yang tidak
benar, yaitu ”roh-roh jahat.” Kisah para Rasul 5:3 menceritakan tentang
bagaimana Ananias mendustai roh kudus. Sebenarnya hal ini tidak mungkin
terjadi, karena roh kudus tidak dapat dibohongi.
- Banyak contoh-contoh dalam Alkitab tentang
penggunaan bahasa yang dipahami pada masa penulisan Alkitab, tetapi tidak lazim
bagi kita. Contoh; ”kulit ganti kulit” (Ayub 2:4), yang menyinggung kebiasaan
yang dilakukan pada zaman purbakala, yaitu menjual kulit-kulit dengan harga
yang sebanding. Pria sundal disebut ”semburit bakti” di Ulangan 23:18.
Contoh-contoh yang lain adalah tentang roh-roh jahat.
- Pada zaman Kristus, orang-orang Yahudi mengira
bahwa mereka adalah orang-orang yang benar, Karena mereka adalah keturunan
Abraham. Oleh karena itu Yesus menyebut mereka sebagai ”orang benar” (Mat.
9:12,13), dan berkata, ”Aku tahu bahwa kamu adalah keturunan Abraham” (Yoh.
8:37). Tetapi dia tidak menganggap mereka sebagai orang yang benar, seperti
yang ia jelaskan dengan jelas, melalui jawaban-jawabannya di Yohanes 8:39-44,
ia mengatakan bahwa mereka bukan keturunan Abraham. Jadi, sebagai pembukaan,
Yesus mengikuti apa yang dipercayai oleh banyak orang, tanpa dengan segera
membantah apa yang mereka yakini, kemudian setelah itu barulah ia menunjukkan
hal yang benar. Kami telah menjelaskan, bahwa pendekatan seperti inilah yang
digunakan Allah sewaktu menyinggung kepercayaan para penyembah berhala, yang
pada umumnya diyakini oleh banyak orang pada masa Perjanjian Lama. Sama dengan
cara Kristus dalam menyikapi roh-roh jahat di dalam Perjanjian Baru; Allah
menghendaki ia melakukan banyak mujizat agar mereka mengetahui dengan jelas
bahwa Allah yang menyebabkan penyakit, bukan kuasa lain, dengan
mempertimbangkan bahwa mereka disembuhkan oleh kuasa Allah yang maha besar.
- Paulus mengutip puisi-puisi Yunani yang terkenal
dalam sejumlah ayat yang membingungkan, dengan tujuan untuk mengutuk mereka
yang mempercayai isi dari puisi-puisi itu (Tit. 1:12; Kis. 17:28). Yang ingin
kami kemukakan adalah cara yang digunakan Paulus dalam memberikan jawaban,
ketika ia menemukan altar yang dibuat untuk memberikan persembahan kepada
”Allah yang tidak dikenal”, yaitu dewa-dewa berhala yang mungkin benar-benar
ada, yang belakangan ditinggalkan oleh orang-orang Atena. Daripada membantah
mereka atas kepercayaan yang bodoh ini, Paulus malah mengikuti jalan pikiran
mereka, agar mereka dapat mengetahui Allah yang benar, yang tidak mereka kenal
(Kis. 17:22,23).
- Efesus 2:2 berbicara tentang ”penguasa kerajaan
angkasa.” Hal ini dengan jelas menyinggung konsep mitologi zoroaster, salah
satu hal yang dipercayai oleh pembaca surat-surat Paulus. Paulus mengatakan
bahwa dulu mereka pernah mentaati ”penguasa kerajaan angkasa.” Masih dalam ayat
yang sama, Paulus menjelaskannya sebagai ”roh yang sekarang sedang bekerja
diantara orang-orang durhaka.” Karena sebelumnya mereka pernah mempercayai
konsep penyembahan berhala tentang roh pangeran angkasa. Kemudian Paulus
menjelaskan, bahwa sebenarnya hal tersebut adalah hal-hal yang jahat di dalam
hati mereka sendiri. Karena inilah, maka gagasan dari penyembahan berhala
disinggung tanpa dibantah sama sekali, ketika Paulus menjelaskan hal-hal yang
benar, yang berkaitan dengan dosa.
- Kisah para Rasul 28:3-6 menceritakan tentang
seekor ular beracun yang menggigit Paulus di tangannya. Orang-orang di
sekeliling Paulus menuduhnya sebagai pembunuh yang ”tidak dibiarkan hidup oleh
dewi keadilan.” Mereka tidak memahami apa yang terjadi sebenarnya, tetapi
Paulus tidak mengoreksi mereka, ia malah membuat suatu keajaiban, dengan melemparkan
ular itu ke dalam api tanpa terluka sedikitpun.
- Mujizat-mujizat yang dilakukan Yesus
menyingkapkan pandangan yang salah dari orang-orang yang melihatnya, misalnya
tentang roh-roh jahat. Ia tidak mengoreksi mereka dengan banyak kata. Begitu juga
dengan Lukas 5:21, sewaktu orang Yahudi mengatakan dua pernyataan yang salah;
Yesus disebut penghujat, dan hanya Allah sendiri yang dapat mengampuni dosa.
Tetapi Yesus tidak terang-terangan mengoreksi mereka, ia malah membuat mujizat
untuk membuktikan bahwa pernyataan mereka itu salah.
- Dengan jelas kita dapat melihat bahwa Yesus
adalah orang yang banyak bertindak daripada banyak berbicara. Jarang sekali ia
mencela langsung gagasan-gagasan yang salah, ia juga tidak mencela hukum Musa,
yang dianggap oleh banyak orang dapat memberikan keselamatan. Tetapi ia
menunjukkannya melalui tindakannya, misalnya dengan menyembuhkan orang sakit
pada hari sabat, yang sebenarnya dilarang. Ketika ia dituduh sebagai orang
Samaria, ia tidak membantahnya (Yoh. 8:48,49 bandingkan 4:7-9) demi statusnya
sebagai orang Yahudi, keturunan Abraham, yang memegang peranan penting dari
rencana keselamatan Allah (Yoh. 4:22).
Bahkan ketika orang-orang Yahudi menyatakan
kesimpulan yang salah dengan mengatakan bahwa Yesus ”menyamakan dirinya dengan
Allah” (Yoh. 5:18), Yesus tidak dengan tegas menyangkalnya; sebaliknya, ia
malah mendebatkan tentang mujizat-mujizatnya, yang menunjukkan bahwa ia datang
atas nama Allah, yang membuktikan bahwa ia TIDAK sama dengan Allah. Sebagaimana
halnya mujizat-mujizat Yesus membuktikan kepercayaan yang salah tentang roh-roh
jahat. Begitu juga dengan mujizat Kristus sewaktu ia menyembuhkan orang lumpuh
di kolam Betesda. Ia bertujuan untuk menunjukkan kebodohan dari mitos
orang-orang Yahudi, yang mempercayai bahwa pada waktu Paskah, seorang malaikat
menyentuh air di kolam itu, sehingga dapat menyembuhkan orang-orang sakit.
Mitos ini dicatat tanpa disinggung sedikitpun mengenai kebenarannya; dan
mujizat yang dilakukan Yesus bertujuan untuk menunjukkan kesalahan dari mitos
tersebut (Yoh. 5:4).
- II Petrus 2:4 menceritakan tentang orang-orang
yang pergi menuju ke Tartarus (diterjemahkan menjadi ”neraka”). Tartarus adalah
mitos tentang suatu tempat bagi orang-orang jahat. Tetapi Paulus tidak
mengoreksinya, ia malah menggunakannya sebagai simbol dari pembinasaan dan
penghukuman atas dosa. Begitu juga sewaktu Kristus menggunakan kata Gehenna
(lihat pelajaran 4.9)
Apakah Roh-roh jahat adalah penyebab dari berbagai
penyakit?
Setiap orang yang percaya akan keberadaan dari roh-roh
jahat, harus menanyai dirinya sendiri; ”Ketika saya sakit, apakah disebabkan
oleh roh-roh jahat?” Jika anda mengira bahwa referensi tentang roh-roh jahat
didalam Perjanjian Baru menunjuk kepada allah-allah palsu yang berkeliling
dunia untuk melakukan kejahatan; jika anda mengatakan bahwa hal ini benar,
bagaimana anda dapat menjelaskan tentang fakta dari berbagai penyakit yang
disebabkan oleh roh-roh jahat, dapat disembuhkan atau dikendalikan dengan
obat-obatan? Contoh klasik adalah penyakit malaria, sebagian besar orang di
Afrika hingga saat ini mempercayai bahwa malaria disebabkan oleh roh-roh jahat.
Seperti yang kita ketahui bersama, malaria dapat disembuhkan dengan air daun
kina, atau obat-obatan yang lain. Lalu, apakah anda akan mengatakan, bahwa
ketika roh-roh jahat melihat tablet-tablet kuning yang masuk ke dalam
tenggorokan anda, mereka menjadi takut dan pergi? Beberapa penyakit yang
disembuhkan Yesus, yang disebabkan karena dirasuki roh-roh jahat, telah
diidentifikasi sebagai penyakit Tetanus atau Epilepsi, dan keduanya dapat
disembuhkan dengan menggunakan obat-obatan.
Saya mempunyai seorang sahabat yang berasal dari sebuah desa yang terletak di luar kota Kampala, Uganda. Ia mengatakan bahwa orang-orang diharuskan untuk mempercayai bahwa malaria disebabkan oleh roh-roh jahat. Tetapi ketika mereka melihat bagaimana penyakit itu dapat dikendalikan dengan mudahnya melalui obat-obatan, mereka berhenti menyalahkan roh-roh jahat. Seorang dokter dari kota terdekat, datang dan menawarkan kepada mereka obat-obat anti malaria untuk penyembuhan, tetapi mereka menolaknya, dan mengatakan bahwa mereka memerlukan sesuatu untuk melawan roh-roh jahat, bukan malaria. Dokter itu kemudian datang kembali dan mengatakan, ”saya mempunyai obat yang dapat mengusir roh-roh jahat”; lalu orang yang sakit segera mengambil obat itu, dan keadaannya menjadi lebih baik; cara yang sama juga digunakan ketika memberi tablet yang kedua. Dokter itu tidak mempercayai roh-roh jahat, tetapi ia hanya menggunakan bahasa yang dipahami oleh orang-orang itu, sama seperti yang dilakukan oleh ”Dokter yang Agung” yaitu Yesus, 2000 ta
7.1 Nubuat tentang Yesus di Perjanjian Lama
Pada pelajaran 3 dijelaskan bagaimana rencana
keselamatan Allah untuk manusia berpusat pada Yesus Kristus. Janji-janji yang
Allah berikan kepada Hawa, Abraham, dan Daud, semuanya berbicara tentang Yesus,
yang berasal dari garis keturunan mereka. Karena itu, secara keseluruhan
Perjanjian Lama merupakan gambaran ke depan tentang Yesus, dan juga menubuatkan
tentang dia. Hukum Musa, yang harus ditaati oleh Israel sebelum kedatangan
Kristus; adalah gambaran ke depan tentang Yesus: ”Hukum Taurat adalah penuntun
bagi kita sampai Kristus datang” (Gal. 3:24). Karena itu, pada waktu perayaan
Paskah, seekor anak domba yang tidak bercela harus dibunuh (Kel. 12:3-6); yang
merupakan gambaran dari pengorbanan Yesus, ”Anak domba Allah yang menghapus
dosa dunia” (Yoh. 1:29; I Kor. 5:7). Kondisi yang tidak bercela, yang
diwajibkan bagi seluruh binatang yang akan dikorbankan, merupakan gambaran
tentang karakter Yesus yang sempurna (Kel. 12:5 bandingkan I Ptr. 1:19).
Di dalam Mazmur dan kitab nabi-nabi Perjanjian
Lama, terdapat nubuat yang berkelanjutan tentang Mesias. Terutama mengenai
keterangan-keterangan bagaimana ia akan mati Penolakan Yudaisme atas gagasan
tentang kematian Mesias, diebabkan kurangnya pemahaman mereka atas
nubuat-nubuat ini, beberapa diantaranya adalah;
Nubuat Perjanjian Lama
|
Penggenapan oleh Kristus
|
”Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan
aku?” (Mzm. 22:1)
|
Inilah kata-kata yang Yesus ucapkan di kayu salib
(Mat. 27:46)
|
”Semua yang melihat aku mengolok-olok aku, mereka
mencibirkan bibirnya, menggelengkan kepalanya: ”Ia menyerah kepada Tuhan;
biarlah Dia yang melepaskannya; biarlah Dia yang meluputlkannya” (Mzm. 22:6-8)
|
Orang-orang Israel menghina Yesus dan
mengolok-oloknya (Luk. 23:35; 8:53); mereka menggelengkan kepala mereka (Mat.
27:39), dan mengatakan hal ini ketika Yesus disalib (Mat. 27:43)
|
”Lidahku melihat pada langit-langit
mulutku…mereka menusuk tangan dan kakiku” (Mzm. 22:16,17)
|
Ayat ini digenapi ketika Yesus merasa haus (Yoh.
19:28). Penusukan tangan dan kaki adalah cara yang digunakan untuk penyaliban
|
“Mereka membagi-bagikan pakaianku di antara
mereka, dan mereka membuang undi atas jubahku” (Mzm. 22:19)
|
Penggenapan ayat ini terdapat di Matius 27:35
|
Catat, Mazmur 22:22 dikutip khusus kepada Yesus,
di Ibrani 2:12
|
|
“Aku telah menjadi orang-orang luar bagi
saudara-saudaraku, orang asing bagi anak-anak ibuku; sebab cinta untuk
rumahMu menghanguskan aku” (Mzm. 69:9,10)
|
Ayat ini menjelaskan perasaan Yesus ketika ia
diasingkan oleh saudaranya sesama Yahudi dan keluarganya sendiri (Yoh. 7:3-5;
Mat. 12:47-49). Ayat ini juga dikutip di Yohanes 2:17
|
“mereka memberi aku makan racun, dan pada waktu
aku haus, mereka memberi aku minum anggur asam” (Mzm. 69:22)
|
Hal ini terjadi ketika Yesus disalib (Mat. 27:34)
|
Seluruh ayat di Yesaya 53 adalah nubuat tentang
kematian dan kebangkitan Kristus; dari setiap ayat, tidak ada yang
tidakdigenapi. Berikut ini ada dua ayat dari antaranya;
|
|
“dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka
mulutnya seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian ke pembantaian” (Yes.
53:7)
|
Kristus, anak domba Allah, tetap bungkam selama
penderitaannya (Mat. 27:12,14)
|
”Orang-orang menempatkan kuburnya di antara
orang-orang fasik, dan dalam matinya ia ada di antara penjahat-penjahat”
(Yes. 53:9)
|
Yesus disalib bersama penjahat (Mat. 27:38),
tetapi dikubur di pekuburan orang-orang kaya (Mat. 27:57-60)
|
Suatu hal yang menakjubkan, Perjanjian Baru mengingatkan
kita tentang ”hukum taurat dan kitab nabi-nabi” di Perjanjian Lama sebagai
dasar pemahaman kita akan Kristus (Kis. 26:22; 28:23; Rm.1:2,3; 16:25,26).
Yesus sendiri memperingatkan, jika kita tidak memahami dengan benar tentang
”kitab-kitab Musa dan nabi-nabi”, maka kita tidak dapat memahami Yesus (Luk.
16:31; Yoh. 5:46,47).
Hukum Musa memberikan gambaran ke depan tentang
Yesus, dan nabi-nabi menubuatkan tentang dia. Hal ini cukup untuk membuktikan
bahwa Yesus tidak hadir di bumi secara fisik sebelum kelahirannya. Doktrin
palsu tentang ”keberadaan” Yesus secara fisik sebelum ia lahir, akan membuat
janji-janji yang diulangi tentang dia, yang akan menjadi keturunan dari Hawa,
Abraham, dan Daud, menjadi tidak ada artinya. Jika ia sebelumnya sudah berada
di surga pada waktu janji-janji itu diberikan, maka Allah telah salah
memberikan janji-janji kepada orang-orang ini sehubungan dengan keturunan
mereka yang akan menjadi Mesias. Silsilah Yesus yang dicatat di Matius 1 dan
Lukas 3 menunjukkan bahwa asal-usul Yesus berasal dari orang-orang yang kepada
mereka Allah memberikan janji-janji itu.
Janji-janji yang diberikan kepada Daud sehubungan
dengan Kristus, menyangkal keberadaan Yesus secara fisik pada waktu janji-janji
itu diberikan: ”Aku akan membangkitkan keturunanmu yang kemudian, anak
kandungmu...Aku akan menjadi Bapanya, dan ia akan menjadi anakKu” (II Sam.
7:12,14). Perhatikan bentuk kalimatnya, yang menjelaskan hal yang akan terjadi
di waktu yang akan datang. Dengan memperhatikan bahwa Allah akan menjadi Bapa
bagi Kristus, adalah suatu hal yang mustahil jika Anak Allah sudah ada
sebelumnya, sewaktu janji itu diberikan. Dikatakan bahwa keturunan itu adalah
”anak kandung” Daud, yang menunjukkan bahwa ia secara fisik adalah keturunan
Daud. ”Tuhan telah menyatakan sumpah setia kepada Daud...Seorang anak kandungmu
akan Kududukkan di atas takhtamu” (Mzm. 132:11).
Salomo menggenapi beberapa dari janji-janji itu,
tetapi ia sudah hidup pada waktu janji itu diberikan (II Sam. 5:14),
penggenapan secara keseluruhan dari janji-janji itu, yaitu tentang keturunan
Daud yang akan menjadi Anak Allah, digenapi oleh Yesus (Luk. 1:31-33), ”Aku
akan menumbuhkan Tunas Adil bagi Daud” (Yer. 23:5), yaitu Mesias.
Penggunaan bentuk kalimat yang sama juga digunakan
pada nubuat-nubuat yang lain tentang Kristus. ”Seorang nabi akan kubangkitkan
bagi mereka (Israel)” (Ul. 18:18) dikutip di Kis. 3:22,23, yang menjelaskan
bahwa ”nabi” itu adalah Yesus. ”Seorang perempuan muda (Maria) mengandung dan
akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan dia Imanuel”
(Yes. 7:14). Yang digenapi melalui kelahiran Kristus (Mat. 1:23).
7.2 Lahir dari seorang perawan
Catatan mengenai pembuahan dan kelahiran dari
Kristus, tidak mendukung gagasan bahwa ia telah ada sebelumnya. Mereka yang mendukung
doktrin “Tri Tunggal” menjelaskan suatu hal yang membingungkan, dimana pada
waktu yang sama ada 3 pribadi di surga, dan salah satu dari antara mereka
menghilang, lalu muncul di dalam rahim Maria, meninggalkan dua pribadi yang
lain di surga. Seperti yang telah kita pelajari dari tulisan kudus, bahwa semua
keberadaan – termasuk Allah – mempunyai bentuk yang dapat dilihat. Oleh karena
itu, keyakinan tentang “prakeberadaan” Yesus, yang pada suatu waktu turun dari
surga dan masuk ke dalam rahim Maria, tidak akan kita bahas. Teologi yang rumit
ini dengan jelas sekali telah keluar dari ajaran tulisan kudus. Catatan tentang
permulaan Yesus tidak memberikan alasan apapun untuk berpikir bahwa ia secara
fisik telah meninggalkan surga dan masuk ke dalam Maria. Kurangnya keterangan
tentang hal ini merupakan suatu “mata rantai yang hilang” yang sangat penting
dalam ajaran Tri Tunggal.
Malaikat Gabriel menampakkan dirinya kepada Maria
dengan membawa berita bahwa;
“Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan
melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai dia Yesus. Ia
akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Maha Tinggi…Kata Maria
kepada malaikat itu; “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum
bersuami?” (ia masih perawan). Jawab malaikat itu kepadanya: “Roh kudus akan
turun atasmu dan kuasa Allah Yang Maha Tinggi akan menaungi engkau; sebab itu
anak yang akan kau lahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah” (Luk. 1:31-35).
Dua kali ditegaskan, bahwa Yesus akan menjadi Anak
Allah melalui kelahirannya; jelas sekali, Anak Allah tidak ada sebelum ia
dilahirkan. Sekali lagi, penggunaan bentuk kalimat untuk menjelaskan kejadian
yang akan datang harus diperhatikan, yaitu: ”ia akan menjadi besar.” Jika Yesus
sudah ada sebelumnya, dan dengan memperhatikan kata-kata malaikat itu kepada
Maria, berarti ia sudah menjadi besar sebelum ia dilahirkan. Yesus adalah
”Tunas” Daud (Why. 22:16). Kata Yunani yang diterjemahkan menjadi tunas, yaitu
’genos’ mengartikan bahwa Yesus adalah ’generasi dari’ Daud.
Pembuahan Yesus
Melalui Roh Kudus (nafas/tenaga Allah) yang
menaunginya, Maria dapat mengandung Yesus tanpa harus melakukan hubungan dengan
laki-laki. Karena itu Yusuf bukanlah ayah Yesus yang sebenarnya. Harus
dipahami, bahwa Roh Kudus bukanlah suatu pribadi (lihat pelajaran 2); Yesus
adalah Anak Allah, bukan Anak Roh Kudus. Allah menggunakan Roh Kudusnya untuk
bekerja atas Maria, ”sebab itu anak yang kau lahirkan itu akan disebut kudus”
yang akan disebut ”Anak Allah” (Luk. 1:35). Penggunaan kata ”sebab itu”
menunjukkan bahwa tanpa Roh Kudus yang bekerja pada rahim Maria, Yesus, Anak
Allah, tidak akan ada.
Dijelaskan bahwa Yesus ”dikandung” dalam rahim
Maria (Luk. 1:31) juga merupakan bukti bahwa ia tidak ada sebelum hal itu
terjadi. Jika kita ”mengandung” suatu gagasan, maka hal itu dumulai dari dalam
diri kita. Seperti halnya Yesus yang dikandung di dalam rahim Maria, ia berawal
dari sana dalam bentuk sebuah janin, seperti halnya manusia. Yoh. 3:16 adalah
ayat yang paling dikenal, yang mencatat bahwa Yesus adalah ”AnakNya yang
tunggal.” Jutaan orang yang suka mengutip ayat ini, tidak dapat memahami pesan
apa yang terkandung di dalamnya. Jika Yesus ”diperanakkan” maka hal itu dimulai
ketika ia dikandung dalam rahim Maria. Jika Yesus diperanakkan oleh Allah
sebagai Bapanya, maka jelas sekali bahwa Bapanya lebih tua daripada dia – Allah
tidak berawal (Mzm. 90:2), dan oleh karena itu Yesus bukanlah Allah itu sendiri
(Pelajaran 8 menjelaskan hal ini).
Adalah suatu hal yang penting bahwa Yesus
”diperanakkan” oleh Allah daripada diciptakan seperti Adam. Hal ini menjelaskan
kedekatan hubungan Allah dengan Yesus – ”Sebab Allah mendamaikan dunia dengan
diriNya oleh Kristus” (II Kor. 5:19). Keberadaan Kristus yang diperanakkan oleh
Allah, dan tidak diciptakan dari debu, juga membantu untuk menjelaskan
kecerdasan yang ia miliki secara alami untuk mengetahui jalan-jalan Allah,
Bapanya.
Yesaya 49:5,6 menjelaskan nubuat tentang Kristus
sebagai terang dunia, yang telah ia genapi (Yoh. 8:12), ia dijelaskan sebagai
bagian dari rencana Allah, ”yang membentuk aku sejak dari kandungan untuk
menjadi hambaNya.” Jadi, Kristus ”dibentuk” oleh Allah di dalam rahim Maria,
oleh kuasa dari Roh kudusNya. Jelas sekali, rahim maria adalah tempat dimana
Yesus berasal.
Kita telah melihat di pelajaran 7.1 bahwa Mazmur 22
menubuatkan apa yang dipikirkan oleh Yesus di kayu salib. Ia berpikir bahwa
Alah ”yang mengeluarkan aku dari kandungan...KepadaMu aku diserahkan sejak
lahir, sejak dalam kandungan ibuku Engkaulah Allahku” (Mzm. 22:9,10). Menjelang
kematiannya, Kristus mengingat kembali asal mulanya, yaitu dari dalam rahim
Maria, ibunya; yang dibentuk oleh kuasa Allah. Penjelasan tentang Maria sebagai
”ibu” dari Kristus di dalam Injil, melenyapkan pemikiran bahwa sebelum ia
dilahirkan oleh Maria, ia sudah ada.
Maria adalah manusia biasa yang memiliki orang tua,
layaknya seperti seorang manusia. Hal ini dibuktikan melalui fakta bahwa ia
mempunyai saudara sepupu, yang melahirkan Yohanes Pembaptis, seorang manusia
biasa (Luk. 1:36). Gagasan Roma Katolik bahwa Maria bukan manusia biasa
mengartikan bahwa Kristus tidak dapat menjadi ”anak manusia” dan ”anak Allah”;
inilah gelarnya yang seringkali disebutkan di dalam Perjanjian Baru. Karena
Allah bekerja melalui Roh Kudusnya atas Maria (Luk. 1:35). Ia disebut ”anak
manusia” karena memiliki ibu manusia; dan disebut ”anak Allah” karena Allah
adalah Bapanya. Penyusunan peristiwa yang indah ini akan lenyap, jika Maria
bukanlah seorang manusia biasa.
”Siapa dapat mendatangkan yang tahir dari yang
najis? Seorangpun tidak...Masakan manusia bersih, masakan benar yang lahir dari
perempuan?...dan bagaimana orang yang dilahirkan perempuan itu bersih?” (Ayub
14:4; 15:14; 25:4). Dengan demikian ayat-ayat ini mengoreksi setiap gagasan
tentang pembuahan yang tidak bernoda yang mungkin dapat terjadi pada Maria atau
Yesus.
Maria ”dilahirkan sebagai seorang wanita” oleh
orangtuanya. Sebagai manusia, pastilah terdapat kenajisan dalam dirinya, yang
ia warisi kepada Yesus, ”yang lahir dari seorang perempuan” (Gal. 4:4). Kata ”yang
lahir dari” Maria, menerangkan bahwa Yesus tidak akan ada jika ia tidak
dilahirkan oleh Maria.
Catatan Injil seringkali menunjukkan sifat-sifat
Maria sebagai manusia. Kristus pernah memarahinya sedikitnya tiga kali, karena
kurangnya pandangan tentang hal-hal rohani (Luk. 2:49; Yoh. 2:4); Maria
tidakdapat memahami semua perkataannya (Luk. 2:50). Tepat seperti yang kami
harapkan pada seorang wanita, ya ng adalah manusia biasa, yang anaknya adalah
anak Allah, karena itu, Yesus memiliki pandangan rohani yang lebih dari Maria,
walaupun Yesus mewarisi sifat-sifat manusia dari Maria. Yusuf melakukan
hubungan dengan Maria setelah Kristus lahir (Mat. 1:25), tidak ada alasan untuk
berpikir bahwa mereka tidak melakukan hubungan suami istri setelah itu.
Di Matius 12:46,47. disebutkan bahwa Yesus memiliki
”ibu dan saudara-saudara”, hal ini menunjukkan bahwa Maria mempunyai anak-anak
yang lain selain Yesus. Yesus adalah ”anaknya yang pertama.” Ajaran Katolik
tenatang Maria, yang tetap menjadi seorang perawan, dan kemudian diangkat ke
surga, sama sekali tidak didukung oleh Alkitab. Sebagai manusia yang
berkematian, Maria terus hidup hingga lanjut usianya, kemudian mati. Terpisah
dari masalah ini, kita membaca di Yohanes 3:13, ”Tidak ada seorangpun yang
telah naik ke surga.” Fakta bahwa Kristus mempunyai sifat-sifat manusia (lihat
Ibrani 2:14-18; Roma 8:3), mengartikan bahwa ibunya pasti juga memiliki
sifat-sifat itu, dengan mengingat bahwa Bapanya tidak memiliki sifat-sifat itu.
7.3 Posisi Kristus dalam rencana Allah
Allah tidak merencanakan sesuatu tanpa dipikir
lebih dahulu, dan tidak menambahkan beberapa hal dalam rencananya, selama
pelaksanaannya sejak sejarah umat manusia dimulai. Allah mempunyai rencana yang
sempurna sejak awal penciptaan (Yoh. 1:1). Oleh karena itu rencananya untuk
memperanakkan seorang manusia, sudah Ia rencanakan sejak awal. Seluruh isi
Perjanjian Lama menjelaskan rencana keselamatan Allah, melalui Kristus, ddari
berbagai sudut pandang yang berbeda.
Kami telah seringkali menunjukkan, bahwa janji-janji
yang dijelaskan di Perjanjian Lama, Hukum Taurat, dan nubuat nabi-nabi, secara
berkesinambungan menyatakan rencana keselamatan Allah melalui Kristus. Hal itu
terdapat pada catatan pengetahuan tentang Allah, bahwa ia akan memiliki seorang
anak, yang melaluinya alam semesta diciptakan (Ibr. 1:1,2). Dan terdapat pada
catatan tentang Kristus, bahwa Allah menghendaki sejarah manusia berlangsung
hingga berabad-abad (Ibr. 1:2). Karena itu, Wahyu Allah kepada manusia selama
bertahun-tahun, penuh dengan referensi-referensi tentang Kristus, seperti yang
terdapat di dalam Perjanjian Baru.
Supremasi Kristus dan kebesarannya, dan ajaran
dasarnya tentang Allah, sangat sulit untuk dipahami sepenuhnya oleh kita.
Karena itu, adalah benar untuk mengatakan bahwa sejak awal Kristus sudah ada di
dalam pikiran dan rencana Allah, walaupun dia baru hidup setelah dilahirkan
oleh Maria. Ibrani 1:4-7,13,14, menegaskan, bahwa Kristus bukanlah seorang
malaikat; ketika ia hidup, ia lebih rendah daripada malaikat-malaikat (Ibr.
2:7), tetapi kemuliannya jauh lebih besar dari mereka, karena dia adalah
“AnakNya yang tunggal” (Yoh. 3:16). Sejak permulaan kami telah menunjukkan
bahwa bentuk kehidupan yang diajarkan oleh tulisan-tulisan kudus adalah bentuk
kehidupan jasmani, karena itu Kristus tidak hidup dalam bentuknya sebagai “roh”
sebelum ia dilahirkan. I Petrus 1:20 meringkaskan posisi Kristus, “Ia telah
dipilih sebelum dunia dijadikan, tetapi karena kamu, baru menyatakan dirinya
pada zaman akhir.”
Yesus adalah titik pusat dari Injil, “Injil itu
telah dijanjilkanNya (Allah) sebelumnya dengan perantaraan nabi-nabiNya dalam
kitab-kitab suci, tentang AnakNya, yang menurut daging diperanakkan dari
keturunan Daud, dan menurut Roh kekudusan dinyatakan oleh kebangkitannya dari
antara orang mati, bahwa ia adalah Anak Allah yang berkuasa, Yesus Kristus
Tuhan kita” (Rm. 1:1-4).
Berikut ini adalah ringkasan sejarah Kristus;
Dijanjikan di Perjanjian Lama, yaitu di dalam
rencana Allah.
Diciptakan sebagai seorang manusia melalui
kelahirannya dari seorang perawan keturunan Daud.
Karakternya yang sempurna (roh kekudusan)
ditunjukkan sewaktu ia hidup dalam keadaan yang tidak abadi.
Ia dibangkitkan dan dinyatakan sekali lagi
dihadapan umum bahwa ia adalah Anak Allah, oleh murid-muridnya yang dikaruniai
roh.
Pengetahuan Allah yang sempurna
Kami akan sangat membantu anda dalam memahami
bagaimana Kristus sepenuhnya berada di dalam pikiran Allah sejak permulaan,
walaupun ia belum ada. Jika kita bisa memahami hubungan antara hal ini dengan
fakta bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang akan terjadi di waktu yang
akan datang; maka kita akan mengetahui, bahwa Ia memiliki pengetahuan yang
sempurna.
Karena itulah maka Allah dapat berbicara dan
berpikir tentang hal-hal yang belum ada, seakan-akan mereka sudah ada. Inilah
keseluruhan dari pengetahuannya tentang masa depan. Allah “menjadikan dengan
firmanNya apa yang tidak ada menjadi ada” (Rm. 4:17). Karena itu Ia dapat
mengatakan, bahwa Ia “yang memberitahukan dari mulanya hal yang kemudian dan
dari zaman purbakala apa yang belum terlaksana, yang berkata: KeputusanKu akan
sampai, dan segala kehendakKu akan Kulaksanakan” (Yes. 46:10). Karena itu Allah
dapat berbicara kepada orang mati seakan-seakan mereka masih hidup, dan
berbicara kepada orang-orang yang belum ada, seakan-akan mereka sudah ada
sebelum dilahirkan.
“Nasihat” atau firman Allah, telah menubuatkan
Kristus sejak permulaan. Ia selalu berada di dalam tujuan atau “kehendak”
Allah. pastilah pada suatu waktu Kristus akan dilahirkan, untuk menggenapi
pernyataan Allah. Oleh karena itu, bukti dari pengetahuan Allah yang sempurna
merefleksikan kepastian dari firmanNya. Di dalam Alkitab, ada penggunaan bahasa
Ibrani dalam bentuk lampau untuk menjelaskan hal-hal yang akan datang yang
dijanjikan Allah. Karena itu Daud berkata, ”Disinilah rumah Tuhan, Allah kita”
(I Taw. 22:1). Walaupun hanya Allah yang berhak menjanjikan hal itu, tetapi
itulah yang diyakini Daud, yang ia ucapkan dalam bentuk kalimat untuk
menyatakan hal yang berlangsung pada saat sekarang, untuk menjelaskan hal-hal
yang akan terjadi di masa yang akan datang. Di dalam Tulisan-tulisan kudus
banyak contoh tentang pengetahuan Allah yang sempurna. Seperti tentang
janji-janji kepada Abraham yang pasti akan digenapi Allah; Ia berkata kepada
Abraham, ”Kepada keturunanmulah Kuberikan negeri ini...” (Kej. 15:18), yang
diucapkan pada waktu Abraham belum mempunyai keturunan. Dalam kurun waktu
sebelum (Ishak/ Kristus lahir), Allah menjanjikan kepadanya, ”engkau telah
Kutetapkan menjadi Bapa sejumlah besar bangsa” (Kej. 17:5). Dengan demikian
Allah menyebut hal-hal yang belum ada ini, seakan-akan hal-hal itu sudah ada.
Oleh karena itu, Kristus selama pelayanannya
berbicara tentang bagaimana Allah ”telah menyerahkan segala sesuatu kepadanya”
(Yoh. 3:35) meskipun hal tersebut belum terjadi. ”Segala sesuatu telah Engkau
lakukan di bawah kakinya (Kristus)... Tetapi sekarang ini belum kita lihat,
bahwa segala sesuat telah ditaklukkan kepadanya” (Ibr. 2:8).
Allah berbicara tentang rencana keselamatan Nya
melalui Kristus ”seperti yang telah difirmankanNya sejak purbakala oleh nubuat
nabi-nabiNya yang kudus” (Luk. 1:70). Karena mereka berkaitan erat dengan
rencana Allah, orang-orang ini dibicarakan seakan-akan mereka sudah ada sejak
permulaan, walaupun sebenarnya tidak demikian. Sebaliknya, kita dapat
menyimpulkan bahwa nabi-nabi sudah ada di dalam rencana Allah sejak permulaan.
Contoh yang jelas adalah Yeremia, Allah berkata kepadanya, ”Sebelum Aku
membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum
engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah
menetapkan engkau menjadi nabi” (Yer. 1:5) . Allah mengetahui segala hal
tentang Yeremia, bahkan sebelum ia diciptakan. Dengan cara seperti ini, Allah
berbicara tentang raja Persia, Kores, sebelum ia dilahirkan dengan menggunakan
bahasa yang menunjukkan seakan-akan ia sudah ada (Yes. 45:1-5). Di dalam Ibrani
7:9,10 terdapat contoh lain tentang penggunaa kalimat yang menjelaskan tentang
orang yang belum dilahirkan, seakan-akan ia sudah hidup pada waktu dibicarakan.
Dengan cara yang sama, Yeremia dan nabi-nabi
lainnya dikatakan sudah ada sebelum mereka diciptakan, sehubungan dengan posisi
mereka dalam rencana Allah. Begitu juga dengan kita, orang-orang percaya yang
benar, yang dibicarakan seakan-akan sudah ada pada saat itu; faktanya kita
belum hidup pada saat itu, melainkan hanya di dalam pikiran Allah saja. Allah
”yang menyelamatkan kita dan memanggil kita dengan panggilan
kudus...berdasarkan maksud dan kasih karuniaNya sendiri, yang telah dikaruniakan
kepada kita dalam Kristus Yesus sebelum permulaan zaman” (II Tim. 1:9). ”Allah
telah memilih kita sebelum dunia dijadikan...telah menentukan kita...sesuai
dengan kerelaan kehendakNya” (Ef. 1:4,5). Seluruh gagasan tentang keberadaan
makhluk hidup telah diketahui oleh Allah sejak permulaan, dan ditandai
(ditentukan) untuk diselamatkan, yang menunjukkan bahwa mereka sudah ada di
dalam pikiran Allah sejak permulaan (Rm. 8:27; 9:23).
Dengan kejelasan dari semua hal ini, tidak
mengherankan jika Kristus sebagai kunci dari rencana Allah, dijelaskan
seakan-akan sudah ada sejak permulaan bersama Allah melaksanakan rencananya,
yang sebenarnya tidak demikian. Seperti waktu menjelaskan tentang dia, yang
adalah ”anak domba Allah yang telah disembelih” (Why. 13:8), tetapi Yesus tidak
disembelih secara harfiah, ia adalah ”anak domba Allah” yang dikorbankan di
kayu salib, 4000 tahun kemudian setelah penciptaan (Yoh. 1:29; I Kor. 5:7).
Dengan cara demikianlah Yesus dipilih sejak permulaan (I Ptr.1:20), begitu juga
dengan orang-orang percaya (Ef.1:4, kata Yunani yang sama dengan untuk kata
”dipilih” digunakan di dalam ayat-ayat ini). Kesulitan kita untuk memahami
semua hal ini adalah, karena kita tidak dapat membayangkan dengan mudah
bagaimana Allah bekerja diluar konsep kita tentang waktu. ”Iman” adalah
kesanggupan untuk memandang berbagai hal dari sudut pandang Allah tanpa
dibatasi oleh waktu.
7.4 “Pada mulanya adalah Firman” (Yoh.1:1-3)
“Pada mulanya adalah Firman, Firman itu
bersama-sama dengan Allah. Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya
bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia” (Yoh.1:1-3)
Jika ayat-ayat ini dipahami sebagaimana mestinya,
maka penegasan dan pengembangan dari kesimpulan-kesimpulan pada bagian terakhir
dapat dipahami. Bagaimanapun juga ayat-ayat ini banyak disalahartikan oleh
orang-orang dengan mengajarkan, bahwa Yesus berada di surga sebelum
kelahirannya. Pemahaman yang benar dari ayat-ayat ini bergantung pada bagaimana
kita memahami dan mengartikan kata ”Firman” sesuai dengan konteksnya. Kata itu
tidak menunjuk kepada seseorang, karena tidak ada yang dapat ”bersama-sama
dengan Allah” dan menjadi Allah pada waktu yang bersamaan. Kata Yunani ”logos”
yang diterjemahkan menjadi ”firman”, tidak menunjuk kepada ”Yesus”. Kata itu
biasanya diterjemahkan menjadi ”firman”, tetapi juga dapat diterjemahkan
menjadi;
Laporan Penyebab
Komunikasi Doktrin
Niat Pemberitaan
Alasan Mengatakan
Berita
Kata ”firman” dipakai bersama dengan kata ganti
orang ketiga ”ia”, karena ”logos” bersifat maskulin atau kelaki-lakian, Tetapi
tidak mengartikan bahwa kata itu menunjuk kepada seseorang, yaitu Yesus.
Alkitab dalam bahasa Jerman (Luther version) menggunakan kata ”das wort”
(neuter); dan Alkitab dalam bahasa Perancis menggunakan kata ”la parole”; yang
bersifat feminin atau kewanitaan. Dengan demikian, hal ini menunjukkan bahwa
kata ”firman” tidak harus menunjuk kepada seorang laki-laki.
”Pada mulanya”
Kata ”logos” dengan tepat menunjuk kepada suatu
pemikiran yang mendalam, yang diekspresikan melalui kata-kata dan cara-cara
berkomunikasi lainnya. Pada mulanya Allah memiliki ”firman” ini, yang tujuannya
berpusat pada Kristus. Kami telah menjelaskan bagaimana Roh Allah meletakkan
pemikiran yang mendalam dari Allah ke dalam pelaksanaan, karena itu terdapat
hubungan antara RohNya dan FirmanNya (lihat pelajaran 2.2). Sebagaimana Roh
Allah melaksanakan rencanaNya dengan manusia, dengan mengilhami firmanNya yang
tertulis sejak permulaan. Karena itulah gagasan tentang Kristus diberitakan
melalui pekerjaan dan firmanNya. Kristus adalah ”firman”dari Allah, oleh karena
itu Roh Allah menunjukkan rencana Allah tentang Kristus dalam setiap
pelaksanaannya. Hal ini menjelaskan mengapa banyak peristiwa di dalam
Perjanjian Lama yang memberikan gambaran tentang Kristus. Tetapi, tidak bisa
terlalu ditegaskan bahwa Kristus bukanlah ”firman itu”; ”firman itu” adalah
rencana keselamatan Allah melalui Yesus. Kata ”firman” sering kali digunakan
sehubungan dengan penjelasan mengenai Injil tentang Kristus; misalnya ”firman
dari Kristus” (Kol.3:16 bandingkan Mat.13:19; Yoh.5:24; Kis.19:10; I Tes.1:8,
dll.). Catat, ”firman” menjelaskan tentang Kristus, dan tidak menunjuk kepada
dia secara pribadi. Ketika Kristus lahir, ”firman” ini berubah ke dalam bentuk
daging dan darah – ”Firman itu telah menjadi manusia” (Yoh.1:14). Yesuslah yang
”telah menjadi manusia”, bukan firman itu. Ia menjadi ”firman itu” pada waktu
dilahirkan oleh Maria, bukan pada waktu sebelum itu.
Rencana tentang Kristus sudah direncanakan Allah
sejak permulaan. Tetapi, tentang pribadi yang menjadi Kristus, tidak dinyatakan
secara terbuka. Begitu juga sewaktu Injil tentang dia diberitakan pada abad
pertama. Karena itu, Allah berfirman kepada kita melalui Kristus (Ibr.1:1,2).
Berulangkali ditegaskan bahwa Kristus menyampaikan firman Allah dan membuat
mujizat atas perintah Allah dengan tujuan untuk menyatakan Allah kepada kita
(Yoh.2:22; 3:34; 7:16; 10:32,38; 14:10,24).
Paulus taat kepada perintah Kristus untuk
memberitakan Injil tentang dia kepada ”segala bangsa”: ”pemberitaan tentang Yesus
Kristus sesuai dengan pernyataan rahasia, yang didiamkan berabad-abad lamanya,
tetapi yang sekarang telah dinyatakan...kepada segala bangsa” (Rm.16:25,26
bandingkan I Kor.2:7). Kehidupan abadi hanya dapat diperoleh manusia melalui
pekerjaan Kristus (Yoh.3:16; 6:53). Walaupun sejak permulaan Allah telah
merencanakan untuk menawarkan kehidupan abadi kepada manusia, yang dilakukannya
dengan pengorbanan seperti yang juga dilakukan oleh Yesus. Penyingkapan
sepenuhnya atas penawaran itu diberikan setelah kelahiran dan kematian Yesus:
”hidup yang kekal sebelum permulaan zaman sudah dijanjikan oleh Allah yang
tidak berdusta, dan yang pada waktu dikehendakinya telah menyatakan firmanNya
dalam pemberitaan Injil” (Titus 1:2,3). Kita telah mengetahui bagaimana nabi-nabi
Allah dibicarakan seolah-olah mereka sudah ada (Luk.1:70) dalam pengertian
bahwa ”firman” yang mereka sampaikan telah ada bersama Allah sejak permulaan.
Perumpamaan-perumpamaan yang dijelaskan oleh Yesus
menyingkapkan banyak hal tentang ini, yang juga menggenapi nubuat tentang
dirinya; ”Aku mau membuka mulutku mengatakan perumpamaan, Aku mau mengucapkan
hal yang tersembunyi sejak dunia dijadikan” (Mat.13:35). Dalam pengertian bahwa
”firman itu bersama-sama dengan Allah pada mulanya” dan ”menjadi manusia”
melalui kelahiran Kristus.
”Firman itu adalah Allah”
Sekarang kita akan membahas pengertian dari ”firman
itu adalah Allah”. Rencana dan pemikiran kita, pada intinya adalah menyatakan
diri kita sendiri. Misalnya, ”Saya akan pergi ke London”, adalah firman atau
pemberitaan yang mengekspresikan tujuan saya, karena itu adalah tujuan saya.
Rencana Allah di dalam Kristus dapat dipahami dengan cara demikian. ”Sebab
seperti orang yang membuat perhitungan dalam dirinya sendiri demikianlah ia”
(Amos 23:7), demikian juga dengan Allah. Karena itu Firman Allah atau
pemikiranNya adalah Allah; ”Firman itu adalah Allah.” Berarti, ada suatu
hubungan yang erat antara Allah dengan firmanNya, misalnya di Mazmur 29:8,
”Suara Tuhan membuat padang gurun gemetar”, dan di Yeremia 25:7, ”Tetapi kamu
tidak mendengarkan Aku, demikianlah firman Tuhan.” Kedua pernyataan seperti ini
seringkali muncul di dalam nubuat-nubuat, yang dengan efektif mengartikan bahwa
Allah sama dengan mengatakan: ”Kamu tidak mendengarkan firmanKu yang telah disampaikan
oleh nabi-nabi.” Daud menyebut firman Allah sebagai pelita dan terang
(Mzm.119:105), ia juga mengungkapkan hal yang sama di 2 Samuel 22:29, ”Karena
Engkaulah pelitaku, ya Tuhan, dan Tuhan menyinari kegelapanku.” Kedua ayat ini
menunjukkan kaitan antara Allah dengan firmanNya. Oleh karena itu, dapat
dimengerti bahwa firman Allah adalah personifikasi dari Ia sendiri, yang ketika
disebut seperti menunjuk kepada suatu pribadi, walaupun tidak demikian (lihat
Pertentangan 5: Prinsip Personifikasi).
arena Allah adalah kebenaran (Yoh.3:33; 8:26; I
Yoh.3:10), maka demikian juga dengan firmanNya (Yoh.17:17). Dengan cara yang
sama, Yesus mengidentifikasikan bahwa dirinya dengan firmannya begitu dekat, ia
adalah personifikasi dari firmannya: ”Barangsiapa menolak Aku, dan tidak
menerima perkataanku, ia sudah ada hakimnya, yaitu firman yang telah kukatakan,
itulah yang akan menjadi hakimnya pada akhir zaman” (Yoh.12:48). Yesus menyebut
firmannya seakan-akan seperti suatu pribadi, yaitu dirinya sendiri. Firmannya dipersonifikasikan,
karena berkaitan erat dengan dirinya.
Begitu juga dengan firman Allah, dipersonifikasikan
sebagai suatu pribadi, yaitu Ia sendiri, seperti yang terdapat di Yohanes
1:1-3. Sehubungan dengan firman itu, kita diberitahu bahwa ”Segala sesuatu
dijadikan oleh Dia” (Yoh.1:3). Allah menciptakan segala sesuatu melalui
firmanNya (Kej.1:1). Karena hal ini, maka firman Allah dapat disebut sebagai
Allah sendiri. Hal kerohanian yang perlu dicatat dari pembahasan ini adalah,
melalui firman Allah yang berada di dalam hati kita, Allah akan menjadi dekat
dengan kita.
Hal ini dejelaskan di Kejadian 1, bahwa Allah
adalah Sang Pencipta melalui firmanNya, dan bukan melalui Kristus secara
pribadi (Yoh.1:1-3), ”Oleh firman Tuhan langit telah dijadikan, oleh nafas dari
mulutNya segala tentaranya (bintang-bintang)...Sebab Dia berfirman, maka
semuanya jadi” (Mzm.33:6,9). Hingga saat ini semua ciptaan dapat bergerak oleh
karena firmanNya: ”Ia menyampaikan perintahNya ke bumi: dengan segera firmanNya
berlari. Ia menurunkan salju seperti bulu domba...Ia menyampaikan
firmanNya...maka air mengalir” (Mzm.147:15-18).
Firman Allah adalah daya kreativitasnya, dia
menggunakannya untuk memperanakkan Yesus di dalam rahim Maria, melalui firman
atau rencana Allah, yang dilaksanakan oleh Roh Kudus (Luk.1:35), yang membuat
Kristus dikandung. Dan Maria mengetahui hal ini berdasarkan responnya atas
kabar baik yang ia terima tentang pembuahan Kristus: ”jadilah padaku menurut
perkataanmu itu” (Luk.1:38).
Kita telah mengetahui bahwa firman/roh Allah
merefleksikan tujuanNya, yang telah dinyatakan di dalam Perjanjian Lama.
Kebenaran dari hal ini ditunjukkan di dalam Kisah para Rasul 13:27, Yesus
dikaitkan dengan firman dari nabi-nabi di Perjanjian Lama: ”mereka
menggenapi perkataan nabi-nabi.” Ketika Yesus sudah lahir, semua firman/roh
Allah ada di dalam pribadi Yesus Kristus. Dengan dibawah ilham rasul Yohanes
bersuka cita atas rencana Allah sehubungan dengan kehidupan abadi, yang
ditunjukkan melalui Kristus, yang juga disaksikan oleh murid-muridnya yang
lain. Yesus mengetahui bahwa mereka telah memahami firman Allah dan rencana
keselamatannya melalui dirinya (I Yoh.1-3). Walaupun kita tidak melihat
Kristus, kita juga dapat bersuka cita melalui pemahaman yang benar tentang dia,
dan kita juga bisa memahami dengan benar tujuan Allah , dan yakin sepenuhnya
dengan upah kehidupan abadi (I Ptr.8:9). Kita harus bertanya kepada diri kita
sendiri: ”Apakah saya sungguh-sungguh mengenal Kristus?” Hanya dengan menerima
keberadaan seseorang yang disebut Yesus, tidaklah cukup. Harus dilanjuti dengan
pelajaran Alkitab yang disertai doa. Mungkin anda dapat memahami ia sebagai
penyelamat anda dalam waktu yang singkat, dan menyatukan diri anda dengannya
melalui pembaptisan.
Catatan: ”Pada mulanya adalah Firman” kemungkinan
mengomentari konsep orang Yahudi, yang menyatakan bahwa hukum Taurat (lima
kitab Musa) sudah ada sebelum penciptaan. Yohanes 1:1-3 secara tidak langsung
mengatakan bahwa hal terpenting untuk dipahami adalah firman-firman Allah yang
menubuatkan Yesus; yaitu tentang rencana Allah sehubungan dengan Yesus sebelum
penciptaan (bandingkan Lukas 1:70).
9.1 Kemenangan Yesus
Pelajaran terdahulu menunjukkan bagaimana Yesus
memiliki kodrat manusia kita dan telah dicobai untuk berdosa seperti kita.
Perbedaan antara Dia dan kita adalah Dia mengatasi dosa itu; sementara kodrat
dasar akan dosa, Dia selalu ditampilkan sebagai karakter yang sempurna.
Keajaiban ini seharuanya menginspirasukan kita sebagaimana kita menerapkannya.
Terdapat pengulangan penekanan Perjanjian Baru pada kesempurnaan karakter
Kristus.
Dia “dicobai dalam segala hal seperti kita namun
tidak berdosa” (Ibr 4:15).
Dia “tidak mengenal dosa”. “di dalamNya tidak ada
dosa” (2 Kor 5:21; 1 Yoh 3:5)
“yang tidak berdosa, dan dusta tidak ada di dalam
mulutnya” (1 Ptr 2:22).
“kudus, tanpa salah, tanpa noda, terpisah dari
orang-orang berdosa” (Ibr 7:26)
Injil mencatat
demonstrasi bagaimana para pengikutnya mengenali kesempurnaan karakterNya,
terlihat dalam perkataan dan tindakanNya. Istri Pilatus mengenali bahwa Dia
adalah “Orang benar” (Mat 27:19), di bawah hukuman, tentara Romawi yang
memandang Yesus tergantung di kayu salib berkomentar, “sesungguhnya Dia adalah
orang yang benar” (Luk 23:47). Permulaan hidupNya, Yesus menantang orang-orang
Yahudi dengan pertanyaan: “dengan apakah kamu membuktikan Aku akan dosa?” (Yoh
8:46). Kepada semua yang di sana tidak bisa menjawab.
Sebagai hasil dari
kemenangan yang sempurna dalam segala hal, Yesus dari Nazaret menjadi lebih
tinggi daripada para malaikat (Ibr 1:3-5). Dia diberikan nama yang tertinggi
(Flp 2:8), yang termasuk semua julukan malaikat. “namaNya akan disebut ajaib
[Yud 13:18 Avmg], penasihat [digunakan malaikat dalam 1 Raj 22:20 teks
Ibrani]...” (Yes 9:6). Dibuktikan Yesus tidak menempati posisi tinggi ini
sebelum kelahiran dan kematianNya; ide akan tempat tertinggiNya mengatur ini
keluar.
Menganai karakter
sempurnaNya, Yesus adalah penyataan Allah dalam daging (1 Tim 3:16); Dia
bertindak dan berbicara sebagai Allah memiliki tinadakan Dia menjadi manusia.
Dia yang oleh karenanya cerminan sempurna dari Allah – “gambaran Allah yang tak
terlihat” (Kol 1:15). Karena ini, tidaklah diperlukan bagi manusia fana secara
fisik untuk melihat Allah. Seperti penjelasan Yesus, “Dia yang melihat Aku, melihat
Bapa; bagaimana kamu dapat berkata, perlihatkanlah kepada kami (secara fisik)
Bapa itu?” (Yoh 14:9). Penekanan pengulangan Alkitab adalah bahwa Allah Bapa
telah dinyatakan dalam Yesus Kristus AnakNya (2 Kor 5:19; Yoh 14:10; Kis 2:22).
Tritunggal mengajarkan bahwa Anak memanifestasikan atau ‘inkarnasi’ dalam
Yesus; tetapi Alkitab mengajarkan bahwa Allah memanifestasikan [‘inkarnasi’
jika kita menggunakan kalimat] dalam Yesus. Firman menjadi daging (Yoh 1:14),
lebih dari sekedar Firman memasuki ke dalam sebuah bentuk tubuh.
Hidup dalam dunia yang
penuh dosa, dan melekat pada dosa dalam kodrat kita, sangat sulit bagi kita
untuk menghargai keseluruhan dan kebesaran keunggulan rohani Kristus; bahwa
manusia dari kodrat kita memenuhi penyataan kebenaran Allah dalam karakterNya.
Percaya ini sebuahiman yang benar dibanding sekedar menerima teologia bahwa
Kristus adalah Allah itu sendiri.
Karena Dia memiliki sifat
dasar kita, Kristus harus mati. Dia adalah keturunan Adam melalui Maria, dan
semua anak-anak Adam mati (1 Kor 15:22). Semua keturunan Adam mati karena Adam
berdosa, mengenai situasi pribadinya. “demikian kematian... karena
pelanggarannya (Adam) agar semua mati... penghakiman telah (diperhitungkan
karena) dia (Adam ) mengalami (untuk mati)... oleh ketidak-taatan manusia semua
menjadi berdosa”, dan oleh sebab itu haruslah mati (Rm 5:114-19; 6:23). Sebagai
keturunan Adam, Yesus harus mati, Dia dimasukan kodrat yang fana dari Adam
melalui Maria, ibuNya.
Menjadi bagian Yesus,
semua keturunan Adam layak akan hukuman ini, bagi kita yang memiliki dosa
secara pribadi. Yesus harus mati karena Dia berasal dari kodrat kita, terkena
kutuk yang datang bagi keturunan Adam. Sebelumnya, Dia secara pribadi tidak
melakukan sesuatu yang layak untuk mati “Allah membangkitkan Dia dari kematian,
membebaskan Dia dari kutuk kematian, karena tidak mungkin kematian bisa
menahanNya” (Kis 2:24 NIV). Kristus telah “dideklarasikan menjadi Anak Allah
dengan kuasa, sesuai dengan Roh Kudus, melalui kebangkitan dari kematian” (Rm
1:4). Karena kesempurnaan karakter Kristus, “Roh KudusNya”, yang membangkitkan
Dia.
Kristus tidak mati di kayu
salib hanya karena kodrat manusiaNya. Dia berkeinginan memberikan hidup
sempurnaNya sebagi hadiah bagi kita; Dia menunjukkan kasihNya bagi kita dengan
mati “bagi dosa kita” (1 Kor 15:3), mengetahui bahwa melalui kematianNya Dia
dapat memberikan untuk kita keselamatan dari dosa dan kematian (Ef 5:2,25; Why
1:5; Gal 2:20). Karena Yesus dalam karakter yang sempurna Dia mampu mengatasi
dosa dengan menjadi pribadi pertama yang bangkit dari kematian dan memperoleh
hidup kekal. Semua yang menyamakan dirinya dengan Kristus melalui baptisan dan
hidup dalam jalan Kristus memiliki harapan yang sama dengan kebangkitan sebagi
upahnya.
Dalam garis ini kemuliaan
tepat untuk kebangkitan Kristus. Inilah “jaminan” bahwa kita akan dibangkitkan
dan dihakimi (Kis 17:31), dan jika kita benar-benar mengikuti Dia di dalam
hidup ini, berbagi upahNya akan hidup kekal. “mengetahui (dengan yakin)
bahwa Dia yang membangkitan Tuhan Yesus akan membangkitkan kita juga melalui
Yesus” (2 Kor 4:14; 1 Kor 6:14; Rm 6:3-5). Sebagai orang berdosa kita pantas
mati selamanya (Rm 6:23). Sebelumnya, seturut kehidupan sempurna Kristus,
mentaati kematian dan kebangkitanNya, Allah memberikan kita hadiah hidup kekal,
secara penuh sesuai dengan semua ketetapanNya.
Untuk menghilangkan dampak
dosa kita, Allah “menempatkan kebenaran” (Rm 4:6) bagi kita melalui iman kita
dalam janjiNya akan keselamatan. Kita tahu bahwa dosa membawa kematian, oleh
sebab itu jika kita sungguh percaya bahwa Allah akan menyelamatkan kita dari
itu, kita harus percaya bahwa Allah akan memperhitungkan kita sebagaimana jika
kita benar, meskipun kita tidak. Kristus adalah sempurna; jika kita sungguh di
dalam Kristus, Allah akan menerima kita sebagaimana jika kita sempurna, walu
secara pribadi kita tidak begitu. Kita menerima akan apa yang kita dalam
tingkatan manusia akan disebut ‘pengampunan Raja’. Allah membuat Kristus
“menjadi dosa bagi kita, yang tidak mengenal dosa; bahwa kita boleh dibenarkan
Allah dalam Dia” (2 Kor 5:21), artinya dalam Kristus melalui baptisan dan hidup
seperti Kristus. Mengenai “dalam Kristus Yesus”, Dia “membuat kepada kita...
kebenaran, dan pengudusan, dan penebusan” (1 Kor 1:30,31); ayat berikut
mendukung kita untuk memuji Kristus akan hal terbesar yang Ia lakukan. “di
dalam injil dinyatakan kebenaran Allah, pembenaran oleh iman” (Rm 1:17, NIV).
Memahami hal ini yang karenanya penting menjadi bagian akan pengenalan
kebenaran injil.
Semua ini menjadi mungkin
melalui kebangkitan Kristus. Dia adalah “buah sulung” dari semua manusia yang
akan menjadi kekeal melalui pekerjaanNya (1 Kor 15:20). “anak sulung” dari
keluarga rohani yang baru yang akan diberikan sifat dasar Allah (Kol 1:18; Ef 3:15).
Kebangkitan Kristus membuat menjadi mungkin bagi orang-orang percaya dalam
Kristus untuk dinilai sebagaimana mereka benar, melihat bahwa mereka ditutupi
oleh kebenaranNya. Kristus “telah diserahkan karena pelanggaran kita dan
bangkit karena pembenaran kita (kata yang artinya ‘menjadi benar’)” (Rm 4:25).
Inilah hal-hal roh. Kita tidak seharusnya berpikir bahwa ‘pembenaran’ adalah
kecurangan yang dilegalkan. Allah memberikan pertobatan yang benar dan
penerimaan yang benar bahwa Kristus ‘deklarasi kebenaran Allah, bahwa Ia hanya
membenarkan mereka yang percaya dalam Yesus’ (Rm 3:25,26). Bahkan Yesus
sempurna dan tidak berdosa menerima kebenaran Allah bahwa Ia harus mati karena
Ia merupakan keturunan Adam. Begitu banyak kalimat ini bagi kita. Seperti rasul
Paulus, kita ‘orang celaka’ yang terus berdosa. Pembenaran diberikan bagi
mereka yang sujud di hadapan Yang Maha Mulia dan berkata dari hati mereka
‘Allah berbelas kasih kepadaku sebagai pendosa’.
Sebuah kesadaran,
merenungkan iman dalam hal ini sungguh menjadi keyakinan bahwa kita dapat
dinilai Allah sebagaimana jika kita sempurna. Kristus dapat mempersembahkan
kita pada kursi penghakiman “tidak bersalah di hadapan hadirat
kemuliaanNya”, “kudus dan tidak bercacat dan tidak tersandung dalam pandanganNya”
(Yud 24; Kol 1:22; Ef 5:27). Diberikan sifat dasar akan dosa dan kegagalan
rohanai terus-menerus, mengambil dasar iman untuk percaya ini. hanya mengangkat
tangan kita pada ‘penyaliban’ atau membuat pengajaran-pengajaran akademis
tidaklah terhubung kepada iman ini. kesediaan memahami kebangkitan Kristus
seharusnya mendorong iman kita: “Allah... membangkitkan Dia dari kematian...
agar iman dan pengharapanmu (kesamaan kebangkitan) berada dalam Allah” (1 Ptr
1:21).
Hanyalah dengan kesediaan
baptisan dalam Kristus, diikuti dengan waktu pemuridan, bahwa kita dapat
menjadi “dalam Kristus”dan dinaungi oleh kebenaranNya. Oleh baptisan kita
menyatukan diri kita dengan kematian dan kebangkitanNya (Rm 6:3-5), yang
berarti membebaskan kita dari dosa-dosa kita, melalui ‘pembenaran’, atau
dinilai benar (Rm 4:25).
Kesadaran hal-hal yang
kita sadari dalam bagian ini mengeluarkan kita dari pegangan kecuali kita
dibaptis. Pada baptisan menyatukan diri kita dengan darah Kristus yang tercurah
di kayu salib; orang-orang percaya membasuh jubah mereka dan (membuat) nya
putih dalam darah domba” (Why 7:14). Digambarkan mereka dalam jubah putih,
mewakilkan kebenaran Kristus yang diperhitungkan (‘dimasukkan’) ke dalam mereka
(Why 19:8). Sangat mungkin untuk membuat jubah putih ini kotor sebagai hasil
dari dosa kita (Yud 23); ketika kita melakukannya setelah baptisan, kita harus
meminta Allah untuk mengampuni melalui Kristus.
Yang mengikuti setelah
baptisan untuk tetap dalam posisi diberkati yang kemudian kita masuk di situ.
Perlu secara rutin, harian, perenungan diri beberapa menit setiap hari, dengan
berdoa selalu dan mencari pengampunan. Dengan melakukan ini kita akan selalu
merendah meyakinkan itu, mengenai perlindungan kita dengan kebenaran Kristus,
sesungguhnya kita akan di dalam kerajaan Allah. Kita harus menjadi ditemukan
mentaati Kristus ketika hari kematian kita atau kembalinya Kristus, “bukan
karena kebenaran (kita) sendiri... tetapi melalui iman (di dalam) Kristus,
pembenaran dari Allah oleh iman” (Flp 3:9).
Penekanan ulang
pada iman yang menghasilkan di dalamnya kebenaran, menunjukkan bahwa
tidak ada jalan keselamatan melalui perbuatan kita; keselamatan adalah karena
anugerah: “karena anugerah kita diselamatkan oleh iman; dan bukan karena dirimu
sendiri: ini adalah pemberian Allah: bukan pekerjaanmu” (Ef 2:8,9). Sebagaimana
pembenaran dan kebenaran adal;ah ‘pemberian’ (Rm 5;17), begitu juga
keselamatan. Motivasi kita dalam melakukan segala pekerjaan dalam pelayanan
orang kristen seharusnya sebagaimana yang telah Allah lakukan bagi kita –
menilai kita benar melalui Kristus dan memberikan kita jalan akan keselamatan.
Sangat fatal untuk beralasan bahwa jika kita berbuat baik, maka
perbuatan-perbuatan itu akan menyelamatkan kita. Kita tidak akan berhasil mencapai
keselamatan jika kita berpikir seperti ini; inilah pemberianyang tidak
dapat kita bayar, hanya sikap mengasihi yang terdalam yang akan tercermin di
dalam perbuatan kita. Kebenaran iman menghasilkan perbuatan-perbuatan
sebagaimana yang dihasilkan (Yak 2:17).
9.2 Darah Yesus
sering dinyatakan dalam Perjanjian Baru
bahawa pembenaran dan keselamatan kita adalah melalui darah Yesus (contohnya 1
Yoh 1:7; Why 5:9; 12:11; Rm 5:9). Untuk menghargai kebenaran darah Kristus,
kita harus memahami bahwa ini sebuah prinsip Alkitabiah bahwa “karena itu nyawa
dari segala makhluk adalah darah” (Im 17:14). Tanpa darah tubuh tidak dapat
hidup; karena inilah lambang kehidupan. Ini menjelaskan perkataan Kristus,
“jika kamu tidak makan daging Anak manusia, dan minum darahNya, kamu tidak akan
memiliki hidup” (Yoh 6:53).
Dosa menghasilkan maut (Rm
6:23), pencurahan darah memberi kehidupan. Untuk alasan inilah bangsa Israel
mempersembahkan darah setiap kali mereka berdosa, untuk mengingatkan mereka
bahwa dosa membawa maut. “hampir semua melalui hukum (Musa) menyangkut darah;
tanpa pencurahan darah tidak ada penebusan” (dari dosa – Ibr 9:22). Karena ini,
Adam dan Hawa menutup diri mereka dengan daun dan tidak bisa diterima; kecuali,
Allah membunuh seekor domba untuk menyediakan kulitnya sebagai penutup dosa
mereka (Kej 3:7,21), begitupun, Habel mengorbankan binatang diterima dibanding
Kain yang mempersembahkan tumbuhan, karena dia menghargai prinsip ini bahwa
tanpa pencurahan darah tidak ada pengampunan dan tidak diterima Allah (Kej
4:3-5).
Inilah poin yang
terpenting terhadap darah Kristus. Khususnya yang teringat dalam saat paskah,
yang mana umat Allah menempatkan darah domba pada tiang pintu mereka untuk
selamat dari kematian. Darah ini mengarahkan kepada Yesus, yang mana kita harus
miliki agar dosa kita tertutup. Sebelum masa Kristus, sesuai dengan hukum Allah
melalui Musa, orang Yahudi harus mempersembahkan korban binatang untuk dosa
mereka. Bagaimanapun, mencurahkan darah binatang seharusnya dapat memberikan
pelajaran yang besar. dosa dihukum dengan kematian (Rm 6:23); tidak mungkin
bagi manusia yang membunuh seekor binatang dan melihat hal ini diterima Allah
kecuali dari dia sendiri. Binatang yang ia persembahkan tidak memiliki
penghargaan benar atau salah; ini tidak penuh mewakilkan Dia: “tidaklah mungkin
darah lembu atau darah domba menghapuskan dosa” (Ibr 10:4).
Maka timbul pertanyaan,
mengapa orang Yahudi harus mempersembahkan binatang saat mereka berdosa? Paulus
mengutarakan jawaban yang bervariasi untuk pertanyaan ini dalam Gal 3:24):
“hukum taurat adalah penuntun kita sampai hari Kristus”. Binatang-binatang yang
mana dibunuh sebagai persemnahan akan dosa haruslah – tanpa noda (Kel 12:5; Im
1:3,10, dll). Ini mengarah pada Kristus, “domba tanpa noda” (1 Ptr 1:19). Darah
binatang-binatang itu diwakilkan Kristus. Diterima sebagai
persembahan akan dosa sebagaimana mengarah pada korban Kristus yang sempurna,
yang mana Allah mengetahui Dia akan melakukannya. Pada hal ini, Allah
mengampuni dosa-dosa dari umatNya yang hidup sebelum masa Kristus. kematianNya
telah menebus dan mengalihkan dari yang (dilakukan) pada perjanjian yang
pertama” (Ibr 9:15), maksudnya hukum Musa (Ibr 8:5-9). Segala persembahan
dipersembahkan di bawah hukum kepada Kristus, persembahan dosa yang sempurna,
yang menghapus dosa dengan mengorbankan diriNya sendiri” (Ibr 9:26; 13:11,12;
Rm 8:3 [NIV] 2 Kor 5:21).
Kita dijelaskan dalam sesi
7.3 bagaimana keseluruhan Perjanjian Lama, terdiri dari hukum Musa, menilai
kepada Kristus. Di bawah hukum akan jalan Allah melalui imam besar; dialah
penghubung antara Allah dengan manusia di bawah perjanjian yang lama
sebagaimana Kristus di bawah Perjanjian yang baru (Ibr 9:15). “hukum
(menjadikan) manusia imam besar yang harus ditetapkan; tetapi kata sumpah... membuat
Anak, yang ditujukan untuk selama-lamanya” (Ibr 7:28). Karena mereka sendiri
adalah orang berdosa, orang ini tidak pada posisi yang menghasilkan pengampunan
yang benar kepada manusia. Binatang yang dipersembahkan untuk dosa tidaklah
sungguh-sungguh mewakili orng berdosa. Apa yang disebut sebagai manusia
sempurna, satu yang dalam segala hal mewakili seluruh dosa manusia, yang
sebelumnya sebagai sesuatu yang dapat diterima sebagai pengorbanan akan dosa.
Manusia yang kemudian menyatuakan diri mereka dengan korban. Dalam hal yang
sama, Imam besar yang sempurna turut merasakan seluruh dosa manusia bagi
penyediaanNya, pernah dicobai seperti mereka (Ibr 2:14-18).
Yesus menyempurnakan hal
ini – “demikianlah sebagai imam besar bagi kita, yang kudus, tidak bersalah,
tidak nernoda” (Ibr 7:26). Dia tidak memerlukan korban unruk diriNya sendiri
secara terus-menerus, dan juga tidak dapat mati lagi (Ibr 7:23,27). Dalam
penjelasan ini, Alkitab mengatakan Kristus sebagai imam kita: “di mana Dia
dapat juga menyelamatkan mereka dan membawa kepada Allah melalui Dia, melihat
Dia hidup untuk membuat perantaraan bagi mereka” (Ibr 7:25). Karena Dia
memiliki kodart manusia, Kristus sebagai Imam Besar kita yang ideal, “memiliki
belas kasihan kepada mereka yang bodoh dan tersesat; karena Dia sndiri penuh
dengan kelemahan” (Ibr 5:2). Ini mengulang pernyataan mengenai Kristus, “Dia
juga seperti diriNya sendiri” mengambil bagian sifat dasar manusia kita
(Ibr 2:14).
Sebagai imam besar Yahudi
perantara hanya bagi umat Allah, Israel, begitupun Kristus imam hanya bagi
Israel rohani – yang telah dibaptis ke dalam Kristus, memahami kebenaran injil.
Dia adalah “imam besar atas rumah Allah” (Ibr 10:21), yang diperuntukan
bagi mereka yang lahir baru melalui baptisan (1 Ptr 2:2-5), memiliki
pengharapan yang benar akan injil (Ibr 3:6). Menghargai dan menyadari ke-
imaman Kristus seharusnya membuat kita dibaptis di dalam Dia; tanpa ini, Dia
tidak dapat menjadi perantara kita.
Memiliki baptisan dalam
Kristus, kita seharusnya mengejar manfaat penuh akan ke-imaman Kristus;
sesungguhnya, kita memiliki tanggung-jawa di mana kita harus mengangkatnya.
“Oleh Dia, biarlah kita mempersembahkan korban pujian kepada Allah
terus-menerus” (Ibr 13:15). Rencana Allah akan penyediaan Kristus sebagai imam
besar kita agar kita memuliakan Dia; oleh karenanya seharusnya kita
terus-menerus menggunakan jalur kita kepada Allah melalui Kristus dengan maksud
memujiNya. Ibr 10:21-25 mencatat sejumlah tanggung-jawab yang kita miliki yang
diperhitungkan kepada Kristus sebagai imam besar kita: “memiliki imam besar
atas rumah Allah:
1. marilah kita
mendekat kepada Allah denagn hati yang benar dalam jaminan iman yang penuh,
hati yang terpecahkan dari keadaan yang jahat, dan tubuh kita dibasuh dengan
air yang murni”. Memahami ke-imaman Kristus berarti kita harus dibaptis di
dalamNya (“pembasuhan tubuh kita”), kita tidak seharusnya membiarkan yang jahat
bertumbuh dalam pikiran kita. Jika kita percaya akan penyataan Kristus, kita
menjadi satu dengan Allah (‘PADA-SATU-MANUSIA’) oleh pengorbananNya.
2. “mari kita
bertahan pada iman kita tanpa terguncang”. Kita tidak seharusnya terpisah dari
ajaran-ajaran yang membawa kita akan memahami ke-imaman Kristus.
3. mari kita
menyadari satu dengan lainnya akan kasih... tidak menghina jemaat yang kita
bersama”. Kita harus menjalin kasih bersama dengan lainnya yang memahami hasil
ke-imaman Kristus; ini terdiri dari jemaat bersama pada pelayanan persekutuan,
yang mana kita mengingat pengorbanan Kristus (lihat sesi 11.3,5).
Menhargai hal ini
seharusnya kita rasakan dengan keyakinan yang rendah hati bahwa kita
sesungguhny6a akan mencapai keselamatan, jika kita dibaptis dan taat di dalam
Kristus: “marilah kita dengan demikian datang secara
jasmanimenghampiri tahta kasih karunia, bahwa kita menerima rahmat, dan
menemukan anugerah untuk menolong kita pada waktunya” (Ibr 4:6).
9.3 Pemberian Untuk Kita Dan DiriNya
adalah penting bahwa kita memahami bagaimana
Yesus Kristus telah terlibat dalam persembahan kita. Bahwa pemberianNya kepada
kita tidak dapat diragukan lagi. Dalam melihat pokok ini kita perlu meikirkan
bahwa meskipun Yesus tidak berdosa, Dia lahir dalam keadaan sama yang umum
dengan semua manusia. Dia merasakan yang mana Ia datang untuk menyelamatkan,
bahwa ke-fanaan dan hukum dosa berlaku bagi kita semua. Sebagaimana ditekankan
dalam pengajaran ini, Dia telah “dicobai dalam segala hal” seperti kita juga.
Kita melihat bahwa Dia mengatasi dosa melalui ketaatan yang sempurna kepada
Bapa, meskipun harus mati di kayu salib.bagaimanapun, Dia juga perlu
“penebusan” atau “keselamatan” dari ke-fanaanNya. Ini menjelaskan nubuatan
kematianNya.
“ke dalam tanganNya kuserahkan rohku: yang
menbusku, O Tuhan Allah kebenaran” (Mzm 31:5). Kita mendengar bagian ini
dibicarakan saat Yesus mati di kayu salib (Luk 23:46). Dia melihat BapaNya
sebagai penebusNya yang akan “menebus jiwaku dari kuasa maut” (Mzm 49:15).
“Dia akan berseru kepadaKu: Kau Bapaku, Allahku,
gunung batu keselamatanku. Juga Aku akan membuat dia menjadi anak sulung, lebih
tinggi dari raja-raja di bumi” (Mzm 89:26-27). Kita melihat bahwa melalui
doaNya kepada Bapa, Allah menyelamatkan Dia dari kematian dan menempatkan Dia
menjadi “anak sulung”.
Dari naskah demikian
kita diingatkan, bahwa Yesus sendiri perlu pembebasan dari ke-fanaan yang
datang kepada semua manusia dari dosa Adam. Dia tidak terpisah dari mereka yang
datang untuk menyelamatkan dalam hal ini.
Berbicara akan kematian
dan kebangkitanNya, Petrus mengatakan: “Dia yang diserahkan Allah menurut maksud
dan rencanaNya, telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa
durhaka. Tetapi Allah membangkitkan Dia dengan melepaskan Dia dari sengsara
maut, karena tidak mungkin Ia tetap berada dalam kuasa maut itu” (Kis 2:23,24).
Tidaklah mungkin bagi kubur untuk menahanNya sebab “upah dosa adalah maut”,
tetapi Yesus, walau dicobai, tidak pernah berdosa dan memberi kesempatan
pada cobaan ini. untuk itulah manusia benar tidak diperuntukkan dalam kubur.
Allah benar dalam segala jalanNya, itulah sebabnya dengan ketaatanNya yang
sempurna, bahwa Yesus mematahkan ikatan dosa dan kematian, baik untuk diriNya
sendiri dan semua yang dibaptis di dalamNya. Hanya melalui Dia segala dosa kita
dapat diampuni dan kita berdiri dalam pengharapan yang mana kekekalan telah Dia
berikan.
“mengetahui bahwa Kristus bangkit dari kematian dan
tidak mati lagi, maut tidak berkuasa lagi atas Dia. Sebab kematianNya
adalah kematian terhadap dosa, satu kali untuk selamanya, dan kehidupanNya
kehidupan bagi Allah” (Rm 6:9,10). Dia mati di bawah hal-hal yang datang oleh
dosa, yang Dia bangkita hidup karena tidak benar bahwa manusia tidak berdosa
tetap mati.
“dalam hidupNya sebagai manusia, Ia telah
mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia,
yang sanggup menyelamatkanNya (Yunani=mengeluarkan) dari maut, dan karena
kesalehanNya, Dia telah didengarkan. Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah
belajar menjadi taat dari apa yang diterimaNya, dan sesudah Ia mencapai
kesempurnaanNya, Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua yang taat
kepadaNya” (Ibr 5:7,8). Melalui doa dan kehidupan yang taat bahwa Bapa
membebaskan Ia keluar dari maut.
“Tidak juga dari darah lembu dan domba, tetapi oleh
darahNya sendiri Dia masuk ke dalam tempat maha kudus, memiliki penebusan
kekal” (Ibr 9:12). Di sini Paulus membandingkan masuknya imam besar ke tempat
kudus masuknya Kristus ke dalam surga itu sendiri (ay 24). Yang mana imam masuk
dengan darah korban, korban ini mengarah pada satu korban besar dari Anak Allah
– Dia sendiri. Di sini kita melihat bahwa melalui persembahan pengorbananNya
Dia beroleh “penebusan kekal” – Dia telah dilepaskan dari belenggu maut. Maut
ditetapkan bagi yang lemah dan penuh dosa yang terlihat sebagai perhambaan,
tetapi melalui ketaatan Kristussampai mati di kayu salib, Dia telah mematahkan
belenggu untuk diriNya sendiri dan semua yang di dalam Diamelalui kematianNya,
Dia “menghancurkan kuasa maut, yaitu iblis” (Ibr 2:14). Dia beroleh “Penebusan
kekal”dari beban yang menjemuhkan itu.
“maka sekarang Allah damai sejahtera, yang oleh
darah perjanjian kekal telah mengembalikan dari antara orang mati Gembala Agung
segala domba, yaitu Yesus Tuhan kita, kiranya meperlengkapi kamu dalam segala
kebaikan untuk melakukan kehendakNya, dan mengerjakan dalam kita apa yang
berkenan kepadaNya, oleh Yesus Kristus bagia Dialah segala kemuliaan sampai
selama-lamanya. Amin” (Ibr 13:20-21). Paulus menyimpulkan surat ini dengan
kenyataan bahwa Yesus telah diangkat dari kematian oleh Allah melalui
darah perjanjian kekal. Bahwa darah dengan itu Dia utarakan kepada para murid
di ruang atas, yang menagtakan: “inilah darahKu dari Perjanjian Baru, yang
tercurah sebagi penebusan segala dosa” (Mat 26:28). Itulah darahNya, yang kita
lihat sebelumnya mengarah pada hidupNya. Dia berkeinginan memberikan hidupNya
(Mat 20:28) untuk menebus seluruh manusia dari belenggu dosa dan maut, jika di
dalam iman mereka datang kepada Allah melalui Dia.
Dalam penyalibanNya,
Dioa secara umum terlihat bahwa apa yang Dia lakukan melalui kehidupanNya dalam
menyangkal cobaan kedagingan, Dia sekarang berkeinginan mengumumkan penyaliban
kedagingan semua nafsu dan hasrat, dan dan mengikuti kehendak Allah untuk
memenuhi didikan. Paulus menulis: “dan dalam rupa sebagai manusia, Dia telah
merendahkan diriNya, dan taat sampai mati, bahkan mati di kayu salib”.
keinginanNya melakukan kehendak Allah akan ini. “yang mana (karena ketaatan
yang luar biasa akan segala hal) Allah juga meninggikan Dia, dan memberiNya
nama di atas segala nama: bahwa di dalam nama Yesus semua lutut bertelut, yang
di surga , dan yang di bumi, dan yang di bawah bumi; dan bahwa segala lidah
akan mengaku bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan, bagi kemuliaan Allah Bapa (Flp
2:8-11). Lewt itu, akhirnya tindakan taat kepada Allah dimuliakan, dan Bapa
memenuhi pernyataan Kristus : “permuliakan Aku padaMu sendiri dengan kemuliaan
yang Kumiliki di hadiratMu sebelum dunia ada” (Yoh 17:5). Dia telah naik dalam
kekekalan, kodrat illahi, untuk duduk di sebelah kanan Bapa.
Denngan setia melakukan
kehendak BapaNya melalui hidupNya, bahkan mati di kayu salib, Dia membuka jalan
kepada siapa saja yang dibaptis di dalamNya untuk berbagi hidup yang telah Dia
berikan. Di sana Dia mengkahiri kematian kelemahan manusia dan semua yang
bdiberikan keutamaan dan dominasi oleh pembawan dosa, dalam keajaiban dan iman
bertahan kepadaNya “ yang dalam diriNya sendiri menimpahkan dosa-dosa kita
dalam tubuhNya sendiri di salib, bahwa kita menjadi mati akan dosa, dan
selayaknya hidup kepada kebenaran: yang olehNya kita disembuhkan” (1 Ptr 2:24).
Kita bmerenungkan hal-hal ini, menyadari bahwa melalui tindakan akhir dari
ketaatan, Dia “mematahkan kematian, dan mendatangkan hidup dan kekekalan kepada
cahaya injil” (2 Tim 1:10).
9.4 Yesus Adalah Perwakilan Kita
kita telah melihat bahwa korban binatang
tidaklah memenuhi perwakilan dari manusia berdosa, Yesuslah perwakilan bagi
kita, dalam segala hal “menjadi seperti pengikutNya” (Ibr 2:17). “Dia merasakan
kematian untuk semua manusia” (Ibr 2:9). Ketika kita melakukan dosa, contohnya
berdusta – Allah akan mengampuni kita “demi Kristus” (Ef 4:32). Ini karena
Allah menyamakan kita dengan Kristus, manusia seperti kita yang dicobai untuk
berdosa – misalkan berbohong – tetapi yang mengatasi segala cobaan. Oleh karena
itu Allah mengampuni dosa kita – dari kebohongan – karena kita di dalam
Kristus, terlindungi kebenaranNya. Ketika kita mengakui dosa kita kepada Allah,
kita mengakui kesempurnaan contoh dari ketidak-berdosaan Tuhan Yesus Kristus
dan mengatakan kepada Bapa bagaimana kita ingin seperti Dia. Kristus menjadi
perwakilan kita yang oleh sebab itu berarti Allah dapat menunjukkan kepada kita
kasih karuniaNya, sementara mempertahankan prinsip kebenaranNya.
Jika yesus sebelumnya
Allah lebih dari sekedar mabusia murni, Dia tidak bisa menjadi perwakilan kita.
Ini contoh lain yang salah yang memimpin lainnya. Karena ini, banyak ahli
teologi mengembangkan kerumitan dalam menjelaskan kematian Kristus. Pandangan
umum dari umat kristen yang murtad adalah bahwa dosa-dosa manusia menempatkan
manusia dalam dosa kepada Allah yang manusia tidak dapat membayarnya sendiri.
Maka Yesus menghapus dosa setiap orang percaya dengan darahNya, tercurah di
salib. Banyak penkotbah injil di lapangan meng-ekspresikan seperti ini:
“sebagaimana kita memanjat tembok, sebagaimana iblis akan menembak, maka Yesus
masuk ditengahnya; dan iblis menembakNya mengganti kita, dengan begitu kita
sekarang bebas”.
Teori elaborasi ini yang
mana tanpa dukungan Alkitabiah, terdapat kejelasan keterbalikan seandainya
Yesus mati menggantikan kita, artinya sebagai pengganti kita, maka kita tidak
perlu mati. Sebagaimana kita masih memiliki kodrat manusia, kita masih harus
mati; keselamatan dari dosa dan kematian akhirnya akan dinyatakan pada
penghakiman (saat kita dijamin oleh kasih karunia Allah yang kekal). Kita tidak
menerima ini pada waktu Kristus mati.
Alkitab mengajarkan bahwa
keselamatan hanya mungkin melalui kematian DAN kebangkitan Kristus, bukan hanya
oleh kematianNya. Kristus “mati bagi kita” hanya sekali. Teori penggantian akan
berarti bahwa Dia harus mati untuk setiap kita secara pribadi.
Jika Kristus melunaskan
hutang dosa dengan darahNya, keselamatan kita menjadi sesuatu yang dapat kita
terima dengan benar. Kenyataannya keselamatan adalah hadiah, membawa kasih
karunia dan pengampunan Allah, merupakan sisi terhilang jika kita memahami
pengorbanan Kristus sebagai pembayaran dosa. Itu juga mengusulkan bahwa sebuah
kemarahan Allah menjadi tenang ketika Dia melihat darahYesus yang tercurah.
Karena apa yang Allah lihat saat kita bertobat adalah AnakNya sebagai
perwakilan kita, seseorang yang harus kita teladani. Banyak dalam penyembahan
dan pujian orang-orang kristen berisikan pengajaran palsu pada daerah ini.
banyak doktrin sesat membekas pada pikiran manusia melalui musik, melebihi
rasionalitas petunjuk Alkitabiah. Kita harus memperhatikan ini sebagai
pencucian otak.
Sungguh tragis, kata
sederhana “Kristus mati bagi kita” (Rm 5:8) menjadi salah pengertian diartikan
bahwa Kristus mati menggantikan kita. Terdapat beberapa ayat berhubungan antara
Rm 5 dan 1 Kor 15 (contoh Rm 5:12=1 Kor 15:21; Rm 5:7=1 Kor 15:22). “Kristus
mati bagi kita” (Rm 5:8) adalah cocok dengan “Kristus mati bagi dosa kita” (1
Kor 15:3). kematianNya menyediakan jalan yang mana kita mendapat pengampunan
akan dosa-dosa kita; dalam sentuhan ini bahwa “Kristus mati bagi kita”. Kata
“bagi” tidak secara utama berarti ‘menggantikan’; Kristus mati “bagi dosa
kita”, bukan ‘menggantikan’ nya. Oleh karena ini, Kristus dapat “membuat
masukan” bagi kita (Ibr 7:25) – bukan ‘menggantikan’ kita. Tidak juga “bagi”
berarti ‘menggantikan’ dalam Ibr 10:12 dan Gal 1:4. Jika Kristus mati
‘menggantikan kita’ itu berarti tidak perlu memikul salibNya sebagaimana Dia
teladan kita. Dan tidak terdapat sentuhan dlam baptisan dalam kematian dan
kebangkitanNya, berkeinginan menyamakan diri kita denganNya sebagai perwakilan
kemenangan kita. Ide dari penggatian memasukan potongan kecil untuk permuliaan
bersama Dia yang secara sederhana tidak berlaku. Memahami Dia sebagai perwakilan
kita, memberlakukan kita pada baptisan ke dalam kematian dan
kebangkitanNyakehidupan salib terbawa sepanjang bersamaNya, dan secara nyata
berbagi akan kebangkitanNya. kebangkitanNya adalah milik kita; kita telah
diberikan harapan akan kebangkitan karena kita di dalam Kristus, yang telah
bangkit (1 Ptr 1:3). Tuhan Yesus hidup dan mati dengan keadaan kita, dalam
segala hal ini, dengan maksud agar dapat mendekati kita dan memapukan kita
untuk menyamakan diri kita dengan Dia. Dengan menghargai pengajaran ini, kita
dimampukan Dia untuk melihat hasil dari penderitaan akan jiwaNya dan dipuaskan.
9.5 Yesus Dan Hukum Musa
Yesus adalah korban yang sempurna akan dosa
dan imam besar tertinggi yang dapat memberikan pengampunan bagi kita. Oleh
karena itu aturan lama akan korban binatang dan imam besar telah berlalu
setelah kematianNya (Ibr 10:5-14). “ke-imaman digantikan (dari kaum lewi
menjadi Kristus), dan juga mengganti hukum” (Ibr 7:12). Kristus “menjadi imam
bukan berdasarkan rutinitas (karena hanya keturunan lewi yang menjadi imam),
tetapi berdasarkan kuasa dan kehidupan yang tidak dapat binasa”, yang mana Dia
telah memberikan korbanNya yang sempurna (Ibr 7:16 NIV). Oleh sebab itu, ini
berbeda dengan bentuk yang rutinitas (artinya hukum Musa)karena semua itu sia-sia
dan tidak berguna. Sebab hukum dibuat tidaklah sempurna, tetapi membawa kepada
pengharapan yang lebih baik (melalui Kristus) yang melakukannya” (Ibr 7:18,19
AV dengan NIV).
Inilah bukti bahwa hukum
Musa telah digenapi dan digantikan dengan pengorbanan akan Kristus. Percaya
kepada ke-imaman manusia dan mempersembahkan korban binatangberarti kita tidak
menerima kemenangan Kristus secara penuh. Percaya demikian berarti kita tidak
menerima korban Kristus sebagai keberhasilan yang memenuhi, dan kita merasakan
bahwa perbuatan-perbuatan adalah perlu untuk pembenaran kita, melebihi iman di
dalam Kristus itu sendiri. “tidak ada manusia yang dibenarkan oleh karena hukum
di mata Allah...untuk, pem(benaran) akn tinggal oleh iman” (Gal 3:11; Hab
2:4). Pembuktian akan diri kita sendiri untuk ketaatan kepada surat hukum
Allah, bagaimanapun akan gagal dan tidak membawa kita pada pembenaran;
dipastiak setiap pembaca kata-kata ini telah mengetahui sebelumnya.
Jika kita mengamati hukum
Musa, kita harus memelihara semua itu. Ketidak-taatan kepada salah satu bagian
berarti bahwa kita di bawah penghukuman. “ sebagaimana tindakan di bawah hukum
adalah di bawah kutuk: sebab ada tertulis, terkutuklah setiap orang yang tidak
setia melakukan segala yang tertulis dalam hukum taurat” (Gal 3:10). Kelemahan
kodarat manusia berarti kita menemukan bahwa tidak mungkin memelihara hukum
Musa secara penuh, tetapi mengenai ketaatan penuh Kristus melakukannya, kita
dibebaskan dari segala hal untuk memelihara ini. keselamatan kita yang adalah
pemberian Allah melalui Kristus, melebihi dari ketaatan kita. “sebab apa yang
tidak mungkin dilakukan hukum taurat karena tak berdaya oleh daging, telah
dilakukan Allah dengan jlan mengutus AnakNya sendiri dalam daging yang serupa
dengan daging yang dikuasai dosa karena dosa, Ia telah menjatuhi hukuman atas
dosa di dalam daging” (Rm 8:3). Demikian “Kristus telah menebus kita dari kutuk
hukum taurat, dengan menjadi kutuk karena kita” (Gal 3:13).
Karena ini, kita tidak
lagi memelihara segala yang terdapat pada hukum Musa. Kita melihat dalam
Pelajaran 3.4 bahwa Perjanjian yang baru dalam Kristus ditempatkan Perjanjian
yang lama oleh hukum Musa (Ibr 8:13). Oleh kematianNya, Christus menghapus
“tulisan tangan dari apa yang menuntut kita dan tidak mungkin bagi kita (oleh
ketidak mampuan kita untuk menjaga hukum secara penuh), dan membuangnya jauh,
memakukan ini di salibNya... biarlah tidak ada orang menghakimi kamu dalam
daging, atau dalam minum (persembahan), atau dalam menghormati festival agamawi,
atau bulan baru, atau hari sabat: yang membayangi hal-hal ini untuk datang;
tetapi kenyataannya adalah Kristus” (Kol 2:14-17 AV dengan NIV). Ini
cukup jelas – karena kematian Kristus di salib, hukum Musa telah diambil
“keluar jauh” terlepas dari tekanan yang diletakan atas kita untuk menjaga
bagian ini, contohnya hari raya dan sabat. Sebagaimana berhenti dari hukum,
tujun dari hal ini untuk mengarah pada Kristus. Setelah kematianNya, ciri-ciri
yang tepat telah terpenuhi, dan oleh sebab itu tidak ada sesuatu untuk
mengamatinya.
Gereja kristen mula-mula
dari abad pertama telah ditekan terus-menerus oleh Yahudi ortodok untuk
memelihara bagian dari hukum. Melampaui Perjanjian Baru terdapat peringatan
yang diulangi untuk nasihat ini. dalam menghadapi semua ini, suatu hal luar
biasa bahwa terdapat beberapa denominasi yang membela bagian ketaatan pada
hukum. Kita telah lebih dahulu ditunjukkan bahwa segala perhatian untuk
memperoleh keselamatan dari ketaatan hukum harus dijaga dalam hukum, dilain hal
kita secara otomatis dihukum untuk ketidak-taatan akan hal ini (Gal 3:10).
Terdapat bagian dalam
kodrat manusia yang dimasukan pada ide dari pembenaran oleh perbuatan; kita
senang merasakan bahwa kita melakukan sesuatu untuk keselamatan kita. Untuk
alasan ini, kewajiban sepersepuluh, meikul salib, menemptkan doa-doa, mendoakan
hal-hal tertentu, dll, adalah bagian yang dikenal dari banyak agama, kriten dan
lainnya. Keselamatan karena iman dalam Kristus adalah doktrin yang unik untuk
dasar Alkitab kekristenan yang benar.
Peringatan menentang
memlihara hukum Musa dengan maksud untuk memperoleh keselamatan, melampaui
Perjanjian baru. Beberapa mengajarkan bahwa orang kristen seharusnya disunat
sesuai hukum Musa, “dan menjaga hukum”. Yakobus secara sederhana diberlakukan
ide ini pada halnya orang-orang percaya yang sesungguhnya: “kami tidak memberi
perintah” (Kis 15:24). Petrus menggambarkan barangsiapa mengajar perlu taat
pada hukum seperti meletakan kuk atas leher para murid yang mana nenek moyang
kita dan kita tidak mampu menanggungnya. Tetapi kita percaya melalui kasih
karunia Tuhan Yesus Kristus (sebagai kebalikan dari perbuatan taat pada hukum)
kita akan diselamatkan” (Kis 15:10,11). Dibawah inspirasi, Paulus dengan sama
mengatakan untuk menekankan hal yang sama waktu demi waktu. “manusia tidak
dibenarkan oleh perbuatan akan hukum, melainkan oleh iman kepada Yesus
Kristus... bahwa kita beroleh pembenaran oleh iman akan Kristus, dan bukan
karena perbuatan akan hukum: sebab oleh perbuatan akan hukum yang tidak
kedagingan akan dibenarkan... tidak ada seorangpun yang dibenarkan karena
hukum... oleh (Kristus) semua yang percaya akan dibenarkan dari segala hal,
yang mana kamu tidak akan beroleh pembenaran dari hukum Musa” (Gal 2:16; 3:11;
Kis 13:39).
Sebuah kepastian
menandakan ajaran umum darei banyak aliran kristen bahwa banyak dari praktek
mereka yang didasari pada bagian dari hukum Musa – meskipun kejelasan
penagjaran mengenai orang kristen seharusnya tidak mengamati hukum ini, melihat
bahwa hal ini telah digenapi dalam Kristus (Mat 5:17). Sekarang kita akan lebih
menyadari jalan yang nyata di dalam hukum Musa adalah dasar dari praktis
kristen masa kini.
Para Imam
Gereja-gereja katolik dan anglikan menggunakan
sistem ke-imaman manusia. Katolik Roma melihat Paus sebagai penyamaan mereka
dari imam besar Yahudi. Adalah “satu media perantara antara Allah dan manusia,
manusia Kristus Yesus” (1 Tim 2:5). Tidaklah mungkin yang oleh karenanya bahwa
Paus atau imam-imam dapat menjadi perantara kita sebagai imam-imam seperti
Perjanjian Lama. Kristus adalah Imam Besar kita di surga sekarang,
mempersembahkan doa-doa kita kepada Allah.
Adalah secara pasti bukti
yang tidak Alkitabiah bahwa otoritas ditempatkan oleh pegaruniaan rohani
penatua pada abad pertama – contohnya Petrus memberikan pda generasi berikut
atau kepada Paus bagian ini. walau kemungkinan hal ini disetujui, tidak ada hal
yang membuktikan bahwa Paus dan para imam secara pribadi kepada mereka yang
berjubahkan kerohanian penatua pada abad pertama telah diikuti.
Karunia rohani telah
diambil, semua orang percaya memiliki kesamaan untuk masuk ke dalam Firman Roh
di dalam Alkitab (kihat Pelajaran 2.2 dan 2.4). yang untuknya semua kawan
sehaluan, tidak memiliki tempat kerohanian yang lebih tinggi dari yang lainnya.
Sesungguhnya, seluruh orang percaya yang benar adalah bagian dari ke-imaman
yang baru dengan alasan mereka dibaptiskan dalam Kristus, dalam hal ini mereka
memperlihatkan terang Allah kepada dunia yang gelap ( 1Ptr 2:9). Oleh sebab itu
mereka akan menjadi imamat rajani akan Kerajaan, saat ini ditetapkan di atas
bumi pada kedatangan kristus (Why 5:10).
Prakteis katolik akan
julukan imam mereka ‘bapa’ (‘Paus’ berarti ‘bapa’ juga) dalam pertentangan akan
kejelasan kata-kata Yesus, “janganlah kamu menyebut siapapun bapa di bumi ini,
karena hanya satu Bapamu, yaitu yang di surga” (Mat 23:9). Sesungguhnya, Yesus
memberi peringatan yang menentang para pengikut yang rohaninya rendah
menghormati mereka dengan sebutan imamat moderen: “janganlah kamu disebut Rabbi
(guru): karena hanya satu Tuanmu, bahkan Kristus; dan kamu semua adalah
saudara” (Mat 23:8).
Hisan jubah dipakai para
imam, uskup dan pastor lainnya memiliki dasar mereka dalam pakaiaan khusus dari
kepingan batu yang dikenakan oleh para imam dan imam besar. pemakaian ini
mengarhkan pada kesempurnaan karakter Kristus, dan sebagaimana semua hukum,
bertujuan untuk digenapi sekarang. Sungguh menyedihkan hati, bahwa pakaian yang
mana diarahkan untuk kemuliaan Kristus, sekarang digunakan untuk kemuliaan
seseorang yang menggunakannya – beberapa dari mereka setuju bahwa mereka tidak
menerima kebangkitan Kristus atau bahkan keberadaan Allah.
Ide katolik bahwa Maria
adalah seorang imam adalah salah. Permintaan kita adalah dalam
nama Kristus, bukan Maria (Yoh 14:13,14; 15:16; 16:23-26). Hanya Kristus
imam besar kita,bukan Maria. Yesus menegur maria saat dia menyuruhNya melakukan
sesuatu untuk orang lain (Yoh 2:2-4). Bukan Maria, namun Allah yang membawa
seseorang kepada Kristus (Yoh 6:44).
Perpuluhan
Ini juga, adalah bagian dari hukum zaman Musa (Bil
18:21), sementara kaum Yahudi menyumbang sepersepuluh kepada iamam kaum lewi.
Melihat bahwa tidak adanya ke-imaman manusia, tidaklah berlaku lagi hal untuk
membayar perpuluhan kepada para penatua gereja. Dan lagi, satu ajaran palsu
(dalam kasus ini mengenai para imam) harus menuntun yang lainnya (perpuluhan).
Allah sendiri tidak memerlukan persembahan kita, melihat bahwa
segalanya adalah kepunyaanNya (Mzm 50:8-13). Kita hanya mengembalikan kepada
Allah apa yang Ia berikan kepada kita (1 Taw 29:14). Tidak mungkin bagi kita
untuk memperoleh keselamatan sebagai hasil dari persembahan materi kita,
contohnya keuangan. Dalam syukur kepada kebesaran karunia Allah bagi kita, kita
seharusnya tidak hanya memberi sepersepuluh dari uang kita, tetapi seluruh
hidup kita. Paulus mencontohkan dalam hal ini, sunggguh-sungguh melakukan apa
yang ia kotbahkan: “persembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, kudus,
berkenan kepada Allah, sebagi ibadahmu yang sejati” (Rm 12:1).
Daging
Hukum Yahudi mengkategorikan daging-daging yang
tidak bersih – dipraktekan oleh beberapa denominasi saat ini, khususnya daging
babi. Karena pengembalian hukum Kristus di kayu salib, “biarlah tidak ada orang
yang menghakimi kamu dalam daging, atau minuman” (Kol 2:14-16). Mengenai
perintah zaman Musa mengenai hal ini telah dibuang jauh, melihat bahwa Kristus
telah datangDialah makanan ‘bersih’ yang dimaksudkan.
Yesus dengan jelas
menerangkan bahwa bukanlah sesuatu yang dimakan orang yang menajiskannya;
melainkan apa yang keluar dari dalam hatinya yang menajiskannya (Mrk 7:15-23).
“dengan kata lain seperti ini, Yesus mengumumkan segala makanan ‘bersih’ halal”
(Mrk 7:19 NIV). Petrus diajarkan hal yang sama (Kis 10:14,15), seperti juga
Paulus: “aku tahu, dan diyakinkan oleh Tuhan Yesus, bahwa tidak ada sesuatu
yang tidak bersih oleh karenanya” (Rm 14:14). Mulanya, Paulus beralasan untuk
menolak daging yang menandakan kenajisan (Rm 14:2). Sikap kita terhadap daging
“tidak mendekatkan kita kepada Allah” (1 Kor 8:8). Banyak masukan dari semua
yang memperingati orang-orang kristen murtad akan mengajarkan seseorang “jangan
makan daging, yang mana Allah ciptakan untuk diterima sebagai ucapan syukur
bagi mereka yang percaya dan mengenal kebenaran” (1 Tim 4:3).
9.6 Hari Sabat
satu penyebaran terbesar yang berkelanjutan
antara kristen masa kini dengan praktis hukum zaman Musa terlihat dalam sebua
ide bahwa kita harus tetap menguduskan hari sabat. Beberapa kelompok meng-klaim
bahwa kita harus memelihara hari sabat Yahudi seruapa seperti yang
didefinisikan dalam hukum; banyak yang lainnya merasakan bahwa orang kristen
seharusnya memiliki hari yang dikhususkan setiap minggu yang mana untuk
menyembah, yang sering mereka artikan hari minggu. Hal pertama yang meng-klarifikasikan
adalah hariu sabat merupakan hari terakhir dari setiap minggu, setelah Allah
beristirahat setelah enam hari penciptaan (Kel 20:10,11). Sebagaimana minggu
adalah hari pertama dari setiap minggu, tidak akan tepat jika kita mengamati
hari ini sebagai hari sabat. Hari sabat mengkhususkan “sebuah tanda Aku (Allah)
dan mereka (Israel), bahwa mereka boleh tahu bahwa Aku adalah Tuhan yang
menguduskan mereka” (Yeh 20:12). Dengan demikian, ini tidak berlaku mengiukat
pada kaum umum (bukan Yahudi). “Tuhan telah memberikan kepadamu (tidak semua
manusia) hari sabat (Kel 16:29); “Kau (Allah) membuat diketahui kepada mereka
(Israel) hari sabatMu” (Neh 9:14).
Yesus pernah sekali
berkomentar pada masalah teologia: seorang bayi laki-laki harus disunat pada
hari kedelapan hidupnya. Jika bertepatan pada hari sabat, maka pekerjaan harus
dilakukan. Jadi hukum mana yang seharusnya dijaga, sunat atau hari sabat? Yesus
menjawab bahwa sunat harus dihargai, karena datang dari Abraham, yang mana
hukum hari sabat datang kemudian, dari Musa: “Musa memberikan kamu penyunatan
[bukan karena ini dari Musa, tetapi dari nenek moyang – rtinya Abraham]...”.
juka hukum sunat mengambil tempat melebihi hari sabat, bagaimana ini menjadi
pendapat oleh beberapa orang bahwa hukum sabat mengikat dan hukum sunat tidak?
Sunat telah diambil dari perjanjian dengan Abraham, di mana sabat diambil dari
hukum Musa (Kel 31:17), dan Yesus menghakimi bahwa janji dengan Abraham adalah
lebih penting. Hal yang sama diutarakan oleh Paulus, ketika alasannya bahwa
perjanjian yang baru diberikan kepada Abraham [yang mana tidak melibatkan
perintah akan hari sabat] adalah sesuatu yang tidak
dapat dimasukan atau tidak dapat dibatalkan. Dia bertanya , untuk
itu, mengapa hal itu bahwa “hukum... telah diadakan” (Gal 3:15,19)? Dia
menjawab bahwa hukum telah dimasukan, penerapan sementara, melihat bahwa
perjanjian yang baru tidak dapat sungguh-sungguh dimasukan, dengan maksud untuk
mengajar manusia akan dosa dan menuntun mereka untuk memahami Kristus, janji dari
benih Abraham. Yang sekarang Kristus telah datang, kita tidak lagi dibawah
hukum.
Dengan demikian melalui
kematian Kristus di kayu salib, hukum Musa telah dilakukan menjauh, jadi tidak
diperlukan lagi sekarang untuk menjalani hari sabat, atau sesungguhnya, segala
festival, contohnya hari kematian Kristus (Kol 2:14-17). Kristen mula-mula yang
kembali untuk memelihara hukum zaman Musa, contohnya hari sabat, telah
digambarkan Paulus sebagai pengembalian “untuk yang lemah dan prinsip yang
salah (NIV), yang menginginkan kamu untuk diperbudak kembali. Perhatiknlah
hari-hari (contohnya sabat), dan bulan, dan waktu, dan tahun (festival Yahudi).
Aku mengkhawatirkan (akan) kamu, kalau upayaku ke kamu sia-sia” (Gal
4:9-11). Inilah keseriusan untuk memelihara sabat sebagai arti dari
keselamatan. Jelas sekali bahwa menjalankan sabat tidak berhubungan dengan
keselamatan: “oleh satu orang telah ditetapkan satu hari atas yang lainnya
(dalam keserasian rohani): yang lain ditetapkan sebagaimana setiap hari.
Hendaklah setiap orang yakin akan pikirannya. Siapa yang berpegang pada suatu
hari, ia melakukannya untuk Tuhan; dan yang tidak berpegang hari itu, ia juga
tidak melakukannya untuk Tuhan” (Rm 14:5,6).
Karena ini, sulit memahami
bahwa kita tidak membaca orang percaya mula-mula memelihara hari sabat.
Sesungguhnya, ini tercatat bahwa mereka bertemu pada
“hari pertama pada satu minggu”, artinya minggu: “pada hari pertama
dalam minggu itu, ketika kami berkumpul untuk memecahkan roti...” (Kis 20:7).
Bahwa ini adalah penjabaran praktis yang diindikasikan oleh Paulus menasihati
orang-orang percaya di Korintus untuk berkumpul “pada hari pertama sebuah
minggu” (1 Kor 16:2), artinya pertemuan rutinitas pada hari itu. Semua
orang-orang percaya digambarkan sebagai imamat (1 Ptr 2:9) – yang meneladani
pemeliharaan hari sabat (Mat 12:5).
Jika kita memelihara hari
sabat, kita harus melakukan persiapan; kita akan terlihat dahulu bahwa adalah
fata untuk secara sebagian menjaga hukum zaman Musa, karena ini akan
menghasilkan hukum bagi kita (Gal 3:10; Yak 2:10). Keselamatan melalui hukum
Kristus melebihi Musa. Israel tidak diijinkan untuk bekerja pada hari sabat:
“barang siapa melakukan pekerjaan harus dijatuhi kematian”. Mereka juga
memerintahkan: “janganlah kamu menyalakan api sebagaimana biasanya pada hari
sabat”, dan oleh sebab itu mereka harus mempersiapkan makanan lebih
dahulu pada hari itu, dengan maksud yang menyalakan api akan dihukum mati
karena melakukannya (Bil 15:32-36).
Denominasi yang mengajar
bahwa pemeliharaan sabat adalah mengikat para anggotanya seharusnya dengan
demikian menghukum para anggotanya dengan kematian tatkala mereka melanggar
sabat. Seharusnya tidak boleh memasak makanan atau penggunaan api dalam segala
bentuk – contohnya mengendarai motor, menggunakan sistem itu, dll. Yahudi
ortodok menempatkan contoh dari sikap yang diterima pada hari sabat: mereka
memaksudkan di dalam ruangan sepanjang hari diterima untuk alasan keagamaan,
dan secara pribadi tidak terlibat dalam memasak, transportasi, dll. Banyak dari
‘kristen’ demikian menyatakan pemeliharaan hari sabat sejauh dapat dilakukan
akan hal ini.
sering diperdebatkan bahwa adalah salah satu dari
sepuluh perintah yang diberikan kepada Musa, dan bahwa, sementara pemberhentian
dari hukum Musa telah berlalu, penjagaan untuk pemeliharaan terhadap sepuluh
perintah. Hari ketujuh membuat perbedaan antara ‘hukum moral’ dari sepuluh
perintah, “hukum Allah”, yang disebut ‘hukum ritual’, yang “hukum Musa”,
sementara mereka percaya telah digenapi oleh Kristus. Perbedaan ini tidak
diajarkan dalam Alkitab. Alkitab menggunakan kata “hukum Musa” dan “hukum
Allah” menggantikannya (Bil 31:21; Yos 23:6; 2 Taw 31:3). Kita telah
dipertunjukkan lebih dahulu bahwa Perjanjian Lama mengarah pada hukum Musa,
yang mana digantikan di atas kayu salib dengan Perjanjian Baru.- Allah
“mengumumkan kepadamu (Israel) perjanjianNya, yang dia perintahkan kepadamu
(israel) untuk ditampilkan, bahkan kesepuluh perintah; dan Dia menuliskan pada
dua loh batu” (Ul 4:13). Dan lagi seharusnya tercatat bahwa perjanjian ini,
didasari atas sepuluh perintah, yang menjadi perantaraan Allah dan israel,
bukan kaum lain pada masa kini.
Yesus ke gunung Horeb untuk menerima loh batu yang
mana Allah menuliskan sepuluh perintah. Kemudian Musa berkomentar mengenai ini,
“Tuhan Allah kita membuat perjanjian dengan kitadi Horeb” (Ul 5:2), melalui
kesepuluh perintah.
Pada masa kini, Allah “menuliskan ke atas loh
firman dari perjanjian, kesepuluh perintah” (Kel 34:28). Inilah perjanjian yang
sama yang terlibat secara rinci disebut ‘hukum ritual’ (Kel 34:27). Jika
kita berpendapat bahwa menjaga perjanjian yang trerdapat pada kesepuluh
perintah adalah perlu, kita harus juga menjalankan setiap detil dari hukum yang
dimasukan, melihat bahwa ini merupakan semua bagian dari perjanjian yang sama.
Inilah bukti ketidak-mungkinan melakukan hal ini.
Tidaklah sesuatu dalam barang arkeologi dari dua
loha batu yang diamankan, yang Musa letakan di Horab... peninggalan, yang di
dalamnya terdapat perjanjian dari Tuhan” (1 Raj 8:9,21). Menganai loh itu, yang
mana kesepuluh perintah , adalah perjanjian.
Ibr 9:4 berbicara akan “tabut perjanjian”.
Kesepuluh perintah ditulis pada loh batu, yang sesuai dengan “perjanjian
(lama)”.
Paulus mengarah pada perjanjian ini sebagai
“tertulis dan tertanam dalam batu”, artinya di atas loh batu. Dia menyebut ini
“pelayanan kepada kemtian... pelayanan akan penghukuman... yangvtelah digenapi”
(2 Kor 3:7-11). Perjanjian disatukan dengan sepuluh perintah dapat diyakinkan
tidak memberi pengharapan akan keselamatan.
Kristus menghapus “tulisan tangan yang diberlakukan
menentang kita” (Kol 2:14) di kayu salib. Ini mengikuti kepada tulisan tangan
Allah akan kesepuluh perintah pada loh batu. Seperti halnya Paulus berbicara
akan “hukum... menjadi mati.... dari surat yang lama’ (Rm 7:6), dimungkinkan
mengarah pada surat sepuluh perintah yang mana ditulis pada loh batu.
Hanya satu dari sepuluh perintah yang ditetapkan
“hukum” dalam Rm 7:8: “hukum... berkata, janganlah kamu mengingini”. Didahului
ayat dalam Rm 7:1-7 menekankan bagaimana “hukum” telah digenapi oleh kematian
Kristus; “hukum” yang di dalamnya adalah kesepuluh perintah.
Semua ini membuat
jelas bahwa perjanjian yang lama dan “hukum” termasuk sepuluh perintah.
Sebagaimana hal itu digenapi oleh perjanjian yang baru, kesepuluh perintah oleh
karenanya dihapus. Bagaimanapun, sembilan dari sepuluh perintah telah
dijalankan, setidaknya di dalam roh, dalam Perjanjian Baru. Nomer 3,5,6,7,8 dan
9 dapat ditemukan hanya dalam 1 Tim 1, dan nomer 1,2 dan 10 dalam 1 Kor 5.
tetapi tidak pernah dari perintah keempat tentang hari sabat diulangi dalam
Perjanjian Baru sebagaimana harus diterapkan bagi kita.
Berikut ini daftar dari
bagian dokumen mengenai bagaimana kesembilan lainnya diberlakukan kembali dalam
Perjanjian Baru.
Ke-1
Ef 4:6; 1 Yoh 5:21; Mat 4:10
Ke-2
1
Kor 10:14; Rm 1:25
Ke-3
Yak 5:12; Mat 5:34,35
Ke-5
Ef 6:1,2; Kol 3:20
Ke-6
1 Yoh 3:15; Mat 5:21,22
Ke-7
Ibr 13:4; Mat 5:27,28
Ke-8
Rm 2:21; Ef 4:28
Ke-9
Kol 3:9; Ef 4:25; 2 Tim 3:3
Ke-10
Ef 5:3; Kol 3:5
Tuhan Yesus mengundang
kepada siapa saja yang mengikuti Dia untuk menerima “kelegaan” yang Dia berikan
(Mat 11:28). Dia menggunakan kata bahasa Yunani yang digunakan dalam
septuaginta, bahasa Yunani yang menterjemahkan Perjanjian Lama, untuk
perhentian sabat. Yesus memberikan hidup akan sabat. Peristirahatan dari
mepercayai pekerjaan kita (Ibr 4:3,10). Dengan demikian, kita tidak seharusnya
memelihara hari sabat satu hari setiap minggu, tetapi lebih hidup dalam seluruh
hidup kita dalam roh akan hari sabat.
10.1 Pentingnya Baptisan
beberapa waktu dalam permulaan pembelajaran kita
telah disebutkan pentingnya baptisan; ini adalah langkah pertama akan ketaatan
kepada pesan Injil. Ibr 6:2 berbicara tentang baptisan sebagai salah satu dari
banyak doktrin dasar. Kita meninggalkan kesadaran ini samapai tahap sejauh ini
karena baptisan yang benar hanya dapat terjadi setelah memiliki pegangan yang
benar akan kebenaran dasar yang terdiri dari Injil. Kita sekarang memiliki
pelajaran yang lengkap akan hal ini. jika anda ingin dipersatukan dengan
pengharapan yang besar yang seringkali Alkitab mengarahkan melalui Yesus
Kristus, maka baptisan merupakan kebutuhan yang absolut.
“keselamatan datang dari
bangsa Yahudi” (Yoh 4:22) dalam arti9an bahwa janji-janji mengenai keselamatan
telah dibuat hanya kepada Abraham dan benihnya. Kita hanya dapat memiliki
janji-janji yang dibuat untuk kita itu jika kita menjadi dalam benih, dengan
dibaptis ke dalam Kristus (Gal 3:22-29). Maka, segala kebenaran Tuhan Yesus
menjadi kebenaran kita. Zakharia menyebutkan nubuatan tentang benih Abraham dan
Daud sebagai penerapan untuk semua orang percaya (Luk 1:73,74). Tanpa baptisan,
kita berada di luar hubungan perjanjian dengan Allah. Inilah sebabnya Petrus
berseru: “bertobatlah dan dibaptis” dengan maksud untuk menerima
pengampunan. Hanya sebanyak yang telah dibaptis ke dalam Kristus yang
di dalam Dia dan oleh karenanya memiliki janji-janji keselamatan yang dibuat
untuk Abraham dibuat untuk mereka (Gal 3:27). Jika kita mengambil bagian dalam
kematian dan kebangkitan Kristus melalui baptisan, maka – dan hanya akan –
“kita menjadi sama dengan kebangkitanNya... kita akan hidup juga dengan Dia”
(Rm 6:5,8).
Yesus yang oleh karenanya
memerintahkan para pengikutNya: “pergilah kalian ke seluruh dunia dan
beritakanlah injil (yang berisikan janji-janji kepada Abraham – Gal 3:8) kepada
segala ciptaan. Dia yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan” (Mrk 16:16).
Cerminan keatas kata “dan” menyatakan bahwa percaya kepada injil saja tidak
dapat menyelamatkan kita; baptisan bukanlah merupakan pilihan tambahan di dalam
kehidupan kristen, ini adalah bagian penting untuk keselamatan. Ini tidaklah
mengatakan bahwa tindakan baptisan itu saja akan menyelamatkan kita; ini harus
diikuti dengan waktu kehidupan yang terus-menerus akan ketaatan terhadap firman
Allah. Yesus menekankan ini: “sesungguhnya jika seseorang tidak dilahirkan dari
air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam kerajaan Allah (Yoh 3:5). Tatkala
rintangan dosa itu ditarik, ketika kita ‘ditutupi’ oleh kebenaran Kristus, maka
kita diundang untuk berhubungan pribadi dengan janji Allah.
Ini adalah sebuah proses
yang sedang berjalan: “menjadi lahir kembali... oleh firman Allah” (1 Ptr
1:23). Sehingga melalui kelanjutan tanggapan kita terhadap roh firman bahwa
kita menjadi lahir oleh roh (lihat Pelajaran 2.2).
Kita
“dibaptiskan dalam Kristus” (Gal 3:27), di dalam namaNya dan yang
dari Bapa (Kis 19:5; 8:16; Mat 28:19). Catatan bahwa kita dibaptis di dalam
Kristus bukan di dalam Christadelphians atau organisasi manusia. Oelh baptisan
di dalamNya kita menjadi manusia yang disebut oleh nama Kristus, hanya sebagai
Israel yang menyukai penggambaran sebagai yang memiliki nama Allah (2 Taw
7:14). Secara sering Allah mempeingatkan bahwa kenyataan israel membawa namaNya
memberikan mereka sebuah tanggung-jawab berat untuk bertindak dengan tepat,
sebagai saksiNya kepada dunia. Kesamaan yang benar bagi kita yang dibaptis
dalam nama itu. Tanpa dibaptis kita tidak berada “dalam Kristus”, dan oleh
karenanya tidak terlindungi karya keselamatanNya (Kis 4:12). Petrus menyusun
perumpamaan yang kuat mengelilingi kenyataan ini: dia mengumpamakan bahtera
pada zaman Nuh kepada Kristus, menunjukkan bahwa bahtera menyelamatkan Nuh dan
keluarganya dari hukuman yang datang ke-atas orang berdosa, begitulah baptisan
dalam Kristus akan menyelamatkan orang-orang percaya dari kematian kekal (1 Ptr
3:21). Nuh masuk ke-dalam bahtera seumpama kita masuk ke-dalam Kristus melalui
baptisan. Semua yang berada di luar bahtera dilenyapkan oleh air bah; berdiri dekat
bahtera atau menjadi teman dari Nuh sungguh tidak berkaitan. Cara untuk
keselamatan hanyalah dengan berada di dalam Kristus/bahtera. Inilah bukti
tentang kedatangan kedua, yang mencirikan air bah (Luk 17: 26,27), mendekati
kita (lihat Tambahan 3). Masuk ke-dalam Kristus/bahtera oleh baptisan yang oleh
karena itu menjadi sangat penting; secara Alkitab mencirikan akan masuk
ke-dalam bahtera pada zaman Nuh adalah lebih kuat.
Orang kristen mula-mula
mematuhi printah Kristus untuk melakukan perjalanan untuk mengkotbahkan Injil
dan membaptis; kitab Kisah para rasul mencatat akan hal ini. pembuktian dari
pentingnya baptisan menjadi ditemukan bahwa catatan ini menekankan bagaimana
dengan segera orang menjadi dibaptis setelah mengerti dan menerima Injil (contohnya
Kis 8:12,36-39; 9:18; 10:47; 16:15). Penekanan ini dapat dimengerti dan
diapresiasikan bahwa tanpa baptisan pembelajaran kita akan Injil adalah
sia-sia; baptisan adalah tahap penting yang utama untuk berjalan melalui jalan
menuju keselamatan. Dalam suatu kasus catatan yang diinspirasikan terlihat
begitu menyoroti bagaimana, meskipun banyak manusia beralasan untuk menunda
baptisan, dan banyak kesulitan dalam menampilkan tindakan ini, ini begitu
penting bahwa orang membuat segala upaya untuk mendatangkan hal ini, dengan
pertolongan Allah.
Kepala penjara di Filipi
secara tiba-tiba dijerumuskan dalam sebuah krisis akan hidupnya oleh sebuah
gempa bumi yang besar yang secara lengkap mematahkan keamanan penjara yang
tertinggi. Para tahanan mendapat kesempatan untuk melarikan diri – sesuatu yang
mana akan mengorbankan kehidupan dirinya. Imannya di dalam injil kemudian
menjadi nyata, sebanayk yang mana “dalam jam yang sama pada waktu malam (dia)
memberi diri dibaptis... secara langsung” (Kis 16:33). Jika seseorang memiliki
alasan untuk menunda baptisan itu adalah dia. Ancaman hukuman atas kelalaian
tugas adalah digantung melampaui kepalanya, sebelum ia melihat dengan jelas
tindakan apa yang paling penting ditampilkan ke dalam kehidupannya dan nasib
kekekalan. Dan ia mendatangkan permasalahan dengan segera yang mengelilingi
hidupnya (contohnya gempa bumi), tekanan-tekanan dari apa yang dia kerjakan
sehari-hari dan trauma kepanikan membuat dia menemukan dirinya masuk untuk
dibaptis. Banyak dari calon-calon yang akan dibaptis dapat mengambil inspirasi
yang benar dari pria itu. Bahwa ia dapat membuat kesungguhan akan tindakan iman
yang cukup dibuktikan bahwa ia telah siap untuk mengenal lebih dalam lagi akan
injil, melihat bahwa kenyataan iman yang sesungguhnya hanya datang dari
pendengaran akan Firman Allah (Rm 10:17; Kis 17:11).
Dalam Kis 16:14,15 kita
membaca bagaimana Lidia “memperhatikan apa yang dikatakan oleh Paulus. Dan
sesudah ia dibaptis...”. ini dianggap bahwa siapapun yang mendengar dan percaya
kepada injil akan dibaptis – baptisan terlihat sebagai bagian penting yang
meresponi pengajaran daripada injil. Pekerjaan baik tidaklah cukup – kita harus
dibaptis secara benar. Kornelius adalah “seorang yang saleh, yang takut akan
Allah... yang mana banyak berderma kepada orang, dan selalu berdoa kepada
Allah”, tetapi hal ini tidaklah cukup; dia harus menunjukkan apa yang harus dia
lakukan yang mana dia tidak melakukannya – untuk percaya kepada injil Kristus
dan dibaptis (Kis 10:2,6).
Kis 8:26-40 mencatat
bagaimana seorang sida-sida Etiopia yang sedang mempelajari kitab sementara
membaca dalam sebuah kereta kuda yang melalui padang gurun. Dia bertemu
Filipus, yang mengajar dan menjelaskan injil kepadanya, termasuk syarat-syarat
untuk baptisan. Secara manusiawi berbicara, pastilah tidak mungkin untuk
mentaati perintah untuk dibaptis di padang gurun yang kekurangan air itu.
Sesungguhnya Allah tidak akan meberi perintah yang mana seseorang tidak dapat
mematuhinya. “sejauh mereka pergi akan jalan mereka, mereka menghampiri temapat
yang berair” sebuah oasis, di mana baptisan dimungkinkan (Kis 8:36). Kejadian
ini menjawab dugaan yang tidak mendasar bahwa penyelaman hnaya diberlakukan
untuk ditampilkan di daerah yang luas, gampang mendapat air. Allah akan selalu menyediakan
jalan yang nyata yang mana untuk menmtaati perintah-perintahNya.
Rasul Paulus menerima
gambaran yang dramatis dari Kristus yang sangat menusuk hati nuraninya sedapat
mungkin dia “dengan segera... bangun dan dibaptis” (Kis 9:18). Dan lagi haruslah
menjadi cobaan baginya untuk menunda baptisan, memikirkan status sosialnya dan
karirnya yang sedang menanjak yang direncanakan bagi dia di dalam keyahudian.
Tetapi bintang dari dunia yahudi yang sedang terbit ini membuat pembenaran dan
keputusan segera untuk dibaptis dan secara terbuka meninggalkan cara hidupnya
yang terdahulu. Dia kemudian merefleksikan pilihannya dengan menjadi dibaptis:
“dahulu yang kuanggap keuntungan, semuany kuanggap rugi karena Kristus...
malahan semuanya kuanggap rugi (segala sesuatu yang dulu menguntungkan), dan
menganggap semua itu sebagai sampah, supaya aku memperoleh Kristus... melupakan
apa yang ada di belakang (segala sesuatu dari cara hidup keyahudiannya yang
lama), dan mengarahkan apa yang ada di hadapanku, berlari pada tujuan untuk
memperoleh hadiah” (Flp 3:7,8,13,14).
Ini merupakan bahasa
seorang atlet yang langsung mengarahkan pemutusan penyelesaian rangkaian.
Demianlah konsentrasi dari mental dan kerja keras fisik yang seharusnya
mengkarakterisasikan kehidupan kita setelah baptisan. Haruslah dimengerti bahwa
baptisan merupakan permulaan dari sebuah perjalanan menuju Kerajaan Allah; ini
bukan hanya sebuah tanda dari perubahan gereja-gereja dan percaya, atau tidak
juga sesuatubyang pasif memasuki kehidupan yang santai akan kemudahan kesetiaan
kepada agama terhadap beberapa kesamaran yang dinyatakan prinsip dasar orang
kristen. Baptisan mengerjakan kita dalam sentuhan yang berjalan dengan salib
dan kebangkitan Yesus (Rm 6:3-5) – kesempatan penuh akan kekuatan yang utama
dalam segala hal.
Sebagaimana melelahkan,
sebelum kejayaan rohani seorang yang tua, Paulus dapat mengenang: “aku tidak
pernah tidak taat terhadap penglihatan surga” (Kis 26:19). Sebagaimana
kesungguhan bagi Paulus, begitu juga mereka yang dengan tepat dibaptis:
baptisan adalah sebuah keputusan yang mana seseorang tidak akan pernah
menyesal. Pertobatan adalah sesuatu yang tidak akan pernah berhenti bertobat,
Paulus meringkaskan nilai-nilai (2 Kor 7:10). Seluruh kehidupan kita kita akan
menyadari bahwa kita membuat pilihan yang tepat. Dari sedikit
keputusan-keputusan manusia dapat membuat kita begitu yakin. Dan pertanyaan
yang harus dijawab dengan serius: ‘mengapakah seharusnya aku tidak dibaptis?’.
10.2 Bagaimana Seharusnya Kita Dibaptis?
Terdapat pandangan secara luas yang melihat bahwa
baptisan dapat ditampilkan, khususnya pada bayi, dengan percikan air ke atas
kepalanya (‘mengkristenkan’). Ini sangat bertolak dengan prinsip alkitabiah
tentang baptisan.
Bahasa Yunani kata
‘baptizo’ yang diterjemahkan ‘baptise’ dalam Alkitab bahasa Inggris, bukanlah
berarti memercik, ini mengartikan secara lengkap mencuci dan membenamkan ke
dalam air (lihat definisi pada konkordansi dari Robert Young dan James Strong).
Kata ini digunakan dalam bahasa Yunaniklasik mengenai kapal yang kandas dan
menjadi ‘dibaptis’ (tenggelam) dalam air, atau ember yang dicelupkan ke dalam
air. Ini juga digunakan dengan referensi untuk pakaian yang diganti warnanya
dengan baptisan, atau menenggelamkan sampai tercelup. Untuk mengganti warna
dari pakaian itu, ini bukti bahwa haruslah ditenggelamkan secara penuh ke dalam
air, daripada sekedar percikan ke atasnya. Yoh 13:26 menggunakan bahasa
Yunani bapto untuk menggambarkan bagaimana Tuhan mencelupkan roti ke
dalam anggur. Penyelaman sesungguhnya bentuk yang tepat untuk baptisan yang
terambil dari ayat-ayat berikut:
·
“Yohanespun membaptis juga di Ainon, dekat Salim, sebab banyak air di situ, dan
orang-orang datang untuk dibaptis” (Yoh 3:23). Ini menunjukkan bahwa “banyak air”
yang dianjurkan untuk baptisan; jika ini dilakukan dengan pemercikan sedikit
air, maka hanya sati ember saja yang harus disediakan untuk ratusan orang.
Orang-orang datang tertuju pada tengah-tengah sungai Yordan untuk baptisan,
daripada sekedar Ytohanes pergi berkeliling kepada mereka dengan membawa
sebotol air.
· Yesus
juga, dibaptis oleh Yohanes di sungai Yordan – ke Yordan (Mrk 1:9). “Yesus
setelah Ia dibaptis, keluar dari air” (Mat 3:13-16) baptisanNya secara jelas
dengan selam – Dia “keluar dari air” setelah baptisan. Satu dari banyak alasan
Yesus dibaptis adalah dengan maksud untuk menjadi contoh, dengan begitu tidak
seorangpun dapat mengklaim mengikut Yesus secara serius tanpa meniru contoh Dia
akan baptisan secara selam.
· Dalam
hal yang sama, Filipus dan sida-sida Etiopia “keduanya turun ke dalam air...
dan dia membaptisnya, dan ketika mereka keluar dari dalam air...” (Kis
8:38,39). Ingatlah bahwa sida-sida itu meminta baptisan ketika ia melihat
oasis: “lihat, di sisni ada air: apa yang menghalangiku untuk dibaptis?” (Kis
8:36). Hampir dipastikan bahwa orang itu tidak akan mau melakukan perjalanan di
padang gurun tanpa setidaknya sedikit air padanya, misalnya dalam sebuah botol.
Jika baptisan dengan percikan, hal itu dapat dilakukan tanpa memerlukan oasis.
·
Baptisan adalah penguburan (Kol 2:12), yang mau diimplikasikan tertutup total.
·
Baptisan disebut ‘penyucian’ akan dosa-dosa (Kis 22:16). Inti dari pengajaran
yang benar adalah seperti halnya ‘menyucikan’ dalam Why 1:5; Tit 3:5; 2 Ptr
2:22; Ibr 10:22, dll. Bahasa menyucikan ini lebih tepat kepada baptisan selam
daripada memercik.
Terdapa beberapa indikasi Perjanjian Lama bahwa
dapat diterima mendekat kepada Allah melalui bentuk dari penyucian.
Imam-imam harus mencuci
secara penuh dalam sebuah kolam yang disebiut ‘Laver’ sebelum mereka datang
mendekat Allah dalam pelayanan (Im 8:6; Kel 40:32). Umat Israel harus disucikan
dengan maksud pembersihan diri mereka dari pastinya hal-hal yang tidak bersih
(contoh Ul 23:11), yang mana mewakilkan dosa.
Seorang yang disebut
Naaman, seorang kusta dari kaum bukan Israel yang disembuhkan oleh Allah
Israel, demikianlah dia mewakili orang yang berdosa, secara efektif pergi
dengan kehidupan yang mati akan dosa. Dia diobati dengan menyelam di sungai
Yordan. Secara inisial dia menemukan tindakan yang mudah tetapi sulit untuk
diterima, berpikir bahwa Allah menginginkan ia melakukan tindakan yang
dramatis, atau menenggelamkan dirinya dalam sebuah sebuah sungai yang besar dan
terkenal, contohnya Abana. Kesamaannya, kita boleh melihat sangat sulit untuk
percaya bahwa sesungguhnya suatu tindakan yang mudah dapat membawa keselamatan
kita. Lebih menarik untuk berpikir bahwa pekerjaan kita sendiri dan kerjasama
umum yang besar, yang diketahui gereja (sungai Abana) dapat menyelamatkan kita,
lebih dari sekedar tindakan mudah ini akan kerjasama dengan harapan yang
benar akan Israel. Setelah menyelam dalam Yordan, tubuh Naaman “kembali seperti
tubuh seorang bayi mungil, dan dia telah bersih” (2 Raj 5:9-14).
Seharusnya terdapat sebuah
ruangan kecil untuk ‘baptisan’ yang mengarah pada penyelaman penuh dalam air
setelah pemahaman pertama akan pesan dasar dari Injil. Definisi dasar Alkitab
akan baptisan ini bukanlah membuat referensi kepada status seseorang yang
secara aktual melakukan baptisan secara fisik. Baptisan menjadi sebuah
penyelaman di dalam air setelah percaya kepada Injil, secara teoritis
dimungkinkan untuk membaptis sendiri. Bagaimanapun, karena baptisan hanyalah
baptisan dengan alasan dari ajaran yang tepat yang mana berpegang pada waktu
penyelaman, ini mengartikan sebaiknya dibaptis oleh orang percaya lainnya
dengan ajaran yang benar, yang dapat memberikan semua pemahaman sebelum
melakukan penyelaman terhadapnya.
Inilah praktis di antara
orang-orang Christadelphian untuk berpegang diskusi yang mendalam dengan calon
baptisan sebelum melakukan penyelaman. Ini tindakan terbaik oleh orang-orang
yang berbeda kepada siapa saja yang terlibat dalam pengajaran Injil kepada para
calon. Daftar soal-soal pada setiap akhir Pelajaran dalam buku ini dapat
membentuk dasar untuk sebuah diskusi demikian.
10.3 Pengertian Baptisan
Salah satu alasan akan baptisan selam adalah
bahwa ke bawah air adalah melambangkan kita masuk ke dalam kubur – menyatukan
kita dengan kematian Kristus, dan mengindikasikan ‘kematian’ kita akan
kehidupan kita sebelumnya terhadap dosa dan kebodohan. Keluar dari air
menghubungkan kita dengan kebangkitan Kristus, menghubungkan kita pada harapan
akan kebangkitan pada kehidupan kekal saat kedatanganNya, sebagaimana hidup
dalam hidup baru saat ini, secara rohani berhasil mengatasi dosa pada
kemenangan Kristus yang tercapai oleh kematian dan kebangkitanNya.
“kita semua telah dibaptis di dalam Kristus dan
dibaptis dalam kematianNya. Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama
dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya sama seperti Kristus telah
dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian kita akan
berjalan (kehidupan hari ini) dalam kehidupan yang baru. Sebab jika kita telah
menjadisatu dengan apa yang sama dengan kematianNya (dengan baptisan), kita
juga menjadi satu dengan apa yang sama dengan kebangkitanNya” (Rm 6:3-5).
Karena keselamatan
hanya dimungkinkan melalui kematian dan kebangkitan Kristus, adalah yang utama
bahwa kita menyatukan diri kita dengan hal ini jika kita diselamatkan. Lambang
kematian dan kebangkitan kembali dengan Kristus, yang melalui baptisan hanya
inilah cara untuk melakukan hal ini. seharusnya tercata bahwa pemercikan tidak
memenuhi lambang ini. Pada baptisan “manusia lama kita (cara hidup) disalibkan”
sebagaimana dengan Kristus di atas kayu salib (Rm 6:6); Allah “menghidupkan
kita bersama Kristus” pada baptisan (Ef 2:5). Bagaimanapun, kita tetap memilki
kodrat manusia setelah baptisan, dan oleh karena itu cara-cara hidup kedagingan
tetap akan muncul. ‘penyaliban’ akan kedagingan kita oleh karena sebuah proses
berjalan yang hanya bermula saat baptisan, Yesus mengatakan kepada
orang percaya untuk memikul salibnya setiap hari dan mengikut Dia, sebagaimana
dalam perjalanan menuju Kalvari (Luk 9:23; 14:27). Sementara hidup yang benar
tersalibkan bersama Kristus tidaklah mudah, di sana terdapat penghiburan dan
kegirangan yang tak terkatakan melalui penyatuan dengan kebangkitanNya.
Kristus membawa “damai
melalui darahNya di kayub salib” (Kol1:20) – “damai sejahtera dari Allah, yang
melampaui segala pikiran” (Flp 4:7). Akan hal ini Yesus berjanji: “damai
sejahtera Kutinggalkan bagimu, damai sejahteraKu Kuberikan padamu: tidak
seperti dunia memberikan damai, Aku memberikannya kepadamu” (Yoh 14:27). damai
dan kegembiraan rohani yang benar ini melebihi sakit dan kesulitan yang secara
terbuka menyatukan diri kita dengan penyaliban Kristus. “sebagaimana
kesengsaraan Kristus melingkupi kami, demikian juga penghiburan yang
berlimpah-limpah oleh Kristus” (2 Kor 1:5).
Di sana juga ada kebebasan
yang datang dari mengetahui bahwa sifat dasar kita sesungguhnya sudah mati, dan
oleh karenanya Yesus secara aktif melalui setiap rintangan kita. Rasul besar
Paulus berbicara dari pengalaman pribadinya akan hal ini. “namun aku hidup,
tetapi bukan aku lagi yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku,
dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman
dalam Anak Allah yang menagsihi dan menyerahkan diriNya untuk aku” (Gal 2:20).
“kiasan baptisan juga
menyelamatkan kita sekarang... oleh kebangkitan Yesus Kristus” (1 Ptr 3:21)
karenba persekutuan kita dengan kebangkitan Kristus akan kehidupan kekal yang
diberikan kepada kita yang sama pada saat kedatanganNya kembali. Dengan
mengambil bagian dalam kebangkitanNya, maka akhirnya kita diselamatkan. Yesus
menyatakan hal ini dalam kalimat yang sederhana: “Karena Aku hidup, maka kalian
akan hidup juga” (Yoh 14:19). Pauluspun demikian: “kita diperdamaikan dengan
Allah oleh kematian AnakNya... kita akan diselamatkan oleh hidupNya”
(kebangkitan; Rm 5:10).
Lebih lagi waktu yang
ditekankan bahwa oleh persekutuan kita dengan kematian dan penderitaan Kristus
dalam baptisan, dan juga cara hidup kita, kita akan dengan pasti berbagi di
dalam kemuliaan kebangkitanNya:
“jika kita mati dengan
(kristus), kita juga akan hidup dengan Dia; jika kita bertekun, kita juga akan
memerintah dengan Dia” (2 Tim 2:11,12).
“senantiasa membawa dalam
tubuh akan kematian Tuhan Yesus, sehingga kehidupan Yesus boleh dinyatakan
dalam tubuh kita... mengetahui bahwa Ia yang membangkitkan Tuhan Yesus akan
membangkitkan kita juga oleh Yesus” (2 Kor 4:10,11,14).
Paulus berbagi dalam “persekutuan
akan penderitaan (Kristus), terjadi (oleh pengalaman hidupnya yang keras)
memenuhi sampai kematiannya; jika oleh karena segala sesuatu aku boleh bermegah
kepada kebangkitan akan hidup yang kekal sebagaimana yang dialami oleh Kristus”
(Flp 3:10,11; Gal 6:14).
10.4 Baptisan Dan Keselamatan
Baptisan mempersatukan kita dengan kematian
Kristus, dan hanya oleh baptisan kita beroleh pengampunan. Kita “dikuburkan
dengan (Kristus) dalam baptisan, yang mana di dalamnya kita juga dibagkitkan
bersama denngan Dia melalui... pekerjaan Allah, yang telah membenagkitkan Dia
dari kematian. Dan kamu menjadi mati di dalam dosamu... telah dihidupkan
olehNya bersama-sama denngan Dia sesudah Ia mengampuni segala pelanggaranmu”
(Kol 2:12,13). Kita “disucikan... di dalam nama Tuhan Yesus” (1 Kor 6:11) –
baptisan ke dalam nama Yesus yang berarti olehnya dosa-dosa kita
dihapuskan. Hal ini serupa kembali dalam Bil 19:13, di mana mereka yang tanpa
air pemurnian haruslah mati. Kita dipertunjukkan dalam Pelajaran 10.2 bagaimana
baptisan membasuh segala dosa (Kis 22:16). Penggambaran dari orang-orang
percaya sebagaimana disucikannya dosa-dosa mereka di dalam darah Kristus yang
oleh karenanya mengarahkan mereka melakukan baptisan (Why 1:5; 7:14; Tit 3:5 –
[NIV] berbicara akan hal ini seperti “membasuh dari kelahiran kembali”,
mengarahkan kita untuk menjadi “lahir oleh air” saat baptisan [Yoh 3:5] ).
Dalam kejelasan akan hal
ini, dapat dipahami bahwa tanggapan Petrus terhadap pertanyaan, “apa yang akan
kami lakukan?” (untuk diselamatkan), “bertobat, dan berilah dirimu dibaptis di
dalam nama Yesus Kristus untuk penebusan dosamu” (Kis 2:37,38). Baptisan ke
dalam nama Kristus adalah untuk pengampunan dosa, tanpa ini tidak akan ada
pengampunan, dan yang tidak dibaptis haruslah menerima upah dosa – maut (Rm
6:23). Tidaklah ada keselamatan kecuali di dalam nama Yesus (Kis 4:12), dan
kita hanya mendapat bagian di dalamnya dengan baptisan. Inilah fakta yang
berarti bahwa agama-agama bukan kristen tidak dapat dipimpin ke jalan keselamatan.
Tidak semua orang percaya Alkitab dapat menerima hal ini, kenyataannya katolik
dan gerakan persekutuan yang besar seperti ini, ini cerminan yang menyedihkan
atas sikap mereka terhadap Kitab Suci.
Kebangkitan Kristus kepada
kehidupan kekal merupakan tanda akan kemenangan pribadiNya atas dosa. Oleh
baptisan kita mempersatukan diri kita sendiri dengan hal ini, dan oleh
karenanya kita berbicara sebagaimana kita telah dibangkitkan bersama Kristus,
dosa tidak berkuasa lagi atas kita, sebagaimana tidak terhadapNya. Melalui
baptisan kita “dibuat bebas dari dosa... dosa tidak akan memiliki kuasa atas
kamu” setelah baptisan (Rm 6:18,14). Bagaimanapun, setelah baptisan kita masih
berdosa (1 Yoh 1:8,9); dosa masih bertahan untuk memperbudak kita kembali jika
kita berpaling dari Kristus. Kita yang sekarang ini bebagi dalam kematian dan
penderitaan Kristus, meskipun baptisan menunjukkan bagaimana kita juga
dipersatukan dengan kebangkitan Kristus, yang mana kita memiliki harapan akan
kedatanganNya kembali.
Hanya di dalam harapan
kita bebas dari dosa. “dia yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan” Mrk
16:16) saat kedatangan Kristus yang kedua kalinya. Ukuran keselamatan tidaklah
akurat selalu setelah baptisan, tetapi saat tahta penghakiman (1 Kor 3:15).
Sesungguhnya tidak diperlukan doktrin penghakiman jika kita menerima
keselamatan pada saat baptisan, dan tidak seharusnya kita mati. “dia yang
bertahan sampai kesudahannya akan diselamatkan” (Mat 10:22).
Bahkan setelah
baptisannya, Paulus (dan semua orang kristen) harus mengerjakan keselamatan
(Flp 3:10-13; 1 Kor 9:27); dia berbicara akan pengharapan hidup kekal (Tit 1:2;
3:7; 1 Tes 5:8; Rm 8:24) dan tentang kita “mewarisi keselamatan” (Ibr
1:14). Pada tahta penghakiman, yang benar akan memasuki ke dalm kehidupan kekal
(mat 25:46). Kekaguman Paulus dijelaskan secara akal diinspirasikan melalui Rm
13:11 – dia menjelaskan bahwa setelah baptisan kita dapat mengetahui bahwa
setiap hari kita hidup dan bertahan seperti satu hari mendekati kedatangan
Krsitus kedua kalinya, dengan begitu kita dapat menikmati bahwa “sekarang
keselamatan kita mendekati dibanding waktu kita percaya”. Keselamatan kita
sekarang tidaklah majenun. Keselamatan adalah bersifat kondisional; kita akan
selamat jika kita tetap bertekun pada iman yang benar (Ibr 3:12-14), jika kita
mengingat ajaran-ajaran dasar yang terdiri dari Injil (1 Tim 4:16; 1 Kor
15:1,2), dan jika kita melakukan hal-hal itu yang dalam memelihara kesungguhan
akan pengharapan yang besar (2 Ptr 1: 10).
Kata kerja bahasa yunani
menterjemahkan “selamat” digunakan dalam waktu yang terus berkelanjutan,
menunjukkan bahwa keselamatan merupakan proses yang berjalan yang terjadi di
dalam kita dengan alasan agar kita terus menerus taat kepada Injil. Maka
orang-orang percaya dapat berkata sebagaimana “menjadi selamat” oleh tanggapan
mereka terhadap Injil (1 Kor 1:18 RSV; contoh lain dari kelanjutan tema ini
dalam Kis 2:47 dan 2 Kor 2:15). Kata Yunani untuk “selamat” hanya dapat
digunakan dalam kalimat lampau mengenai keselamatan terbesar yang Kristus
perbuat di atas kayu salib, dan yang mana kita dapat menyatukan diri kita
dengan melalui baptisan (2 Tim 1:9; Tit 3:5).
Semua ini memberikan
contoh oleh persetujuan Allah dengan sifat dasar Israel yang mana membentuk
dasar hubunganNya dengan Israel rohani, yaitu orang-orang percaya. Israel
meninggalkan Mesir, melambangkan dunia kedagingan dan agama sesat yang mana
kita menyatu dengan itu sebelum baptisan. Mereka melewati laut merah dan
kemudian melewati padang belantara Sinai ke dalam tanah perjanjian, di mana
secara lengkap mereka menetap sebagai Kerajaan Allah. Mereka menyebrangi laut
merah seperti halnya baptisan kita (1 Kor 10:1,2); perjalanan padang belantara
akan kehidupan kita sekarang, dan Kanaan akan Kerajaan Allah. Yud 5 menggambarkan
batapa banyak dari mereka yang dibinasakan sementara berjalan di padang
belantara: Tuhan telah menyelamatkan umatNya keluar dari tanah Mesir, setelah
itu membinasakan mereka yang tidak percaya”. Israel yang oleh karenanya
“diselamatkan” dari Mesir, sebagaimana semua yang dibaptis “diselamatkan” dari
dosa. Jika seseorang dari Israel dipertanyakan, “apakah kamu selamat?”
tanggapan mereka pastilah, “iya”, tetapi ini bukanlah berarti bahwa mereka
secara benar telah selamat.
Hal yang sama sebagaimana
Isarel kembali ke Mesir dalam hati mereka (Kis 7:39) dan memberi diri dalam
kedagingan dan ajaran sesat, begitupun mereka yang diselamatkan dari dosa
dengan baptisan dapat saja gagal dari posisi diberkati di mana mereka berdiri
di dalamnya. Kemungkinan akan kita melakukan hal yang sama seperti sifat dasar
Israel di padang belantara tertulis dalam 1 Kor 10:1-12, Ibr 4:1,2 dan Rm
11:17-21. terdapat beberapa contoh dalam Alkitab akan mereka yang pernah
“diselamatkan” dari dosa melalui baptisan, kemudian gagal ke dalam sebuah
posisi yang akan dihukum pada saat Kristus kembali (contohnya Ibr 3:12-14;
6:4-6; 10:20-29). Ajaran ‘sekali selamat tetap selamat’ dari
pengkotbah-pengkotbah ‘injili’ yang bersemangat memaparkan akan bagian-bagian
yang sedemikian mepersilahkan pemenuhan kedagingan yang menyesatkan pikiran.
Seperti halnya semua hal,
sentuhan yang tepat akan keseimbangan diperlukan untuk meyakinkan akan sejauh
manakah kita “diselamatkan” oleh baptisan. Tindakan seharusnya tidak terlihat
memperbolehkan kesempatan terhadap keselamatan – kemungkinan yang lebih baik
dibanding hal ini tanpa baptisan. Dengan menjadi “dalam Kristus” oleh baptisan,
kita diselamatkan dengan harapan; kita sungguh-sungguh memilki kepastian akan
Kerajaan Allah jika kita berkesinambungan taat dalam Krsitus sebagaimana kita
bangkita dari air baptisan. Di lain hal, waktu sesudah kita dibaptis kita
seharusnya mampu memilki keyakinan yang rendah hati bahwa kita secara pasti
dapat diterima masuk dalam Kerajaan saat kembalinya Kristus. Kita tidak dapat
memastihkan secara keseluruhan, karena bisa saja kita gagal pada hari esok;
kita tidak tahu masa depan kerohanian pribadi kita dalam hidup ini.
Kita harus melakukan semua
yang kita sebut kebaikan nurani yang kita miliki bersama Allah saat baptisan.
Baptisan adalah “janji akan nurani yang baik” (1 Ptr 3:21, bahas Yunani); calon
baptisan berikrar (berjanji) untuk menjaga hati nurani yang bersih bersama
Allah.
Sementara baptisan
merupakan hal yang utama dipentingkan dalam memperbolehkan kita untuk masuk
dalam keselamatan yang besar yang mana tersedia dalam Kristus, kita harus
berhati-hati untuk tidak memberi kesan bahwa dengan satu tindakan atau
‘kerjaan’ akan baptisan saja kita akan diselamatkan. Kita telah diperlihatkan
lebih dulu bagaimana hidup yang bersekutu terus menerus dengan penyaliban
Kristus adalah penting: “jika seserang tidak dilahirkan dari air dan roh, dia
tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah” (Yoh 3:5). Perbandingan dengan 1 Ptr
1:23 menunjukkan bahwa kelahiran yang sesuai dengan baptisan haruslah diikuti
dengan buah-buah roh. Keselamatan tidak hanya tertuju pada baptisan: hal itu
adalah hasil dari kasih anugerah (Ef 2:8), iman (Rm 1:5) dan pengharapan (Rm
8:24), mengatasi segala hal. Terkadang terdengar bahwa keselamatan hanyalah
oleh iman, dan oleh sebab itu pekerjaan seperti baptisan sepertinya tidak
relevan. Bagaimanapun, Yak 2:17-24 membuat secara jelas bahwa alasan sedemikian
membuat pemikiran yang sesat anatar iman dan tindakan; iman yang benar,
contohnya dalam injil ditunjukkan perbuatan-perbuatan iman yang mana di
dalamnya menhasilkan, seperti baptisan. “manusia dibenarkan oleh
karenaperbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman” (Yak 2:24). Dalam
beberapa kasus baptisan, orang percaya bertanya akan apa yang harus dia
“perbuat” untuk diselamatkan; jawabannya selalu melibatkan baptisan (Kis 2:37;
9:6; 10:6; 16:30). ‘Melakukan’ suatu ‘tindakan’ baptisan yang merupakan
indikasi penting akan kepercayaan kita terhadap injil keselamatan. Pekerjaan
menyelamatkan kita secara keseluruhan telah dilakukan oleh Allah dan Kristus,
tetapi kita perlu melakukan “tindakan pertobatan” dan percaya akan hal ini (Kis
26:20; Mrk 16:15,16).
Kita telah lebih dulu
ditunjukkan bahwa bahasa dari membasuh segala dosa mengarah kepada pengampunan
Allah terhadap kita yang terhitung akan baptisan kita di dalam Krsitus. Dalam
beberapa bagian dibicarakan kepada kita sebagimana membasuh segala dosa oleh
iman dan pertobatan kita (Kis 22:16; Why 7:14; Yer 4:14; Yes 1:16); di lain hal
Allah terlihat sebgai yang menghapus dosa kita (Yeh 16:9; Mzm 51:2,7; 1 Kor
6:11). Secara baik ini menunjukkan bagaimana jika melakukan bagian kita dengan
dibaptiskan, Allah akan membasuh segala dosa kita. Mengenai ‘perbuatan’ atau
tindakan baptisan adalah langkah utama dalam bertekun akan injil kasih anugerah
Allah (kemuarahan kebaikan), yang telah dipersembahkan kepada kita di dalam
firmanNya.
11.1 Pendahuluan
Baptisan memberikan kita suatu harapan akan
kehidupan kekal di dalam kerajaan Allah. Lebih lagi kita percaya dan menghargai
akan pengharapan ini. bukti yang lebih lagi adalah bahwa hal ini membawa
tanggung-jawab khusus kepada kita. Hal ini berputar mengelilingi jalannya
sebuah kehidupan yang cocok bagi seseorang yang memiliki harapan akan
diberikannya sifat dasar Allah (2 Ptr 1: 4), akan kebenaran pembagian namaNya
(Why 3: 12) melalui penyempurnaan di segala cara.
Kita telah dijelaskan
dalam Pelajaran 10.3 bahwa setelah baptisan diberlakukan kepada kita sebuah
kehidupan yang secara terus-menerus menyalibkan keinginan buruk di dalam sifat
dasar kita (Rm 6: 6). Kecuali kita menginginkannya dan mencoba melakukan hal
ini, maka baptisan tidaklah berarti. Hal ini seharusnya hanya mengambil tempat
sekali saja seseorang dipersiapkan untuk menerima tanggung-jawab akan hidup
baru yang seharusnya diikuti.
Dalam baptisan kita mati
akan dasar cara hidup yang lama ini, sebagaimana dibangkitkan bersama Kristus.
“kalau kamu dibangkitkan bersama Kristus, carilah perkara yang di atas , di
mana Krisrus ada, duduk di sebelah kanan Allah. Pikirkanlah perkara yang di
atas, bukan yang di bumi. Sebab kamu telah mati... tersembunyi yaitu...
percabulan, kenajisan... keserakahan” (Kol 3: 1-5). Setelah baptisan kita
menyerahkan diri kita pada sebuah kehidupan yang melihat banyak hal dari cara
pandang Allah, memikirkan perkara-perkara yang surgawi (rohani), menukarkan
ambisi keduniawian kita dengan sebuah ambisi yang menguasai kecenderungan
kedagingan kita dan demikianlah untuk memasuki kerajaan Allah.
Kecenderungan akan sifat
dasar manusia adalah menunjukan semangat akan ketaatan kepada Allah dengan
tidak teratur. Allah memberi peringatan untuk ini. mengenai perintah-perintah
Allah, Dia berkata “sedang manusia yang melakukannya, dia akan hidup dalam
hal-hal itu” (Yeh 20: 21). Jika kita peka terhadap perintah-perintah Allah, dan
mulai taat akan hal itu di dalam baptisan, kita seharusnya tetap sepanjang
hidup taat akan hal-hal itu.
11.2 Kekudusan
“kudus, kudus, kuduslah TUHAN” (Yes 6: 3).
Penekanan tiga kali dari ayat ini adalah salah satu dari banyak bagian yang
menekankan kekudusan Allah. ‘kekudusan’ pada dasarnya berarti ‘pemisahan’ –
baik pamisahan dari hal-hal yang tidak kudus, dan pemisahan ke arah hal-hal
yang rohani. Kita diminta untuk menjadi “penurut-penurut Allah” seperti
anak-anak yang kecil (Ef 5: 1). Untuk itu “seperti Dia yang kudus yang telah
memanggil kamu, biarlah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu (penerapan
cara hidup); sebab ada tertulis, kuduslah kamu, sebab Aku kudus” (1 Ptr 1:
15,16; Im 11: 44).
Pada dasarnya Israel
dipanggil keluar dari Mesir melalui baptisan laut merah untuk menjadi “bangsa
yang kudus” (Kel 19: 6). Setelah baptisan kita, anggota-anggota dari Israel
rohani sebagimana menerima “panggilan kudus” (2 Tim 1: 9). Setelah baptisan kita
“menjadi hamba-hamba untuk.... kekudusan” (Rm 6: 19,22 dan konteks).
Sebagaimana kekudusan
merupakan bagian yang utama dari kepribadian Allah, jadi ini haruslah menjadi
sebuah landasan dasar mengenai dari semua yang mencoba menjadi “penurut-penurut
Allah”. Jika kita melakukan ini, kita akan “menjadi pewaris dalam kekudusanNya”
ketika kita dijamin sifat dasarNya (Ibr 12: 10; 2 Ptr 1: 4). Untuk itu tanpa
kekudusan dalam hidup ini, orang percaya tidak dapat “melihat Tuhan” (Ibr 12:
14) – dia tidak akan mampu melihat Allah dan berhubungan denganNya pada tingkat
pribadi di dalam Kerajaan jika dia tidak pernah menunjukan kekudusan dalam
hidup ini.
Untuk memiliki pemberian
harapan besar yang benar itu berarti bahwa kita seharusnya dipisahkan dari dunia
yang mengelilingi kita yang mana tidak memiliki harapan ini, menjadi dipisahkan
kepada kekekalan akan pembagian sifat dasar Allah. ‘pemisahan’ kita tidak
seharusnya untuk itu menjadi sesuatu yang dijalankan atas kita; karena
pemisahan kita kepada panggilan mulia dan harapan, ini seharusnya
hanya menjadi sifat dasar bahwa kita merasa dipisahkan dari hal-hal
dunia yang didominasi oleh sifat-sifat kedagingan.
Kita sekarang akan
menyadari beberapa hal yang kita seharusnya merasakan dipisahkan dari, dan
kemudian dalam Pelajaran 11.3 kita akan belajar apakah kita dipisahkan ke dalam
ketentuan praktis.
Kegunaan kekuatan
Kita hidup dalam dunia yang didominasi oleh dosa.
Kita telah melihat dalam Pelajaran 6.1 bahwa pemerintahan manusia dapat disebut
“iblis” karena mereka diorganisasikan mengelilingi keinginan daging,
alkitabiahnya ‘iblis’.
Pengulangan pesan dari
Alkitab adalah bahwa, di dalam ketentuan singkat, dosa dan benih dari ular akan
terlihat kepada kemenangan sementara, setelah penderitaan sementara dalam
banyak cara, benih dari wanita pada akhirnya akan membenarkan. Untuk alasan
inilah orang percaya secara berkelanjutan diperintahkan untuk “tidak membalas
kejahatan dengan kejahatan” (Mat 5:39; Rm 12:17; 1 Tes 5:15; 1 Ptr 3:9).
Kita telah melihat bahwa
kadangkala Allah mengijinkan kejahatan itu terjadi (Yes 45:7; Am 3:6, seperti
di Pelajaran 6.1). secara aktif untuk melawan kejahatan dengan kekuatan yang
untuk itu boleh berarti bahwa kita menentang Allah. Untuk alasan inilah Yesus
memerintahkan kita untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan secara
fisik: “tetapi barangsiapa menampar pipi kananmu, berilah juga pipi kirimu, dan
kepada orang yang menginginkan bajumu, berilah juga jubahmu” (Mat 5:39,40).
Kristus memberikan contoh seperti ini: “Aku memberi punggungku kepada
orang-orang yang memukul aku.....” (Yes 50:6).
Kata-kata Kristus menghubungkan rangkaian hukum
dengan aktifitas dunia yang menentang orang percaya. Melakukan ini adalah
contoh utama dari menentang kejahatan, dan tidak akan dilakukan oleh seseorang
yang memiliki dasar iman dalam janji Allah bahwa “pembalasan adalah hakKu,
Akulah yang akan menuntut, firman Tuhan” (Rm 12: 19). “janganlah kamu berkata,
aku akan membalas kejahatan; tetapi nantikanlah TUHAN, dan Ia akan menyelamatkan
kamu” (Ams 20:22; Ul 32: 35). Untuk alasan inilah Paulus marah sekali kepada
jemaat Korintus yang mencari keadilan pada orang lain (1 Kor 6: 1-7).
Dalam pandangan akan
pengharapan terbesar kita, kita seharusnya tidak terlalu memperhatikan akan
ketidakadilan akan kehidupan masa kini: “apakah ada seorang di antara kamu,
yang jika berselisih dengan orang lain, berani mencari keadilan pada... atau
tidak tahukah kamu bahwa orang-orang kudus akan menghakimi dunia” (1 Kor
6:1,2). Mencari keadilan orang lain, walau itu menyelesaikan perselisihan tanah
atau proses perceraian, seharusnya hal itu tidak perlu dirisaukan oleh orang
percaya yang sungguh-sungguh.
Di lain hal untuk menekan
kekuatan kejahatan, sebagaimana (dalam satu kasus) untuk menjaga orang jahat
berkuasa, kekuatan militer dan polisi dimanfaatkan oleh pemerintahan
manusia. Ini adalah bentuk yang disahkan untuk menentang kejahatan, dan untuk
itu seharusnya orang percaya sesungguhnya tidak mengambil bagian dalam hal-hal
itu. “barangsiapa menggunakan pedang akan binasa oleh pedang” (Mat 26:52). Ini
merupakan pengulangan prinsip utama yang awal: “siapa menumpahkan darah manusia
(dengan maksud penuh), darahnya akan tertumpah oleh manusia: sebab Allah
membuat manusia itu dengan gambarNya sendiri” (Kej 9:6). Segala kekerasan yang
disengaja menentang sesama kita manusia itu juga merupakan kekerasan melawan
Allah, kecuali Dia telah menyetujuinya.
Di bawah Perjanjian Baru,
dikatakan kepada kita: “kasihilah musuhmu, berkati mereka yang mengutuki engkau,
berbuatlah baik kepada mereka yang membencimu, dan berdoalah bagi mereka yang
memanfaatkan dan menganiaya kamu” (Mat 5:44; Luk 6:27). Pasukan tentara dan
pasukan polisi bekerja dalam kontradiksi langsung terhadap prinsip-prinsip ini,
dan untuk itu orang percaya yang benar tidak akan melibatkan diri dengan segala
perkumpulan mereka. Walaupun jika secara tidak langsung terlibat dalam
melakukan kekerasan, bekerja dalam oragnisasi ini atau terlibat dalam pekerjaan
yang berhubungan dengan mereka, merupakan bukti yang tidak bijaksana;
sesungguhnya pekerjaan yang terlibat akan tunduknya pada suatu otoritas,
merampas kebebasan kita untuk mentaati perintah-perintah Allah. Orang percaya
yang benar akan selalu waspada terhadap layanan militer maupun polisi dalam bentuk
apapun, meskipun selalu menginginkan mengambil pekerjaan alternatif dalam masa
krisis nasional yang mana akan menguntungkan secara materi para anggotanya.
Politik
Pemahaman yang jelas dan dasar iman dalam
kedatangan kerajaan Allah berarti bahwa kita akan mengetahui bahwa pemerintahan
manusia tidaklah mampu untuk membawa kesempurnaan. Segala ketelibatan di dalam
politik manusia yang oleh karenanya tidak cocok dengan harapan akan Kerajaan.
Yesus menubuatkan akan terjadinya kemerosotan dari jelek menjadi buruk dalam
“hari-hari terakhir” mendahului kedatanganNya (Luk 21:9-11, 25-27). Tidaklah
mungkin untuk percaya perkataan-perkataanNya dan dalam waktu yang bersamaan
mencoba untuk membuktikan posisi keduniaan melalui politik manusia atau lembaga
pembangunan internasional. Cerita tentang orang Samaria yang baik hati
menunjukan bagaimana orang kristen seharusnya membagikan ke dunia sekitar –
melakukan kebaikan kepada semua manusia sebagi kesempatan yang boleh diberikan
(Gal 6:10).
Catatan orang percaya mula-mula
menunjukan kepada mereka untuk memiliki dan melakukan kehidupan akan hidup
rohani dalam menyambut Kristus kembali, mengepalai penyataan mereka
memperhatikan seluruh dunia melalui pengajaran kepada mereka. Tidaklah tercatat
akan peng-alamatan mereka akan masalah sosial, ekonomi, politik dunia yang
mengelilingi mereka.
“orang yang berjalan tidak
berkuasa menentukan jalannya” (Yer 10:23); menyadari dasar kejahatan dan
kesalahan dari sifat dasar manusia berarti bahwa kita mengetahui bahwa kepemimpinan
manusia tidak cocok dengan umat Allah. Pemungutan suara yang oleh karenanya
tidak konsisten dengan pemahaman yang benar akan hal ini. “Yang Maha Tinggi
berkuasa atas kerajaan manusia dan memberikannya kepada siapa yang
dikehendakiNya” (Dan 4:32). Dialah kekuatan yang mengatasi
pemerintahan-pemerintahan tertinggi saat ini (Pkh 5:8). Peraturan-peraturan
manusia dibrikan kuasa oleh Allah (Rm 13:1); untuk mengumpulkan suara dalam
suatu sistem demokrasi bisa dapat yang oleh karenanya terlibat pengumpulan suara
yang melawan orang yang Allah telah pilih untuk berkuasa. Ada tertulis bahwa
Allah memberikan bangsa-bangsa ke dalam kendali daripada
Nebukadnezar, raja Babilonia (Yer 27:5,6).
Karena kita tahu bahwa
Allah memberikan bangsa-bangsa ke tangan para penguasanya, kita harus sangat
berhati-hati berperan sebagai warga negara, mematuhi hukum-hukum dari negara di
aman kita tinggal, kecuali hal-hal itu bertentangan dengan hukum Kristus.
“tiap-tiap orang harus takluk terhadap pemerintah yang di atasnya... kuasa
yang telah ditetapkan oleh Allah... inilah sebabnya kamu membayar pajak...
juga bayarlah kepada semua orang yang harus kamu bayar: pajak kepada
meraka yang berhak menerima pajak, dan hormat kepada mereka yang ber-
hak menerima hormat (Rm 13:1-7).
Keterlibatan dari yang disebut organisasi kristen
dalam bentuk protes politik dan pemboikotan pajak yang oleh karenanya
menunjukan akan pengajaran mereka yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
dasar Alkitabiah. Bagaimanapun, Petrus mencontohkan dengan melanjutkan
pengajaran Kristus ketika ditentang oleh pemerintah, ini menunjukan akan
bagaimana kita hanya dapat mentaati perintah-perintah manusia selagi hal-hal
itu tidak bertentangan dengan hukum Kristus: “manakah yang benar di hadapan
Allah, taat kepadamu atau taat kepada Allah, kamu yang menilai” (Kis 4:17-20;
5:28,29).
Sikap Christadelphian
dalam mengahdapi layanan militer dalam tahun-tahun terakhir merupakan contoh
lain akan hal ini.
Kenikmatan Duniawi
Kurangnya hubungan yang benar bersama Allah dan
sebuah harapan nyata akan masa depan, dunia menemukan banyak dan bermacam-macam
kenikmatan. Yang mana mencari kenikmatan untuk kedagingan seharusnya dihindari
bagi mereka yang mencoba untuk menumbuhkan kerohaniannya. “keinginan daging
bertentangan dengan kehendak Roh dan kehendak Roh bertentangan dengan kehendak
daging” (Gal 5:17). Karena ini merupakan dasar yang berlawanan, tidaklah
mungkin beralasan bahwa kita dapat mensahkan dalam memberi jalan kepada kehendak
daging dan juga menyatakan untuk mengikuti kehendak Roh. Dunia tersusun
dikelilingi “keinginan daging, keinginan mata, keangkuhan hidup” (1 Yoh 2:16).
“barangsiapa melakukan persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan
Allah” (Yak 4:4). Memiliki teman-teman duniawi, menonton film-film duniawi, dan
lain sebagainya, merupakan “persahabatan dengan dunia”. Keinginan daripada
dunia akan segera lenyap, dan barangsiapa berada di dalamnya akan lenyap
bersamanya (1 Yoh 2:15-17). “dunia (masyarakat) orang fasik” akan dihancurkan
pada kedatangan kedua (2 Ptr 2:5), melihat bahwa “seluruh dunia terlena dalam
kejahatan” (1 Yoh 5:19). Jika kita ingin menghindari penghancuran itu, kita
haruslah “tidak berasal dari dunia” (Yoh 17:16; Why 18:4).
Banyak cara-cara dunia
yang memberi kepuasan daging termasuk harga untuk kesehatan tubuh: merokok,
obat terlarang dan minum-minum berlebihan adalah contoh-contoh untuk ini.
kesehatan fisik kita, uang kita, sesungguhnya semua yang kita miliki kepunyaan
Allah. Untuk itu kita tidak sesenaknya menggunakannya semau kita, melainkan
haruslah bertindak melayani dari apa yang Allah berikan kepada kita. Kita akan
dimintai pertanggung-jawaban akan pengaturan semua itu pada kursi penghakiman
(Luk 19:12-26). Kebiasaan merokok dan minum minuman berakohol berlebihan
merupakan penyalahgunaan keuangan dan kesehatan kita. “tidak tahukah kamu bahwa
tubuhmu adalah bait Allah, dan Roh Allah diam di dalam kamu? Jika seseorang
mengotori bait Allah, Allah akan menghancurkannya... tubuhmu adalah bait Roh
Kudus yang diam di dalam kamu... kamu bukanlah milikmu sendiri... kamu telah
dibayar dengan lunas: oleh sebab itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu” (1 Kor
3:16,17; 6:19,20). Penyalahgunaan tubuh melalui kebiasaan-kebiasaan seperti
merokok merupakan masalah serius.
Bagaimanapun dapat
diketahui bahwa kebiasaan seperti ini terbentuk sebelum perubahan, tidaklah
mungkin untuk memutuskannya dalam waktu singkat. Apa yang diharapkan dari
mengetahui keburukan-keburukan dari kebiasaan, dan kenyataan yang mendukung
untuk memberhentikan ini. tekanan-tekanan hidup seharusnya menumbuhkan jalan
lain kepada firman Allah dan doa, lebih lagi kepada bentuk manusia yang suka
bersantai-santai.
Pokok mendasar dari segala
contoh ini adalah dasar pertanyaan ketika kita menuruti pikiran kita untuk
diubahkan oleh pekerjaan Kristus melalui firman Allah. Jika demikian, kita akan
melihat bahwa semua hal ini bersama dengan ketidakjujuran akan segala hal
tidaklah sesuai dengan kehidupan seperti Kristus.
Tetapi kamu bukan demikian karena kamu telah
belajar mengenal Kristus,
karena kamu telah mendengar tentang Dia dan menerima pengajaran di-
dalam Dia menurut kebenaran yang nyata di dalam Yesus, yaitu bahwa
kamu berhubung dengan kehidupan kamu yang dulu harus menanggalkan
manusia lama, yang menemui kebinasaan oleh nafsu yang menyesatkan,
supaya kamu dibaharui dalam roh dan pikiranmu dan memakai manusia
baru yang diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan
kekudusan yang benar, buanglah dusta dan berkata benar kepada yang lain
karena kita sesama anggota. Apabila kamu menjadi marah janganlah ber-
buat dosa dan jangan matahari terbenam sebelum padam amarahmu, jangan
beri kesempatan kepada iblis. Orang yang mencuri janganlah ia mencuri
lagi tetapi baiklah ia bekerja yang baik dengan
tangannya sendiri, supaya
ia dapat membagikan sesuatu kepada yang berkekurangan.
(Efesus 4:20-28)
11.3 Praktek Kehidupan Kristen
Belajar Alkitab
Setelah baptisan, kita seharusnya membawa
seterusnya “buah kepada pengudusan”, hidup dalam kehidupan yang dipimpin oleh
Roh daripada oleh daging (Rm 6:22; 8:1; Gal 5:16,25). Melalui firman Allah yang
menetap dalam kita bahwa kita membawa seterusnya buah-buah roh (Yoh 15:7,8).
Kita telah melihat bahwa kita dipimpin oleh roh yang mana Roh Allah di dalam
firmanNya. Melebihi kehidupan kita, kita harus menjaga kedekatan kepada
pembacaan dan belajar Alkitab secara rutin.
Sebuah pengajaran total
akan firman menghasilkan dalam diri seseorang kesadaran akan perlunya
baptisan, dan untuk itu ditunjukan melalui tindakan. Proses firman mempengaruhi
tindakan-tindakan kita dan secara langsung seharusnya hidup kita berlanjut;
baptisan merupakan langkah pertama dalam kehidupan yang taat kepada firman
Allah. Terdapat hal yang sangat berbahaya akan kebiasaan terhadap Alkitab
dan doktin-doktrin dasar dari injil, menuntun kita kepada posisi yang mana
firman tidak lagi mempengaruhi kita: kita dapat membaca kata-kata dan mereka
tidak mempunyai dampak praktis kepada kita (lihat Tambahan 2). Untuk
alasan inilah sangat bijak jika bedoa singkat lebih dahulu sebelum membaca
Alkitab: “bukakan mataku, supaya aku memandang keajaiban-keajaiban tauratMu”
(Mzm 119:18).
Firman Allah seharusnya
menjadi makanan harian kita – sesungguhnya, ketergantungan kita akan hal ini,
dan keinginan dasar akan hal ini, seharusnya menjadi lebih besar dari naluri
nafsu makan kita: “perkataan-perkataan dari mulutNya kumuliakan melebihi
makanan utamaku” yang Ayub rasakan (Ayb 23:12). Seperti halnya Yeremia: “jika
aku bertemu dengan perkataanMu, aku menikmatinya; firmanMu menjadi kegirangan
dan kesukaan hatiku” (Yer 15:16). Menyediakan waktu setiap hari untuk rutin
membaca Alkitab yang merupakan sebuah hal penting untuk membangun pola hidup
kita sehari-hari. Kesendirian selam 30 menit untuk belajar Alkitab di pagi hari
merupakan dasar untuk memulai setiap hari kehidupan kita dalam pertumbuhan
rohani yang benar. Demikianlah kebiasaan-kebiasaan pembentukan iman yang
berharga seperti emas pada hari penghakiman.
Untuk menghindari
kecenderungan untuk membaca hanya beberapa bagian dari Alkitab yang mana pada
dasarnya menarik bagi kita, Christadelphian telah menemukan progran membaca
yang disebut “Rekan Alkitab” (disediakan oleh penerbit akan buku ini). ini
memberikan bilangan pasal-pasal untuk dibaca setiap hari, hasil dari Perjanjian
Baru dibaca dua kali dan perjanjian Lama sekali dalam kursus selama setahun. Sebagaimana
kita membaca pasal-pasal hari demi hari, kita mendapat keteguhan hati akan
pengajaran yang juga ribuan dari orang percaya lainnya membaca pasal yang sama.
Ketika kita bertemu, kita memiliki keterikatan; pasal-pasal yang baru saja kita
baca seharusnya menjadi dasar pembicaraan kita. Tetapi biarlah kita menjadi
peka akan tingkat luar dari pembacaan Alkitab. Kita harus membiarkan firman
sungguh-sungguh menjadi bagian dalam hidup kita. Yeremia berkomentar: “mengenai
nabi-nabi, hatiku hancur dalam dadaku, segala tulangku goyah... seperti
laki-laki yang kebanyakan minum anggur, oleh karena TUHAN, dan oleh karena
firmanNya yang kudus” (Yer 23:9). Dia menyamakan Allah dengan firmanNya, dan
oleh karena itu dia merasakan hadirat dan kemutlakan Allah sendiri sebagaimana
dia membaca dan mendengar firmanNya.
Doa
Latihan penting lainnya untuk menumbuhkan doa.
Mengingatkan kita bahwa terdapat “satu penghubung antara Allah dan manusia,
yang adalah manusia Kristus Yesus; yang telah memberikan dirinya sebagai tebusan
untuk semua”, perjalanan Paulus akan hasil dari latihan dan pemahaman akan
pekerjaan Kristus: “aku ingin supaya di mana-mana orang berdoa.... tanpa marah
dan perselisihan” (1 Tim 2:5-8). “sebab imam besar yang kita punya, bukanlah
imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita,
sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai hanya saja Dia tidak berbuat
dosa. Sebab itu marilah kitadengan penuh keberanian menghampiri tahta
kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk
mendapat pertolongan kita pada waktunya” (Ibr 4:15,16).
Menghargai sungguh-sungguh
bahwa Kristus adalah imam besar pribadi kita yang berkuasa penuh untuk membawa
doa-doa kita kepada Allah, seharusnya menginspirasikan kita untuk berdoa secara
rutin di dalam iman. Bagaimanapun, doa seharusnya bukan hanya menjadi sebuah
‘rangkaian permohonan’ yang dipersembahkan kepada Allah; ucapan syukur atas
makanan sebelum kita memakannya, untuk keselamatan perlindungan dalam
perjalanan, dll, seharusnya membentuk sebuah bagian penting dalam doa-doa kita.
Hanya menempatkan
masalah-masalah kita di hadapan Tuhan dalam doa seharusnya itu sendiri
memberikan sebuah sentuhan besar akan kedamaian: “dalam segala hal (tidak ada
yang terlalu kecil untuk didoakan) nyatakan dalam doa... dengan ucapan syukur
biarlah permintaanmu sampai kepada Allah, damai sejahtera yang melampaui segala
akal, memelihara hati dan pikiranmu” (Flp 4:6,7).
Jika doa-doa kita sesuai
dengan kehendak Allah, semuanya itu pasti akan dikabulkan (1 Yoh 5:14). Kita
dapat mengetahui kehendak Allah melalui pembelajaran kita akan firmanNya, yang
telah dinyatakan oleh Roh Kudus/pikiranNya kepada kita. Oleh sebab itu
pelajaran Alkitab kita seharusnya mengajarkan kita tentang bagaimana berdoa dan
apa saja yang harus didoakan, itulah yang akan membuat doa kita berkuasa. Oleh
sebab itu “Jika... firmanKu tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu
kehendaki, maka kamu akan menerimanya”| (Yoh 15:7).
Begitu banyak contoh akan
doa-doa rutin di dalam Alkitab (Mzm 119:164; Dan 6:10). Pagi dan sore, dengan
sedikit doa pendek akan syukur sepanjang hari seharusnya terlihat sebagai yang
paling sederhana.
Berkotbah
Satu dari pencobaan-pencobaan terbesar yang mana
bangkit dari pengenalan akan Allah yang sesungguhnya adalah menjadi egois
rohani. Kita dapat begitu puas dengan hubungan diri kita sendiri dengan Allah,
sangat terserap dalam kerohanian dan belajar Alkitab kita secara pribadi, bahwa
kita dapat mengabaikan untuk membagikan hal-hal ini dengan yang lainnya – baik
sesama orang percaya maupun dunia di sekeliling kita. Firman Allah dan injil
yang benar yang mana ditemukan di dalamnya, adalah seperti pelita atau lampu
yang bersinar dalam kegelapan (Mzm 119:105; Ams 4:18). Yesus menekankan bahwa tidak
ada orang yang menaruh pelita di bawah gantang, melainkan untuk menerangi
semuanya (Mat 5:15). “kamu adalah terang dunia” karena telah dibaptis di dalam
Kristus, “terang dunia” (Mat 5:14; Yoh 8:12). “kota yang terletak di atas bukit
tidak dapat tersembunyi”, lanjut Kristus (Mat 5:14).
Jika kita sungguh-sungguh
hidup sesuai dengan injil yang benar yang mana kita pahami, ‘kekudusan’ kita
akan terbukti kepada semua dengan siapa kita hidup. Kita tidak akan mapu untuk
bersembunyi dari kenyataan bahwa kita “dipisahkan kepada” harapan akan
Kerajaan, dan juga “dipisahkan dari” cara-cara keduniawian.
Dalam jalan yang bijaksana
kita seharusnya mencari untuk membagikan pengetahuan kita akan Kebenaran dengan
semua yang kita datangi dalam hubungan, kembali membicarakan seputar hal-hal
rohani; diskusi pengajaran dengan anggota gereja lain; mendistribusikan
traktat, dan bahkan menempatkan iklan kecil di media lokal kita, merupakan
semua cara-cara yang mana membuat terang kita bercahaya. Kita tidak seharusnya
berpikir untuk meninggalkan pekerjaan akan bersaksi kepada orang percaya
lainnya; setiap kita mempunyai tanggung-jawab pribadi. Christadelphian memiliki
kecenderungan sedikit yang diorganisasikan, kotbah skala besar disetarakan
dengan kelompok-kelompok lain. Setiap kita secara pribadi, melakukan apa yang
dapat kita lakukan, secara besar terletak pada pembiayaan diri kita sendiri.
Salah satu dari banyak
cara kesuksesan berkotbah adalah melalui penjelasan keyakinan kita kepada
keluarga kita dan kepada semua yang dapat dengan segera kita melakukan
hubungan. Mereka yang memiliki pasangan yang tidak seiman seharusnya
diterangkan secara jelas keyakinan-keyakinannya kepada mereka, meskipun sekali
hal ini telah dilakukan tidaklah bijak untuk tetap mengemukakan persoalan-persoalan
atau mendesak segala tekanan kepada mereka. Ditekankan orang-orang murtad
merupakan apa yang tidak Allah inginkan. Tugas kita adalah untuk menyaksikan
kebenaran tanpa keterlambatan mengenai tentang berapa banyak tanggapan yang
kita terima. Kita memiliki tanggung-jawab besar untuk membuat kesaksian ini
(Yeh 3:17-21); jika Kristus datang dalam waktu kehidupan kita “kalau ada dua
orang di ladang, yang seorang akan dibawa dan yang lain akan ditinggalkan” (Luk
17:36). Hal ini akan menjadi kuat sesungguhnya jika kita tidak berbicara kepada
keluarga kita dan rekan kerja tentang kedatangan Tuhan kita yang kedua kali
tatkala hal ini terjadi.
Kehidupan gereja
Sepanjang pelajaran ini kita telah berbicara
tentang tanggung-jawab kerohanian pribadi kita. Bagaimanapun, kita mempunyai
sebuah tugas untuk bertemu bersama yang lainnya yang berbagi harapan kita.
Juga, hal ini seharus menjadi sesuatu yang mendasari keinginan kita untuk
melakukannya. Kita telah diperlihatkan bahwa setelah baptisan kita memasuki
padang belantara sebuah perjalanan menuju Kerajaan. Ini hanyalah dasar bahwa
kita seharusnya berkeinginan untuk menjalin hubungan dengan sesama anggota yang
melakukan perjalanan. Kita hidup di dalam hari-hari terakhir sebelum kedatangan
Kristus; untuk mengatasi godaan-godaan yang rumit yang menyerang kita saat-saat
ini, kita perlu berhubungan dengan semua yang berada dalam posisi yang sama:
“janganlah kita menjauhi dari pertemuan-pertemuan ibadah kita... tetapi saling
menasihati: dan semakin giat menjelang hariNya (kedatangan kedua) yang
semakin dekat” (Ibr 10:25; Mal 3:16). Orang-orang percaya seharusnya membuat
segala upaya untuk membuat hubungan dengan yang lainnya melalui surat dan
perjalanan menemui yang lainnya untuk berbagi pelajaran Alkitab, pelayanan
persekutuan, dan kegiatan berkotbah.
Setiap pribadi kita telah
‘dipanggil keluar’ dari dunia menuju kepada harapan besar akan Kerajaan. Kata
‘orang kudus’ berarti ‘orang yang dipanggil keluar’, dan dapat menunjukan
kepada semua orang percaya yang sesungguhnya lebih dari sekedar sedikit
orang-orang percaya terkemuka yang telah lalu. Bahasa Yunani yang mana
menterjemahkan ‘church’ ke dalam Alkitab bahasa Inggris adalah ‘ecclesia’, yang
berarti ‘sebuah sidang jemaat yang terpanggil keluar’ atau orang-orang percaya.
‘gereja’ yang olehnya menunjukan kelompok daripada orang-orang percaya, lebih
dari sekedar bangunan fisik yang mana mereka bertemu. Untuk menghindari
kesalahpahaman dalam penggunaan kata ini, Christadelphian cenderung untuk
menunjuk ‘churches’ sebagai ‘ecclesias’.
Di manapun terdapat jumlah
orang-orang percaya di sebuah daerah di kota, sangat logis bahwa mereka mencari
sebuah tempat pertemuan yang mana bisa bertemu secara rutin. Bisa jadi di dalam
rumah orang percaya atau sebuah ruangan besar yang disewa. Gereja-gereja
Christadelphian bertemu dari seluruh dunia di dalam sebuah tempat seperti
tempat pertemuan, ruang konfrensi hotel, gedung sendiri atau rumah-rumah
pribadi. Tujuan daripada gereja adalah untuk menolong sesama menuju jalan
kepada Kerajaan. Ini dilakukan dengan bermacam-macam variasi sedemikian bersama
belajar Alkitab atau kesaksian kepada dunia melalui kotbah. Tipe jadwal untuk
gereja Christadelphian dapat berbentuk seperti ini.
Minggu jam 11
pagi - Perjamuan kudus
Jam 6 sore -
Kebaktian umum
Rabu
jam 8 malam - Pemahaman Alkitab
Gereja merupakan bagian
dari keluarga Allah. Dalam sebuah komunitas tertutup, setip anggotanya perlu
merasakan dan merendah dengan sesamanya. Kristus sendiri telah menjadi contoh
tertinggi akan hal ini. meskipun bukti Dia berkerohanian tinggi, Dia bertindak
sebagai “pelayan dri semua”, membasuh kaki para murid sementar meraka
berargumentasi di antara mereka sendiri akan siapa yang terbesar di antara
mereka. Yesus meminta kita untuk mengikuti teladanNya akan hal ini (Yoh
13:14,15; Mat 20:25-28).
Christadelphian
mengarahkan satu dengan yang lainnya seperti ‘saudara laki-laki’ atau ‘saudara
perempuan’, menjadi nama depan yang membedakan posisi mereka dalam kehidupan
sekuler. Ini mengatakan, yang membuktikan di sana seharusnya menjadi
penghormatan bagi orang-orang percaya yang telah mengenal Allah dengan benar
dalam beberapa tahun, atau yang memiliki kedewasaan dalam hal rohani melalui
komitmen mereka terhadap firman Allah. Nasihat dari orang-orang percaya seperti
ini akan sangat dihargai oleh mereka yang mencoba mengikuti firman Allah.
Bagaimanapun, mereka akan hanya mengambil nasihat dari orang percaya lainnya
sejauh hal itu akurat dengan cerminan daripada firman Allah.
Pengajaran yang mana
diberikan di dalam gereja seharusnya dengan jelas didasari atas firman Allah.
Mereka yang berbicara di depan umum yang oleh karenanya mencerminkan Allah,
berbicara atas namaNya. perintahNya adalah bahwa hanya kawan sehaluan yang
seharusnya melakukan pekerjaan memberi instruksi di depan umum dari firman
Allah. 1 Kor 14:34 tidak dapat menjelaskan: “hendaknya perempuan-perempuan
berdiam diri di dalam pertemuan-pertemuan jemaat, sebab mereka tidak
diperbolehkan untuk berbicara”. 1 Tim 2:11-15 menemukan alasan yang
melatar-belakangi peristiwa di dalam taman Eden. Kenyataannya bahwa Allah
membentuk Adam sebelum Hawa yang menandakan bahwa “kepala dari wanita adalah
pria” (1 Kor 11:3), dan oleh sebab itu pria seharusnya memimpin secara rohani
dan wanita lebih baik mewakilinya.
“seharusnya perempuan
berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh. Aku tidak mengijinkan perempuan
untuk mengajar dan memerintah laki-laki, hendaklah ia berdiam diri, karena Adam
yang pertama dijadikan kemudian barulah Hawa. Lagipula bukan Adam yang tergoda,
melainkan perempuan itulah yang tergoda dan jatuh di dalam dosa. Tetapi
perempuan akan diselamatkan dalam (bahasa Yunani ‘melalui’) melahirkan anak,
asal ia bertekun dalam iman dan kasih dan pengudusan dengan segala
kesederhanaan” (1 Tim 2:11-15).
Dari sini jelas sekali
bahwa Alkitab mendefinisikan mengenai rangkaian pemisahan untuk orang percaya
laki-laki dan perempuan. Ini sangat beretentangan dengan teori humanistik
tentang derajat kelamin, di mana wanita yang menjalankan karir dapat mengklaim
persamaan derajatnya dengan suaminya dalam segala hal. Orang percaya
sesungguhnya akan menghindari roh daripada zaman ini, meskipun sebagaimana
keseimbangan diperlukan selalu. Suami bukanlah tuan atas istrinya , melainkan
mengasihi istrinya sebagaimana Kristus mengasihi kita (Ef 5:25).
“hai suami-suami, hiduplah
bijaksana dengan istrimu (perlakukan istri dengan lembut sesuai dengan
pengenalanmu akan firman Allah). Hormatilah istrimu sebagai teman pewaris dari
kasih karunia, yaitu kehidupan supaya doamu jangan terhalang” (1 Ptr 3:7).
Dalam hal rohani, baptisan
di dalam Kristus membuat laki-laki dan perempuan sederajat (gal 3:27,28; 1 Kor
11:11). Bagaimanapun ini bukanlah dampak yang menjelaskan bahwa ‘pria adalah
kepala dari wanita’ (1 Kor 11:3) secara praktis dan hal-hal rohani, keduanya
termasuk dalam keluarga dan gereja.
Dalam perintah untuk
mendemonstrasikan pengenalan akan prinsip ini, orang percaya wanita seharusnya
memakai penutup kepala ketika ketika seorang pria mengajar firman Allah. Ini
berarti dalam praktisnya bahwa penutup kepala seharusnya dipakai dalam segala
pertemuan jemaat. Perbedaan aturan antara pria dam wanita seharusnya ditekankan
dengan cara pria dan wanita mengenakan kepala mereka (1 Kor 11:14,15). “setiap
wanita yang berdoa... dengan kepala yang tidak tertutup tidak meghormati
kepalanya (suaminya ay.3): untuk itu adalah sama semua satu seperti jika dia
gundul. Maka jika wanita tidak ditutupi, biarlah ia juga mencukur: tetapi
menjadi sutau kemaluan untuk wanita jika ia mencukur atau gundul, biarlah ia
ditutupi... oleh sebab ini sebaiknya perempuan mempunyai penudung, dengan tanda
bahwa ia di bawah kuasa suaminya” (1 Kor 11:5,6,10).
Memiliki kepla yang “tidak
tertutup” adalah “seperti seandainya dia gundul”, menunjukan bahwa sebuah
kepala yang tidak tertutup bukanlah kepala tanpa rambut. Oleh karena itu sebuah
“penutup” kepala bukanlah sesuatu dengan rambut di atasnya, melainkan sengaja
tersedia kepala penutup dari rambut; untuk melakukan ini sebagaimana diajarkan
bahwa ia tidak memiliki rambut dalam pandangan Allah. Ini merupakan kesalahan
jika seorang pria memiliki penuttup rambut (1 Kor 11:7); ini bukan berarti untuk
memiliki rambut, tetapi tetapi memilki rambut yang khusus.
Dalam kebudayaan seputar
zaman Perjanjian Baru, hanya ketika seorang wanita dicukur kepalanya jika ia
dinyatakan sebagai pelacur atau orang yang berzinah, atau berkabung akan
kehilangan suaminya. Untuk wanita yang digundul seharusnya menunjukan dia telah
kehilangan atau menolak suaminya – dalam tipe Kristus.
Wanita mewakilkan gereja,
sementara pria mewakilkan Kristus. Seperti kita memutuskan dengan sengaja agar
dosa kita tertutup oleh Kristus, begitu halnya wanita sengaja memutuskan untuk
menutup kepalanya percaya dalam kodratnya penutupan kepala dapat disamakan
dengan mempercayai kebaikan kita sendiri untuk menyelamatkan kita sebagaimana
ditentang akan hal itu oleh Kristus.
Melihat bahwa wanita
berambut panjang merupakan sebuah (pemberian Allah) kemuliaan untuk dirinya:
yang mana rambutnya diberikan kepadanya sebagai penudung (‘pakaian dasar’
implikasi bahsa Yunani [1 Kor 11:15]), seorang wanita seharusnya menumbuhkan
rambutnya dengan maksud yang membedakannya dengan pria. Perbedaan gaya rambut
antara pria dan wanita seharusnya dapat digunakan oleh wanita sebagai
kesempatan untuk menyoroti perbedaan perannya yang terpisah.
Dalam hal ini akan wanita
yang berambut panjang dan mengenakan sebuah penutup kepala, kita perlu
hati-hati untuk tidak membuat hal ini penandaan belaka. Jika saudara perempuan
memiliki kesungguhan rohani dan bersikap menunduk (1 Ptr 3:5), dia akan menjadi
kawan sehaluan sebagai orang-orang percaya di dalam Kritus, dan akan menunjukan
penundukan itu dalam segala hal, termasuk mengenakan penutup kepala. Jika
alasan akan perintah ini dapat dimengerti, seperti halnya dengan semua perintah
Allah, maka di sana tidak akan terjadi keberatan hati utnuk menuruti hal-hal itu.
Akan selalu terdapat
pekerjaan terhadap para saudara perempuan di dalam jemaat – mengajar sekolah
minggu, dan segala tugas lain yang mana tidak melibatkan pengajaran umum atau
bebicara, misalnya mengurus pembukuan akuntansi. Kedewasaan rohani wanita dapat
mendukung untuk mempercepat sesi pengajaran terhadap saudari-saudari yang lebih
muda (Tit 2:3,4. Maryam memimpin wanita Israel, Kel 15:20).
Pemecahan roti
Sepanjang doa dan pembacaan Alkitab, ketaatan secra
rutin terhadap perintah Kristus untuk memecahkan roti dan minum anggur dalam
mengingat pengorbananNya yang utama. “lakukanlah ini sebagai peringatan akan
Aku”, perintah Yesus (Luk 22:19). kehendakNya bahwa para pengikutNya seharusnya
melakukan hal ini secara rutin sampai kedatanganNya yang kedua kali., tatkala
Yesus ingin membagi roti dan anggur bersama mereka lagi (1 Kor 11:26; Luk
22:16-18). Tuhan Yesus memeberikan pewahyuan khusus kepada Paulus mengenai
pemecahan roti sebagaimana yang Dia lakukan memperhatikan kebangkitan (1 Kor
11:23; 15:3); pemecahan roti adalah penting.
Roti mewakili tubuh
Kristus yang telah diberikan di atas kayu salib, dan anggur merupakan darahNya
(1 Kor 11:23-27). Ini bukanlah secara betul-betul berubah menjadi tubuh dan
darah Yesus. Ketika Yesus mengatakan “inilah tubuhKu” (Mat 26:26) kita memahami
bahawa ‘ini mewakili, ini adalah [lambang dari] tubuhKu’. “ini adalah” secara
jelas mengartikan ‘ini mewakili’ dalam Zak 5:3,8; Mat 13:19-23,38; 1 Kor 11:25;
12:27. dalam beberapa versi Alkitab, ketika kita membaca kata ‘sesungguhnya’,
secara mudah ini berarti diterjemahkan dari kata kerja ‘menjadi’ (Mat 9:13;
12:7; Luk 15:26; Kis 2:12). ‘ini adalah’ seharusnya dapat dibaca ‘ini berarti /
ini mewakili’. Orang percaya mula-mula terlihat melakukan layanan pemecahan
roti secara bergiliran (Kis 2:42,46), sepertinya seminggu sekali (Kis 20:7).
Jika kita sungguh mengasihi Kristus, kita akan mematuhi perintahNya (Yoh
15:11-14). Jika kita memiliki hubungan pribadi yang benar dengan Dia, kita akan
berkeinginan untuk mengingat pengorbananNya sebagaimana yang Ia minta, dan oleh
karenanya mendukung kita pada peringatan akan keselamatan terbesar yang
dicapaiNya. Sebuah masa perenungan akan penderitaanNya di atas kayu salib akan
membuat pencobaan-pencobaan kita tidak berarti ketika dibandingakan dengan
semua yang Tuhan kita perbuat.
Pemecahan roti mendasari
layanan akan peringatan; tidak ada suatu yang magis terjadi sebagai hasil
melakukan hal ini. penghormatan ini disamakan dengan hari raya paskah di bawah
hukum Musa (Luk 22:15; 1 Kor 5:7,8). Ini berarti peringatan akan pembebasan
terbesar dari Mesir yang mana Allah perbuat melalui Musa di laut merah. Layanan
pemecahan roti membawa kita kembali kepada keselamatan kita dari dosa melalui
Kristus, yang mana menjadi mungkin di atas kayu salib dn yang mana menjadi
terhubung oleh baptisan. Memelihara perintah ini seharusnya berguna menjadi
sesuatu yang mendasari apa yang ingin kita lakukan.
Secara fisik mengambil
roti dan anggur membuat kasih Kristus bagi kita, dan sesungguhnya semua hal
mengenai keselamatan kita, sekali lagi menjadi sangat nyata. Memecahkan roti
seminggu sekali yang oleh karenanya menjadi tanda kesehatan keadaan rohani.
Jika tidak bisa dilakukan dengan anggota orang-orang percaya akan kebenaran,
ini seharusnya dilakukan sendiri. Seharusnya tidak ada pemakluman yang boleh
memberhentikan kita dalam memelihara perintah ini. kita seharusnya menjaga
segala upaya dukungan akan roti dan anggur dengan kita untuk pelayanan,
meskipun dalam keadaan yang ekstrim bahkan kurangnya hal ini seharusnya tidak
menghambat kita untuk memperingati Kristus dalam ketetapan terbaik yang kita
bisa. Yesus menggunakan “buah anggur” (Luk 22:18), dan kita seharusnya oleh
karena menggunakan anggur merah.
Untuk mengambil lambang
dari penderitaan dan pengorbanan Kristus merupakan penghormatan tertinggi yang
mana pria atau wanita bisa miliki. Untuk mengambil bagian akan hal-hal itu
dengan perhatian yang tidak layak terhadap apa yang mereka wakilkan di amalam
penghujatan, melihat bahwa “setiap kamu makan roti ini dan minum cawan ini,
kamu memperingati kematian Tuhan... jadi barangsiapa dengan cara yang tidak
layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah
Tuhan (1 Kor 11:26,27). Layanan pemecahan roti seharusnya tidak terganggu atau
terinterupsi akan satu aliran pemikiran. Ini boleh meliputi melakukan pada
subuh pagi atau larut malam, dalam kamar tidur atau tempat yang pantas lainnya.
Kita lebih lanjut dinasihatkan, “hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya
sendiri, dan jadi (dalam kerendahan hati akan pengujian diri) biarlah
dia makan roti dan minum dari cawan itu” (1 Kor 11:28). Kita seharusnya yang
oleh karenanya diperbaharui pikiran kita atas pengorbanan Kristus, kemungkinan
oleh sasaran yang luput melalui catatan injil dari penyalibanNya, sebelum kita
mengambil lambang. Dengan melakukan secara layak, kita akan tak terelakan
teruji oleh kata hati kita kepada kristus juga.
Perintah yang layak dari layanan pemecahan roti
sebagai berikut.
berdoa – meminta Allah untuk memberkati pertemuan;
Dia membuka mata kita terhadap firmanNya; mengingat kebutuhan akan orang
percaya lainnya; memuji Dia akan kasihNya, terutama sebagai perwujudan dalam
Kristus, dan berdoa mengenai hal-hal khusus lainnya.
melakukan pembacaan Alkitab untuk hari yang telah
dikhususkan dalam “perekanan Alkitab”.
merenungkan pelajaran-pelajaran dipelajari akan
mereka, atau membaca sebuah ‘nasihat’ – sebuah pelajaran Alkitab terhadap
ayat-ayat tersebut yang memimpin kita kepada tujuan pelayanan kita – peringatan
akan Kristus.
baca 1 Kor 11: 23-29.
waktu untuk bediam menguji diri sendiri.
berdoa untuk roti.
memecahkan roti dan memakan bagian kecil darinya.
berdoa untuk anggur.
meminum anggur.
doa penutup
seluruh layanan seharusnya mengambil hanya sekitar
satu jam.
11.4 Pernikahan
kita akan mulai sesi ini dengan menyadari posisi
dari mereka yang sendiri pada nilai pembaptisan. Kita telah mendiskusikan pada
Pelajaran 5.3 akan perlunya pernikahan pada orang-orang percaya yang telah
dibaptis. Di sana terdapat sedikit bagian yang mendukung kesendirian seseorang
yang setidaknya menyadari akan pilihan kesendirian sebagai komitmen total
kepada pekerjaan Tuhan (1 Kor 7:7-9; 32-38; 2 Tim 2:4; Mat 19:11,12,29; Pkh
9:9). “tetapi kalau dengan kawin, engkau tidak berdosa” (1 Kor 7:28). Hampir,
jika tidak semua, para rasul menikah (1 Kor 9:5), dan pernikahan sebagaimana
Allah maksudkan dan rancangkan untuk membawa kepada banyak keuntungan jasmani
maupun rohani. “hendaklah menghormati pernikahan, dan (kegunaan dari) tempat
tidur janganlah dicemari” (Ibr 13:4). “tidaklah baik bahwa... pria seorang
diri”, kecuali dia dapat mengatur komitmen tingkat tinggi kepada hal-hal
rohani, dan untuk itu Allah mendelegasikan pernikahan (Kej 2:18-24). Oleh sebab
itu, “siapa mendapat istri mendapat sesuatu yang baik, dan dikenan TUHAN...
istri yang berakal budi adalah karunia TUHAN” (Ams 18:22; 19:4).
Kita diberikan
keseimbangan penyimpulan dari posisi dalam 1 Kor 7:1,2: “adalah baik bagi
laki-laki jika ia tidak menyentuh wanita. Mengingat, untuk menghindari
percabulan, biarlah setiap laki-laki memiliki istrinya sendiri, dan setiap
wanita memiliki suaminya sendiri” (ay 9).
Implikasi dari ayat ini
adalah bahwa kegemaran akan hasrat seks di luar pernikahan adalah percabulan.
Peringatan-peringatan menentang percabulan (seks antara orang yang tidak
menikah), perzinahan (seks antara orang yang menikah dengan pasangan orang
lain) dan segala bentuk tidak bermoral sering disebut dalam Perjanjian Baru;
hampir semua surat berisikan itu. Beberapanya adalah sebagai berikut ini: Kis
15:20; Rm 1:29; 1 Kor 6:9-18; 10:8; 2 Kor 12:21; Gal 5:19; Ef 5:3; Kol 3:5; 1
Tes 4:3; Yud 7; 1 Ptr 4:3; Why 2:21.
Dalam penerangan akan
semua penekanan pengulangan ini, untuk melayangkan dalam wajah Allah secara
jelas diekspresikan akan kesungguhan yang serius. Sementara Allah ingin
mengampuni dosa dari kelemahan sesaat jika mereka bertobat dari (contohnya
perzinahan Daud dengan Batsyeba), secara rutin untuk melakukan hal-hal ini
hanya akan menghasilkan penghukuman. Paulus seringkali mengemukakan hal ini:
“perzinahan, percabulan... dan sebagainya: terhadap semua itu sudah
kuperingatkan kepadamu (kursi pengadilan), sebagaimana yang kubuat di masa
lalu, bahwa mereka yang melakukan (terus-menerus) akan hal itu tidak akan
mendapat bagian dalam Kerajaan Allah” (Gal 5:19,21), untuk itu “jauhilah
percabulan (2 Tim 2:22). Segala dosa yang dilakukan manusia, terjadi di luar
dirinya, tetapi orang yang melakukan percabulan berdosa terhadap dirinya
sendiri” (1 Kor 6:18).
Menjadi begitu diterima
hampir seluruh dunia bahwa pasangan muda hidup bersama sebelum pernikahan,
menikmati hubungan seks secara penuh. Penggunaan kata ‘hukum perkawinan umum’
ini menggambarkan istilah yang tidak cocok secara keseluruhan. Pernikahan bagi
orang percaya harus menjadi pernikahan sesuai dengan pemahaman Allah akan hal
ini; kita tidak dapat membiarkan pemahaman akan pernikahan dikreasikan oleh
dunia kedagingan sekeliling kita memiliki keutamaan melebihi pernyataan Allah
mengenai pernikahan – dan sesudahnya, pernikahan diinstitusikan oleh Allah
lebih daripada manusia. Secara Alkitabiah, pernikahan setidaknya terdiri dari
tiga bagian.
1.
beberapa bentuk dari upacara pernikahan, walau kecil. Catatan dari Boas
menikahi Rut dalam Rut 3:9-4:13 menunjukan bahwa pernikahan bukanlah sekedar
yang mana mengalir begitu saja; haruslah merupakan saat khusus ketika seseorang
mamasuki pernikahan penuh. Kristus diumpamakan pada ruang mempelai dan
orang-orang percaya pada mempelainya, yang Dia akan ‘menikahi’ pada kedatanganNya
yang kedua. Di sana akan terjadi “perjamuan nikah Anak Domba” untuk merayakan
ini (Why 19:7-9). Hubungan antara suami dan istri melambangkan antara Kristus
dan orang-orang percaya (Ef 5:25-30); sebagaimana di sana terdapat nilai
pemahaman pernikahan di antara kita, begitu juga di sana seharusnya menjadi
sebuah pernikahan antara orang-orang percaya yang mana memulai pernikahan
mereka, melambangkan kesatuan kristus dan diri kita pada kursi penghakiman.
2.
pernikahan Allah kepada Israel melibatkan masuknya sebuah mutu janji rohani
akan kesetiaan satu dengan yang lainnya (Yeh 16:8), dan ini juga seharusnya
menjadi ciri khas dalam pernikahan orang-orang percaya.
3.
hubungan seks adalah penting untuk menyempurnakan pernikahan (Ul 21:13; Kej 24:6,7;
29:21; 1 Raj 11:2). Karena ini, 1 Kor 6:15,16 menjelaskan mengapa hubungan di
luar pernikahan adalah salah. Hubungan dilayakan dalam halnya fisik,
sebagaimana Allah menyatukan bersama pasangan yang menikah (Kej 2:24). Untuk
disatukan menjadi “satu daging” dalam hubungan yang sementara yang untuk itu
adalah penyalahgunaan dari tubuh yang Allah telah berikan kepada kita. Dia
telah merancangkan itu dengan maksud memampukan penyempurnaan dalam tubuh apa
yang Dia telah satukan bersama dalam pernikahan.
Dari sini dapat diikuti
bahwa pasangan ‘hidup bersama’ sebelum pernikahan adalah benar-benar hidup
dalam dosa. Kecuali mereka membentuk hubungan mereka dengan pernikahan yang
tepat – atau terpisah – tidak terdapat nilai pada mereka untuk dibaptis.
Sebuah kesulitan timbul
dalam beberapa kebudayaan dalam pertumbuhan dunia yang mana tidak adanya konsep
akan sebuah upacara pernikahan atau perjanjian untuk orang biasa. Sebuah
pasangan boleh hidup bersama untuk beberapa tahun tanpa hal-hal ini, mengenai mereka
sendiri sebagai pernikahan. Ini merupakan berita dari penulis masa kini bahwa
dalam sedemikian kasus yang menampilkan pembaptisan seharusnya menjelaskan
posisi akan calon untuk baptisan, dan mendapatkan mereka dan pasangannya untuk
menandatangani sebuah formulir akan persetujuan pernikahan. Hubungan seharusnya
menjadi terdaftar dengan otoritas sipil yang relevan sedapatnya secepat
mungkin.
Mereka yang telah
dibaptis, sementara pasangannya tidak, seharusnya tidak meninggalkan mereka (1
Kor 7:13-15), tetapi lebih membuat segala upaya untuk mencintai mereka, dan
menunjukan pengertian mereka akan hidup bahwa mereka memiliki kepercayaan
sejati di dalam Allah yang benar, melebihi sekedar perubahan agama. 1 Ptr 3:1-6
mendukung hal-hal posisi ini bahwa hal ini dapat dilakukan, dalam ini sendiri,
bisa berarti mengubahkan agama dari pasangan yang tidak percaya.
Prinsip-prinsip yang
memerintahkan pernikahan merupakan perlambangan dalam pernyataan Allah mengenai
hal: “pria (akan) meninggalkan ayahnya dan ibunya, dan akan bersatu dengan
istrinya, sehingga mereka menjadi satu daging” (Kej 2:24). Kerja keras ini yang
menyatukan antara manusia dan istrinya di dalam banyak cara sebagaimana
memungkinkan merupakan analogi untuk kita melanjutkan upaya untuk penyatuan
dengan Kristus, melalui penguasaan dosa yang mendasar dan keegoisan akan sifat
dasar kita. Kerja keras ini menentang diri kita sendiri melebihi menentang
Kristus atau pasangan kita. Semakin kita menggantikan hal ini, kebahagiaan dan
hubungan yang lebih terpenuhi akan terjadi.
Bagaimanapun kita hidup
dalam dunia nyata akan dosa dan kegagalan, akan ketidak-mampuan untuk bangkit
penuh menuju standar tertinggi akan kekudusan yang mengatur kita di dalam
Alkitab, dan dalam contoh akan kasih dari Allah dan Kristus. Standar yang ideal
teratur dalam Kej 2:24 adalah dari satu laki-laki dan satu perempuan, hidup
bersama di dalam kesatuan total untuk kehidupan.
Orang-orang percaya harus
dipersiapkan bahwa sewaktu-waktu standar ini akan tidak bisa dicapai baik dalam
kehidupan mereka maupun dalam orang-orang percaya lainnya. Suami-suami dan
istri-istri boleh berdebat dan kehilangan kesatuan pemikiran mereka yang
seharusnya mereka miliki; ini boleh jadi ketidak-mungkinan secara fisik untuk
menyempurnakan pernikahan; laki-laki boleh memiliki beberapa istri,
mengambilnya sebelum dia dibaptis, jika hidup dalam masyarakat yang mana
poligami diijinkan. Dalam kasus ini dia seharusnya sungguh-sungguh dengan
istri-istrinya dan menyayangi mereka, namun tidak menambah lagi. Rasul Paulus,
dalam sebuah perpaduan yang bagus sekali akan simpati manusia dan kesetiaan
agama akan prinsip-prinsip yang bersifat ke-Tuhanan, menasihatkan bahwa
perpisahan adalah mungkin dalam kasus ekstrem akan ketidak-cocokan: “supaya
seorang istri tidak boleh menceraikan suaminya, tetapi jika ia bercerai,
biarlah ia tidak menikah” (1 Kor 7:10,11).
Status ini adalah standar
ideal, namun kemauan untuk menerima standar yang lebih rendah sepanjang hal ini
tidak mencemoohkan prinsip ke-Tuhanan (mis. Perzinahan adalah salah), adalah
kesungguhan dari ciri-ciri umum Alkitab. Paulus menasihatkan dalam 1 Kor
7:10-11 berhubungan kepada 1 Kor 7:27,28: “... adakah engkau terlepas dari
seorang istri? Janganlah mencari seorang istri (tetap sendiri). Tetapi jika
kamu menikah, kamu tidak berdosa”. Bagaimanapun, keinginan bercerai merupakan
pencemoohan yang diinstitusikan pada kehendak Allah bahwa pria dan wanita
seharusnya mengetahui bahwa Dia telah menyatukan mereka sebagai satu tubuh,
walu jika pada masalah praktisnya mereka menemukan kesulitan ini untuk
meletakannnya ke dalam penerapan praktis. Perkataan Kristus yang jelas menegur:
“sejak permulaan
penciptaan Allah membuat pria dan wanita. Oleh karenanya pria meninggalkan ayah
dan ibunya, dan bersatu dengan istrinya, dan mereka berdua menjadi satu tubuh,
maka (Yesus menekankan) mereka tidaklah dua tetapi satu tubuh. Apa yang
dipersatukan Allah, tidak dapat dipisahkan (oleh perceraian)... barangsiapa
menceraikan istrinya dan kawin dengan wanita lain, ia hidup dalam perzinahan
dengan istrinya itu. Dan jika istri menceraikan suaminya dan menikah dengan
pria lain, ia berbuat zinah” (Mrk 10:6-12).
Dalam keseluruhan area
dari hubungan seksual, tubuh mahir dalam membuat alasan yang masuk akal untuk
mebenarkan kegemaran dari nafsu yang mendasar. Mereka yang mencari dirinya
dalam bagian-bagian keadaan yang mencobai hanya akan menemukan kekuatan dan
stamina rohani yang mereka perlukan dari perenungan kembali akan ayat-ayat yang
disebutkan dalam sesi ini. beberapa telah mencari pembenaran akan
homoseksualitas dan lesbianisme sebagai legitimasi, hasrat yang mendasar.
Bagaimanapun, tidak dapat disangsikan bahwa perlakuan-perlakuan demikian
merupakan kebencian menyeluruh dalam pandangan Allah.
Prinsip dasar dari Kej
2:24 memaparkan dosa homoseksualitas; adalah perhatian Allah bahwa pria dan
wanita seharusnya menikah dan saling bersatu. Allah menciptakan wanita untuk
menjadi penolong buat Adam lebih dari pria lain. Hubungan seks antara pria
merupakan pengulangan penghukuman di dalam Alkitab. Ini adalah salah satu dari
dosa yang mana Sodom dihancurkan (Kej 18-19); rasul Paulus membuat ini sangat
jelas bahwa pembinasaan dalam pratek-praktek demikian akan mendatangkan murka
Allah, dan dikeluarkan dari KerajaanNya (Rm 1:18-32; 1 Kor 6:9,10).
Kenyataan dari memiliki
satu dari keterlibatan hal-hal ini seharusnya tidak membuat kita merasa jauh
dari pertolongan Allah. Terdapat pengampunan dengan Allah, bahwa Dia seharusnya
diberikan kasih penghormatan oleh mereka yang mengalami pengampunanNya (Mzm
130:4). Jemaat di Korintus memiliki pembagian yang adil terhadap lelaki-lelaki
hidung belang yang bertobat. “demikianlah kamu dahulu, tetapi kamu telah
disucikan (dalam baptisan), kamu dikhususkan, kamu dibenarkan (dengan dibaptis)
di dalam nama Tuhan Yesus” (1 Kor 6:9-11).
Pemrotesan bahwa satu yang
tidak memiliki ketertarikan dasar terhadap lawan jenis secara efektif merupakan
sebuah tuduhan bahwa Allah tidak adil dalam melarang kita melakukan
homoseksualitas, tetapi menjadikan kita dengan cobaan yang melebihi kekuatan.
Allah tidak akan mebiarkan kita dicobai melmpaui kemampuan kita tanpa membuat
jalan keluar (1 Kor 10:13). Melalui melakukan kegemaran akan segala aspek
kedagingan, dapat diambil poin di mana ini merupakan salah satu sifat
dasar akan apa yang disukai. Lalu, seorang pemabuk atau pecandu obat tidak
dapat hidup tanpa masukan rutin akan bahan kimia tersebut; tetapi dia
membutuhkan perubahan akan pandangan mentalnya, dan dengan pertolongan akan
perawatan kembali untuk diseimbangkan, cara hidup yang normal.
Homoseksualitas mesti
hilang dengan proses yang sama. Allah akan meyakinkan upaya kelakiannya dalm
hal ini; jika mereka secara total memberi diri mereka melebihi kegemaran akan
nafsu dasar mereka, Allah akan merawat mereka sebagaimana Dia perlkukan Israel
yang dulu.
“karena itu Allah
menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yang memalukan, sebab istri-istri mereka
menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tidak wajar. Demikian juga
suami-suami meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan istri mereka dan
menyala-nyala dalam berahi mereka seorang terhadap yang lain, sehingga mereka
melakukan kemesuman, pria dengan pria, dan karena itu mereka menerima dalam
diri mereka dalam tubuh mereka) balasan yang setimpal untuk kesesatan mereka”
(Rm 1:26,27).
11.5 Persahabatan
Bahasa Yunani menterjemahkan kata ‘persahabatan’
dan ‘persekutuan’ secara dasar menggambarkan kesatuan akan memiliki sesuatu
dalam kebersamaan: kesatuan umum. ‘persekutuan dihubungkan dengan kata
‘komunikasi’. Dengan alasan akan pengenalan dan penerapan jalan-jalan Allah,
kita memiliki persahabatan dengan Dia dan dengan orang lain yang melakukan hal
yang sama dengan menjadi “dalam Kristus”. Sangatlah mudah untuk mengabaikan
tanggung-jawab yang kita miliki untuk bersahabat dengan orang lain: “jangan
lupa untuk melakukan kebaikan dan berkomunikasi (bersahabat)” (Ibr 13:16). Flp
1:5 berbicara akan “persahabatan kita di dalam injil”; dasar dari persahabatan
yang oleh karenanya merupakan pengajaran dan cara hidup yang terdiri dari injil
yang benar. Untuk alasan inilah persahabatan dinikmati oleh orang-orang percaya
sesungguhnya lebih besar daripada segala organisasi lain atau gereja. Oleh
karena persahabatan ini mereka melakukan perjalanan jauh untuk bisa
bersama-sama dengan yang lainnya dan mengunjungi orang-orang percaya yang
terisolasi, dan seharusnya membuat baik penggunaan pos dan telepon sedapat
mungkin. Paulus berbicara tentang “persahabatan roh” (Flp 2:1), persahabatan
yang didasari pada pengikut umum dari Roh/pikiran Allah, seperti dinyatakan di
dalam RohNya-firman.
Satu dari ekspresi kita
yang terbesar adalah melalui menjaga layanan pemecahan roti bersama-sama.
Orang-orang percaya mula-mula tetap tabah di dlam pengajaran para rasul dan
bershabat (dalam) memecahkan roti, dan dalam doa... memecahkan roti... dengan
gembira dan kesehatian” (Kis 2:42,46). Tanda-tanda yang melambangkan tumpuan
akan harapan kita dan berbagi bersama mereka seharusnya mengikat kita bersama
dalam “kesehatian”. “bukankah cawan pengucapan syukur, yang atasnya kita
ucapkan syukur, adalah persekutuan (berbagi) dengan darah Kristus? Bukankah
roti yang kita pecahkan adalah persekutuan dengan tubuh Kristus? Karena roti
adalah satu, maka kita sekalipun banyak adalah satu tubuh, karena kita semua
mendapat bagian dari roti yang satu itu”, yang adalah Kristus (1 Kor 10:16,17).
Kita yang oleh karenanya memilki kewajiban untuk berbagi tanda-tanda dari
pengorbanan Kristus dengan semua yang menerima manfaat pekerjaanNya, yang
“mengambil bagian dari satu roti itu”. Hanya mereka yang sudah lebih dahulu
dibaptis di dalam Kristus, setelah mengetahui kebenaran akan penempatan ini,
seharusnya kita tidak berbagi dengan mereka yang lain.
Yohanes mengulang
panggilan akan bagaimana ia berbagi injil kehidupan kekal dengan yang lainnya
“bahwa kamu juga beroleh persekutuan dengan kami: dan sesungguhnya persekutuan
kami adalah dengan Bapa dan dengan AnakNya Yesus Kristus” (1 Yoh 1:2,3). Ini
menunjukan bahwa persahabatan didasari pemahaman umum sekitar akan injil yang
benar, dan bahwa hal ini membawa kita ke dlam persahabatan baik dengan
orang-orang percaya yang benar lainnya, dan juga dengan Allah dan Yesus pada
tingkat pribadi. Lebih lagi kita meminta injil untuk hidup kita, mencari untuk
mengatasi kecenderungan dosa-dosa kita, dan lebih dalam kita maju dalam
pemahaman kita akan firman Allah, lebih dalam persahabatan akan bersama Allah
dan Kristus.
Persahabatan kita dengan
Allah dan Kristus dan orang-orang percaya lainnya tidak hanya bergantung pada
persetujuan kita akan kebenaran pengajaran yang mana terdiri dari “satu iman”.
Jalan hidup kita haruslah sesuai dengan prinsip-prinsip yang diekspresikan
dalam hal-hal itu. “Allah adalah terang, dan di dalamNya tidak ada kegelapan
sama sekali. Jika kita mengatakan bahwa kita memiliki persahabatan dengan Dia,
dan berjalan dalam kegelapan, kita berbohong, dan tidak melakukan kebenaran:
tetapi jika kita berjalan dalam terang, sebagaimana Dia adalah terang, kita
memilki persahabatan satu dengan yang lainnya, dan darah yesus Kristus AnakNya
menyucikan kita dari segala dosa” (1 Yoh 1:5-7).
‘Berjalan dalam kegelapan’
pastilah mengarah pada jalan hidup yang mana secara terus-menerus dan meluas
pada perbedaan dengan terang firman Allah (Mzm 119:105; Ams 4:18); ini tidaklah
mengarah pada dosa-dosa akan kelemahan kita yang sesekali saja, pada ayat
selanjutnya diteruskan, “jika kita berkata bahwa kita tidak berdosa, kita
mendustai diri kita sendiri, dan kebenaran (firman Allah – Yoh 17:17; 3:21; Ef
5:13) tidak terdapat di dalam kita” (1 Yoh 1:8).
Dari sini seharusnya
menjadi bukti bahwa persahabatan terhenti ketika seorang percaya memulai
mempertahankan pengajaran-pengajaran, atau tinggal dalam cara hidup, yang
secara terbuka berlawanan dengan kejelasan pengajaran Alkitab: janganlah turut
dalam perbuatan-perbuatan kegelapan yang tidak berbuah, tetapi sebaliknya
telanjangilah perbuatan-perbuatan itu” (Ef 5:11). Segala upaya seharusnya
memenangkan mereka kembali setelah pola dari gembala yang baik mencari domba
yang hilang (Luk 15:1-7). Jika saudara dan saudari tetap dalam pengajaran sesat
atau nyata sekali bersikap salah, sangatlah penting untuk membentuk penghentian
persahabatan yang telah terjadi (Mat 18:15-17). Dalam prakteknya hal ini
dilakukan melalui sebuah wawancara anggota dari jemaat yang bertanggung-jawab.
Bagaimanapun, ini tidak menjadi penekanan yang kuat bahwa proses ini seharusnya
diletakan ke dalam usaha dalam penyelesaian kasus akan memepertahankan
pengajaran sesat atau tetap berjalan dalam kehidupan yang tidak rohani. Satu
yang pasti bahwa terdapat bagian kecil dalam keumuman di antara kita, hak
kepada orang yang menyimpang dari pengajaran dasar Alkitab, yang mematahkan
bentuk formal persahabatan adalah perlu.
Satu dari bagian yang
dijelskan mengenai persahabatan ditemukan dalam 2 Kor 6:14-18: “janganlah kamu
merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tidak percaya:
sebab persamaan apakah antara kebenaran dan kedurhakaan? Dan bagaimana dapat
terang bersatu dengan kegelapan... sebab itu keluarlah kamu dari antara mereka,
dan pisahkanlah dirimu, firman Tuhan... dan Aku akan menerima kamu, dan menjadi
Bapamu, dan kamu akan menjadi anakKu laki-laki dan perempuan, demikianlah
firman Tuhan Yang Mahakuasa”.
Kita telah ditunjukkan
bagaimana firman Allah adalah terang. Ayat-ayat ini menjelaskan mengapa kita
seharusnya tidak berhubungan dengan gereja-gereja yang mana mengajarkan doktrin
sesat; mengapa kita seharusnya tidak menikahi mereka yang tidak mengetahui
kebenaran, dan seharusnya menghindari cara-cara dunia. Jika kita mengkotbahkan
kebenaran Allah sebagaimana seharusnya, tidaklah terelakkan bahwa komunitas
yang percaya bidat seperti ‘tritunggal’ atau pribadi setan akan mereka sendiri
meniadakan kita. Doktrin adalah penting karena ini mengontrol bagaimana kita
hidup dan berprilaku; oleh karenanya kita harus “murni dalam pengajaran” jika
kita ingin hidup dalam kehidupan yang murni. Jalan hidup kita “menjadi” atau
merupakan sebuah tanggapan terhadap injil dasar yang kita mengerti dan percaya
(Flp 1:27). Semua doktrin sesat menghina karakter Allah – ide dari penghukuman
kekal dalam ‘neraka’, atau toleransiNya akan ortodoksi ‘setan’ sebagi contoh
akan hal ini. dalam perhitungan dari pemisahan kita dari dunia kita memiliki
penghargaan mempesona akan menjadi anak laki-laki dan anak perempuan Allah,
bagian dari sebuah keluarga dunia yang luas atau yang lainnya yang memilki
hubungan yang sama ini – saudara kita laki-laki dan perempuan. Hanyalah ada
“satu tubuh”, satu gereja benar (Ef 1:23), yang mana mendasari ke atas mereka
yang bertahan pada satu pengharapan – satu Allah, satu baptisan dan “satu
iman”, satu rangkaian dari pengajaran-pengajaran yang terdiri dari satu iman
(Ef 4:4-6). Tidaklah mungkin untuk menjadi bagian dari “satu tubuh” ini dan
juga bersahabat dengan organisasi agama lain yang tidak berada pada iman yang
benar. Melihat bahwa terang tidak bisa bersahabat dengan gelap, kita menyatakan
diri kita dalam kegelapan jika kita bersahabat dengan kegelapan.
Jika anda sudah mengikuti
pelajaran-pelajaran ini dengan seksama, akan menjadi bukti mulai sekarang bahwa
tidak akan terdapat posisi separuh jalan dalam hubungan kita dengan Allah. Kita
juga salah seorang di dalam Kristus oleh baptisan di dalam Dia, atau di luar Dia.
Kita juga salah seorang di dalam terang dengan alasan akan pegangan kita
terhadap doktrin yang benar dan praktek mentaatinya, atau dalam kegelapan. Satu
yang tidak dimiliki dalam berbagai perkemahan.
Pengetahuan kita akan
hal-hal ini memberikan kita kepastian tingkat tanggung-jawab kepada Allah. Kita
sekarang tidaklah berjalan pada jalan-jalan atau pergi menjalani kehidupan
sehari-hari seperti kebanyakan orang dunia. Allah sangat memperhatikan
tanggapan kita. Baik Dia, Tuhan Yesus dan semua orang-orang percaya yang
sesungguhnya hampir dapat membuat anda untuk mengambil keputusan yang benar.
Tetapi sebagaimana Allah, Kristus dan diri kita sendiri akan melakukan semua
yang dapat kita lakukan untuk menolong anda – bahkan dalam kasus Allah terhadap
pemberian AnakNya yang tunggal untuk mati bagi kita – pada akhirnya keselamatan
anda tergantung pada keputusan kehendak bebas anda sendiri untuk memegang teguh
akan pengharapan terbesar yang mana sekarang telah diserahkan kepada anda.